Di Balik Cobaan, Tersimpan Keberkatan

Dalam kehidupan, Allah menciptakan segala sesuatunya berpasangan. Keduanya saling bertolak belakang agar tercipta harmoni keseimbangan. Seperti siang dan malam, perempuan dan lelaki, sakit dan sehat, dan banyak lagi hal-hal lain yang diciptakan berpasangan.

Betapa mengerikan jika bumi terus menerus malam, bagaimana bisa kita melihat indahnya pelangi di langit terang? Begitupun ketika bumi ini hanya dihuni oleh perempuan, bagaimana mungkin kita mampu bertahan dan melahirkan keturunan? Semua telah Allah atur dengan rinci tanpa ada kekeliruan sama sekali.

Namun, acapkali kita lupa bahwa segala sesuatu berpasangan, terlebih mengenai ujian dan nikmat. Ketika Allah menganugerahi kita nikmat sehat, terkadang kita lalai bersyukur dengan tidak menjaganya, adab makan yang jauh-jauh hari dicontohkan Rasulullah saw. pun seketika terabaikan. Hingga Allah menegur kita melalui sakit.

Ketika kita diberi ujian oleh Allah berupa sakit, Dia ingin kita selalu dekat dan memanggil asma-Nya. Begitu besar rasa sayang-Nya hingga Dia tidak ingin kita menjauh dari-Nya dan berlarut mengabaikan sunnah yang dicontohkan Rasulullah saw.

Sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud a.s sabdakan, “… selalu ingat bahwa bahkan para Nabi, para kekasih-Nya serta Jemaat mereka senantiasa menghadapi berbagai cobaan. Ketika para kekasih-Nya ini melewati berbagai kesulitan, bukanlah berarti mereka sedang menjalani hukuman Allah Ta’ala. Pada hakikatnya, pengalaman-pengalaman ini membawa kabar suka atas banyaknya keberkatan.”

Ketika dalam kondisi sakit, kita dianjurkan untuk tawakal dan pasrah kepada ketetapan Allah. Pasrah ialah berusaha semaksimal mungkin dalam berdo’a dan berikhtiar mencapai kesembuhan, namun kita ikhlas dengan apapun hasilnya nanti.

Seperti salah satu utusan Allah yang didera dengan ujian berupa sakit, namun tidak pernah sekalipun ia menyerah dan berkeluh-kesah atasnya. Ialah Nabi Ayyub a.s. yang menjadi tauladan umat Islam dalam ketabahan menghadapi cobaan.

Dikisahkan, Nabi Ayyub a.s. tinggal di sebuah negeri dengan raja berperangai buruk serta berlaku jahat. Seperti raja-raja lain pada zaman para Nabi, raja tersebut menentang ajaran Tauhid yang dibawa oleh Nabi Ayub a.s. karena mereka menjadikan berhala sebagai Tuhan.

Karena perilaku raja tersebut mengancam keselamatan Nabi Ayyub a.s., dengan berat hati ia meninggalkan tanah airnya dan harus berpisah dengan sanak saudara serta para pengikutnya. Nabi Ayyub a.s berhijrah ke negeri lain.

Perjalanannya itu ditempuh dengan rasa letih dan haus yang teramat sangat. Karena ketika itu, konon, Nabi Ayub a.s. sedang menderita penyakit kulit. Sakit yang dideritanya itu membuat ia merasakan keletihan yang hebat.

Namun, Nabi Ayub a.s. diperintahkan untuk tetap memacu hewan tunggangannya itu agar ia cepat sampai ke tempat yang lebih aman dan terdapat sumber mata air yang menyejukan, ia dapat melepas dahaganya dan sejenak melepas lelah di sana.

Di samping itu—merunut pada keterangan tafsir Al-Qur’an—karena penyakit yang melandanya itu, Allah memerintahkan Nabi Ayyub a.s. untuk ia mandi pada sumber mata air tertentu yang mengandung mineral sehingga dapat memulihkan sakitnya itu.

Ketika Nabi Ayyub a.s. mematuhi perintah Allah untuk terus melakukan perjalanan walau ditempuh dengan luar biasa berat, ia tidak hanya menemukan mata air yang menghapus dahaga dan menyembuhkan sakit kulitnya saja, tetapi ia dipertemukan kembali oleh Allah dengan sanak saudara dan para pengikutnya yang telah lama berpisah dengannya.

Ketika Allah memberi kesembuhan kepada Nabi Ayyub a.s., Allah dengan kasih sayang-Nya menganugerahi Nabi Ayyub a.s. dengan keluarga dan satu Jema’at yang setia terhadapnya agar mereka dapat mendampingi dan memantau kesehatan Nabi Ayyub a.s.

Nabi Ayyub a.s pun dikarunia kemakmuran sesudah diuji dengan musibah-musibah yang dialami dengan kesabaran yang luar biasa.

Nabi Ayyub a.s. adalah simbol kesabaran bagi umat manusia dalam menghadapi cobaan. Kisahnya menjadi pengingat untuk kita agar tidak pernah berputus asa apalagi berharap dibebaskan dari penderitaan melalui kematian. Karena, Allah tidak akan pernah membebani hamba-Nya melampaui kesanggupannya.

Ketika Allah memberikan kita suatu cobaan/musibah, dengan tergesa-gesa kita mengeluh dan meminta agar cobaan itu cepat berakhir. Seringkali kita lupa bahwa Allah menegaskan setelah kesukaran akan ada kemudahan.

Jika kita melirik kembali pada beberapa waktu ke belakang dalam hidup kita, entah berapa cobaan yang ternyata mampu kita lewati meski dalam melaluinya kita merasakan lelah. Dan, entah berapa cobaan yang Allah berikan pada kita, namun setelahnya Allah berikan juga kenikmatan yang jauh lebih besar daripada cobaan itu sendiri pada hidup kita.

Begitu Rahiim-nya Dia, sehingga ketika ia menurunkan musibah pada hamba-Nya pun, Dia tetap mengulurkan tangan-Nya untuk memberikan kita syafa’at dalam melaluinya. Yang Dia minta dari hamba-Nya hanya kepatuhan, ketabahan dan mengambil hikmah dari segala ujian-Nya.

Perintah untuk tetap tabah, patuh dan berserah diri ketika ditimpa cobaan tertuang dalam sebuah hadits, “Janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian karena musibah yang menimpanya. Tetapi jika dia terpaksa harus berbuat demikian, maka ia hendaklah berdoa, “Ya Allah, hidupkanlah aku selama hidup itu lebih baik bagiku! Dan matikanlah aku selama mati itu lebih baik bagiku.” [HR. Bukhari Muslim]

Semoga kita dapat meniru cara para nabi dalam menyikapi berbagai cobaan dengan tabah dan tanpa pernah menyerah. Karena sejatinya, segala cobaan mengantarkan kita pada keberkatan.

Visits: 120

Nurul Hasanah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *