LAILATUL QADAR VS DISKON LEBARAN

Di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan kaum muslimin mulai disibukkan dengan aktivitas ibadah yang masif. Semata-mata berharap agar dipertemukan dengan “Lailatul Qadar”, yang katanya merupakan satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan.

Apalagi kini, Idul Fitri hanya tinggal menghitung hari. Mulai banyak kaum muslimin yang mengencangkan sarung dan mukena. Meski, tak sedikit juga yang mulai melipat rapih-rapih sarung dan mukenanya dalam lemari.

Memang ironis, kemuliaan Lailatul Qadar yang lebih baik dari 1000 bulan seringkali kalah dengan diskon lima puluh persen di berbagai market place baik offline maupun online. Bahkan, di era pandemi corona, yang mengharuskan kita tetap stay at home sekalipun, godaan setan demikian masifnya sehingga banyak yang terperdaya.

Jika Nabi Adam as digoda oleh iblis dengan “buah yang lezat”, kebanyakan orang di penghujung Ramadhan digoda iblis dengan diskon gila-gilaan. Mereka ngubek-ngubek setiap stand seperti orang keserupan. Tanpa tahu covid-19 tengah mengintai dari tempat-tempat yang tak terduga.

Inilah permasalahan yang selalu mengemuka dari aktivitas beribadah yang sekedar seremonial. Ramai diawal, sepi di pertengahan, ramai lagi di penghabisan. Dan setiap orang mulai teriak “kami menang”, “kami telah memperoleh kemenangan”.

Padahal, puasa pun masih bolong-bolong. Kalaupun puasanya sempurna, cuma sebatas mampu menahan lapar dan haus. Ini seibarat makan, cuma makan nasi sama garam. Tidak ada lauk pauk, sayur mayur, dan buah. Tidak indah puasanya. Tidak dihiasi dengan aneka ragam ibadah.

Ketika pemerintah melarang mudik, meracaulah banyak orang. Padahal, apa salahnya tidak mudik tahun ini, demi kemaslahatan banyak orang. Toh, tahun-tahun berikutnya pun bisa juga mudik. Jangan sampai memaksakan mudik tahun ini, tapi itu menjadi mudik terakhir bagi banyak orang.

Ketika PSBB mulai dilonggarkan. Banyak manusia seperti terlahir kembali. Tapi bukan kepada fitrah. Melainkan, mendekat kembali kepada potensi-potensi “jahiliyah”-nya. Mereka mulai memadati bandara. Izin-izin palsu merajalela. Cuma untuk sekedar bertemu sanak-saudara.

Yang pusing tujuh keliling saat ini ada para petugas medis. Kalau kita bosen dengan harus di rumah terus, mereka lebih bosen lagi di Rumah Sakit dengan protokol keamanan yang bikin tubuh tidak nyaman.

Mereka juga bosan mengenakan APD selama 8 jam nonstop. Sementara kita, baru pakai masker sejam saja sudah ngap-ngapan.

Padahal, Allah Ta’ala demikian baik kepada kita. Dia kirim corona menjelang Ramadhan. Setidaknya, pelajaran puasa mengajarkan kepada kita untuk banyak-banyak bersabar dan menahan diri.

Tapi kenyataannya. Banyak dari kita yang gagal dalam ujian tersebut. Lebih memilih untuk kalah.

Lebih memilih (enggak apa-apa lah) tertular virus ketimbang tidak bisa pakai baju baru saat lebaran. Juga lebih memilih menularkan virus ketimbang tidak bisa pulang kampung.

Bagaimana Nabi Muhammad saw tidak sedih melihat keadaan umat beliau nanti di akhir zaman. Telah disuguhkan ragam kemuliaan bulan Ramadhan, berupa rahmat dan ampunan, dan keberkahan malam Laitaul Qadar. Tapi semua hal itu dianggap abstrak bagi kebanyakan mereka yang beragamanya masih sebatas seremonial.

Ya… seremonial. Yang sekedar menahan lapar dan haus. Yang menganggap dengan dua setengah kilo beras, yang itupun bantuan dari Presiden, maka dirinya menjadi bersih kembali. Yang merasa tanpa baju koko baru, tanpa sarung baru, tanpa ketupat dan opor ayam, maka Idul Fitri menjadi tidak barokah.

Meminjam kritikan pedas para pahlawan di era pandemi corona yang sudah semakin lelah, “Indonesia… Terserah…”

.

.

.

editor: Muhammad Nurdin

Visits: 22

Lilis Sahiba

2 thoughts on “LAILATUL QADAR VS DISKON LEBARAN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *