KEAJAIBAN SEBUAH TULISAN

Menulis adalah cara seseorang mengungkapkan keresahan yang lahir dari hati dan fikirannya. Seringkali, orang menulis hanya untuk mengutarakan keresahannya. Seringkali juga, ia ingin agar orang lain tahu dan bereaksi terhadap tulisannya. Tapi yang jarang sekali ditemui, ia menulis untuk menghadirkan sebuah keajaiban.

Inilah yang tak pernah aku bayangkan. Ketika aku menulis sosok seorang nenek tua renta, ya namanya Mbah Tinah. Aku menuliskannya karena aku memang benar-benar harus menuliskannya. Tidak ada alasan lain, seperti ketika haus ya harus minum.

Dan aku tidak pernah membayangkan bagaimana tulisanku itu bisa berdampak meluas. Mempengaruhi nurani banyak orang. Hingga orang tersentuh dan ingin berbuat sesuatu.

Mbah Tinah adalah sosok yang sangat menginspirasi. Ia sudah renta. Hidup sebatangkara. Keluar masuk hutan untuk mengais sedikit rezeki. Hingga datang corono yang tak pernah mampir di bilik rumahnya yang sangat minim informasi.

Hatinya sungguh mulia. Di usianya yang sudah renta namun tidak pernah sedikitpun meminta belas kasihan orang lain. Bahkan saat memiliki kelonggaran rezeki, ia selalu berdiri di garda terdepan untuk membantu sesama.

Aku tak pernah menyangka. Berbagai komentar datang silih berganti. Bunyi notifikasi di whatsapp dan messenger ramai riuh. Beragam pertanyaan pun dilontarkan untuk mengonfirmasi banyak hal.

Mulai dari bertanya, “Bu, apakah kisah itu benar-benar ada? Atau fiktif belaka, kok kayaknya jarang banget orang begitu di jaman sekarang, kayak kisah yang hanya ada di dongeng.” Tanpa banyak kata, aku memberikan foto Mbah Tinah yang sedang bersamaku.

Ia mengungkapkan kekagumanya atas sosok Mbah Tinah. Di akhir percakapan, meminta minta nomor rekening, mau nitip rezeki ke Simbah.

Bahkan tak sedikit dari mereka langsung chat di whatsapp, “Boleh minta nomor rekening, saya nitip rezeki untuk Mbah Tinah, bukan karena iba atau kasihan, tapi suatu bentuk penghargaan atas pelajaran hidup yang beliau torehkan.”

Bahkan ada yang menyampaikan, “Nitip rezeki ke simbah ya, supaya tidak usah keluar masuk hutan”.

Mereka yang di Papua mengungkapkan, “Jagebob dimana, bisa ajak saya kah, saya kepingin ketemu langsung dengan beliau, sungguh air mata saya tidak berhenti membaca tulisannya.”

Aku tak pernah membayangkan akan seperti ini kekuatan sebuah tulisan. Begitu menakjubkan dan mempunyai kekuatan untuk menggerakkan. Padahal, tidak ada niat atau harapan untuk ini dan itu. Tapi akhirnya, aku sadar bahwa tulisan tak sekedar urusan merangkai kata.

Titipan untuk Mbah Tinah dari beberapa pembaca tulisanku harus aku sampaikan. Aku dan suami mencari waktu yang pas untuk mengadakan perjalanan yang cukup jauh dari kota. Menuju sebuah pedalaman di ujung timur Indonesia.

Dalam perjalanan menuju tempat Mbah Tinah, kadang aku berpikir, masih ada saja suasana begini di era modern seperti ini? Bahkan suasana ini, sepertinya belum pernah aku jumpai sejak terlahir di dunia ini.

Akses jalan yang jauh dari perkotaan, kondisi jalan yang menegangkan dan rumah-rumah yang serba berjauhan. Jangan tanyakan sinyal, jelas dia juga enggan bertandang.

Kampung ini jauh dari perkotaan, 130 km dari kota. Akses jalan yang belum pernah tersentuh aspal, membuat ekonomi warga pun tak tentu arah.

Hasil panen hanya cukup untuk konsumsi warga, sedangkan buah-buahan busuk dimakan usia, jarang penjual yang datang membelinya.

Bagi masyarakat disini hal ini sudah biasa, puluhan tahun mereka mengais rezeki pindah dari kota tempat kelahiran. Meskipun hidup serba pas-pasan bahkan kekurangan, namun masih bisa mencicipi lezatnya nasi hasil tanam padi sudah cukup membahagiakan hati mereka. Tak jarang mereka menggantungkan kemurahan alam untuk dapat selalu bertahan.

Setelah melepas penat dan lelah perjalanan seharian, kami berencana mengunjungi Mbah Tinah untuk melepas rindu dan menyampaikan amanat rezeki yang di titipkan untuk beliau.

Selepas shalat tarawih, kami pun bersiap-siap pergi ke Simbah Tinah. Sengaja malam hari dengan niat kepingin mencicipi kopi hangat buatan Mbah Tinah yang sungguh sangat memanjakan lidah.

Sesampainya di rumah Simbah, suasana gelap dan pintu sudah terkunci. Namun masih terdengar suara musik dengan iringan gamelan khas Jawa, sebagai teman setia Simbah dalam kesendirinya, ini menandakan bahwa simbah masih terjaga.

“Asalamualaikum. Mbah. Mbah,” ucapku sambil mengetuk pintu.

” Waalaikum salam. Siapa ya?” sahutnya sambil membukakan pintu.

Ketika pintu terbuka, Simbah diam sesaat, namun tubuh rentanya langsung memeluk dan menciumiku, sebagai wujud kalau ia tengah rindu.

“Ya Allah ibu, pak ustadz,” panggilan khas beliau. “Kapan datang? Rasanya sudah kangen sekali. Corona belum pergi ya, makanya lama tidak datang kesini”.

“Alhamdulilah baik Mbah, berkat doa Simbah. Kan baru beberapa minggu Mbah kita tidak datang”

Perjumpaan kali ini tidak seperti sebelum-sebelumnya. Biasanya, sebelum Simbah melanjutkan ngobrol, beliau akan langsung ke dapur mengambilkan minuman dan apapun yang beliau punya. Namun kali ini jelas sekali tergambar dari wajah dan gerak langkahnya. Simbah seperti sedang dirundung bingung, hanya terdiam dan raut muka yang begitu sedih.

“Mbah, Simbah sehat? Kok agak kurusan sekarang, apa habis sakit? Ngelamun aja simbah kita datang?”

“Alhamdulillah sehat bu, kemarin beberapa hari sempat sakit kepala, tapi ini sudah enakan. Iya bu, saya mohon maaf ya, mau buatkan kopi, tapi tidak punya air hangat, tadi lupa mau masak.”

Dalam hati aku berfikir, aku tahu Mbah Tinah selalu siap sedia air panas di termos, karena beliau juga lebih suka minum air hangat.

Rupanya hal ini yang membuat Mbah Tinah kurang nyaman dengan keberadaan kita, beliau tidak dapat menyuguhkan minuman untuk tamunya. Tapi ia masih dapat menyembunyikan kesulitannya itu.

“Tidak apa-apa Mbah, kita juga dah minum kok. Tapi Mbah, bukannya Simbah selalu sedia air hangat, apa termosnya yang rusak,” kataku.

“Mboten bu, memang saya ndak masak air hangat.”

“Ahhh simbah. Paling juga simbah tidak punya gula ya?” Jawabku menimpali.

Simbah Tinah tertawa getir, beliau berucap, “Memang iya bu, kemarin tidak beli gula.”

Sungguh memang simbah ini tidak pernah menunjukkan kekurangannya, apalagi mengeluh ke orang lain. Simbah akan selalu tampil seolah-olah tidak ada apa-apa, meskipun saya cukup paham beliau sudah tidak pegang uang. Gula, kopi itu barang wajib yang setiap hari selalu ada di rumahnya, supaya beliau bisa menjamu tamunya.

Jawaban dan raut muka Simbah Tinah seolah-olah membuka pikiran saya bagaimana nanti harus aku siapkan kata-kata agar Mbah Tinah mau menerima rezeki yang telah dititipkan kepadaku. Ini akan jauh lebih sulit ketimbang membuat satu tulisan.

Secara perlahan, aku dekatin Mbah Tinah, aku pegang tangannya dan kupandangi wajah rentanya. Tersirat jelas kesedihan di bola matanya.

“Mbah,” kataku lirih. “Saat ini simbah tidak punya uang ya?”

Simbah Tinah pun menimpali, “Memang bu, untuk pegangan uang saya sudah tidak ada, saya nagih hutang kesana kemari juga sama aja, mereka belum bayar karena sama-sama kesusahan juga.”

Sinyal untuk menyampaikan amanat rezeki kian melambung. Saya pun menceritakan kronologi awal sampai akhirnya banyak orang di luar sana yang peduli kepada Simbah Tinah. Dan mereka pada akhirnya, menitipkan rezeki mereka untuk disampaikan ke Mbah Tinah.

Simbah tiba-tiba menangis. Dan secara terbata-bata menyampaikan bahwa katanya, aku dan suami selalu datang di waktu yang tepat, dimana ia benar-benar sedang membutuhkan.

“Mbah,” kataku, “Simbah terima dengan ikhlas ya, niat baik mereka yang Allah gerakkan untuk membantu saat Simbah benar-benar kekurangan.”

” Alhamdulilaah bu, ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya dan semoga Allah membalas dengan kebaikan yang lebih,” isak-tangis Mbah Tinah membuat temaram makin syahdu.

Setelah uang diterima, Simbah masih juga sesenggukan. Aku pun mencoba menenangkan. Mungkin masih ada pikiran yang mengganjal di hati Simbah.

Aku pun tidak segan menyampaikan bahwa semua yang terjadi sekarang karena doa dan kebaikan Simbah. Saat itu, Mbah tinah baru menceritakan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi jauh hari sebelum ini.

“Bu, sebenarnya dulu saya itu suka sekali, mencari-cari orang orang yang tua renta bahkan orang-orang cacat yang mereka mengalami kesulitan ekonomi. Dulu di Jawa ada bu, orang jalan ngesot-ngesot jualan. Rasanya hati ini tak sanggup melihat pemandangan itu, tak jarang saya kasih uang makanan dan barang dagangannya saya borong.”

“Pokoknya saya ndak eman bu dengan uang, ketika saya punya.”

“Wah Mbah, alhamdulillah pantesan aja sekarang di saat Simbah kesusahan, Allah membalas kebaikan simbah. Menghadirkan orang orang yang begitu dermawan, berhati baik untuk mengirim rezeki, bahkan bukan orang di desa ini. Mereka orang di luar Papua, yang sama sekali tak kenal Simbah.”

“Iya bu, Alhamdulillah. Menawi tiang mriki sami-sami susah bu. Malah perlu di bantu juga. Jane kula onten tabungan bu, tapi untuk persediaan saya meninggal. Mengingat saya hidup sebatang kara, jangan sampai saya meninggal merepotkan orang lain. Saya kumpulkan setiap ada rezeki, uangnya saya titipkan di ibu-ibu warung disini, nanti bisa uruskan barang keperluan saya kalau meninggal. Alhamdulillah tidak jadi saya ambil karena ibu dan pak ustadz sudah datang.”

Simbah Tinah, untuk meninggalnya pun beliau sudah siapkan bekal agar tidak merepotkan orang lain. Sungguh manusia yang sangat langka. Saat di usia rentanya, namun tak pernah mengharap belas kasih orang lain.

Dan aku harus menuliskan lagi kisah ini. Selain untuk melunasi hutang amanah yang telah dititipkan kepadaku. Tapi, aku juga berfikir bahwa di tengah pandemi corona ini, di saat banyak orang berteriak soal penderitaan dan kesusahan yang mereka alami. Tapi di sebuah pedalaman Papua sana, ada sosok nenek tua renta yang memilih untuk menggantungkan harapannya kepada Sang Khalik di tengah kesunyian hidupnya.

Karena ia selalu yakin, Tuhan selalu hadir dimanapun kita berada. Bahkan jika itu di suatu tempat yang jauh dari peradaban manusia.

bersama Mbah Tinah saat menyerahkan amanat dari para pembaca

Tulisan inilah yang telah menggerakkan banyak orang untuk berbuat: http://islamrahmah.id/lapuknya-usia-tak-memiskinkan-hati/

.

.

.

editor: Muhammad Nurdin

Visits: 62

Endah Fitri

1 thought on “KEAJAIBAN SEBUAH TULISAN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories