JUMAT INI SEPI

Jumat ini, langit seolah mengerti perasaan bumi yang penuh kerisauan. Tangisnya tertahan di awan mendung yang enggan ditumpahkan. Orang berlalu-lalang, namun tak banyak. Hanya mereka yang masih punya simpanan gabah digaru dengan pola abstrak. Bocah kecil menggiring mobil plastik, bercanda, tertawa, seolah tak ada bahaya yang mengintip. Sementara, di dalam rumah, Abah menikmati secangkir kopi hitam.

Kegundahan terpancar dari pandangan nanarnya kepada kerumunan anak ayam. Ah, beruntungnya para binatang, gumamnya, yang tak perlu diributkan dengan perkara masker dan jarak sosial. Bayangkan, andai ayam-ayam Abah pun harus berjalan berjarak minimal 1 meter, maka harus sebesar apa lagi Abah harus membuat kandangnya.

Jumat ini, kesedihan Abah seperti membuncah. “Baru kealaman seumur hidup Abah nggak salat jumat ke masjid.” Sembari melongok ke arah anak-anak ayam yang terus saja berkerumun ramai tanpa peduli anjuran pemerintah untuk jaga jarak.

Bakda subuh tadi, Abah menerima sebaran pesan lewat whatssapp bahwa jamaah salat jumat kali ini tidak boleh lebih dari sepuluh orang. Selebihnya diharapkan mengadakan salat jumat di rumah atau menggantinya dengan salat zuhur berjemaah. Pesan singkat dari mubalig setempat menghancurkan sekat melankolis Abah. Tangisnya seperti ingin terburai, namun malu pada sisa rambut hitam yang tinggal beberapa helai.

Kumaha deui atuh, Bah, da saur khalifah. Kedah taat. Manusia teh kitu. Ketika ada nasihat dari orang lain seperti yang menyepelekan, nganggep enteng karena merasa sehat dan merasa daerahnya aman dan keluarganya tidak mungkin tertular korona. Entar aja kalau sudah sakit, baru nangis sambil berdoa panjang-panjang.”

Emangna saha nu ngeyel?!” Abah meliukkan wajah ke arah anaknya yang tiba-tiba terkesiap, terdiam karena telah ceroboh melontarkan kalimat teralu panjang kepada sang ayah, “Abah kan cuma bilang sedih lantaran baru kealaman seumur hidup kondisi demikian.”

Dialog terhenti. Teriakan ujang si bocah kecil di rumah sebelah memecah keheningan. Rupanya anak itu sedang bermonolog dengan truk plastik yang sejak tadi dicucinya dengan air cucuran atap. Abah kembali bercengkerama dengan para ayam. Anak abah pun kembali hanyut dengan kesibukan menggosok telur bebek sebelum dibalut tanah liat dan adonan garam.

Jumat ini sepi. Suara azan tak disambut dengan langkah jemaah jumatan. Bahkan sang khalifah pun menyampaikan nasihatnya sendirian, hanya berteman muazin dan penggawa siaran. Sabdanya demikian dalam, “Aku banyak berdoa untuk Jemaatku. Namun ketika kemurkaan ilahi turun, maka semua orang dapat terpengaruh atau terkena dampaknya. Sehingga hisabnya akan sesuai dengan amalan masing-masing.”

Rumah pun hening. Mencerna kalimat-kalimat sang Amirul Mukminin yang mengoyak batin. Seberapa jauh perilaku kita memperlihatkan taat kepada nasihat. Rasanya masih ada saja titik sombong dalam hati ini, yang masih membuat raga ini menerabas perintah-perintah khalifah, yang katanya, kita cintai.

Visits: 33

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *