MELAHIRKAN KEHIDUPAN DI TENGAH ANCAMAN

Fathia namaku. Tentu bukan nama sebenarnya. Tapi kisahku yang akan kuceritakan ini, adalah nyata adanya.

Setelah empat tahun lebih aku menunggu, akhirnya aku mendapat karunia kehamilan yang kedua. Kupersiapkan betul-betul segalanya. Aku tunggu si sulung siap dan meminta sendiri kehadiran adik dalam hidupnya.

Mengingat anak pertama aku lahirkan dengan operasi caesar, aku juga menunggu kesiapanku sendiri baik fisik maupun mental. Juga, kami menunggu kesiapan suamiku secara finansial. Ketika si sulung sudah begitu ingin punya adik, barulah aku dan suami memutuskan untuk program kehamilan lagi.

Dan tak ada doa yang tak didengar dan diijabah oleh-Nya. Termasuk doa yang datang dari sosok manusia kecil berusia 4 tahun ini. Doa putra sulungku untuk segera memiliki adik pun tak lepas dari pertimbangan-Nya. Dan dikabulkan-Nya.

Maka, dimulailah segala persiapan untuk menyambut sang buah hati.

Selama 9 bulan kehamilan, sesuai komitmennya, alhamdulillah suami selalu menemani setiap kontrol ke dokter kandungan. Kami juga lebih menahan diri untuk tidak banyak belanja demi bisa lebih banyak uang tersimpan. Kami ingin punya simpanan lebih supaya kalau terjadi apa-apa kami bisa lebih tenang, walaupun sudah ada BPJS di genggaman. Juga, kami ingin bisa langsung mengadakan akikah setelah melahirkan.

Aku ikuti senam yoga khusus ibu hamil. Aku pun membeli gymball supaya tetap bisa latihan sendiri di rumah. Aku ingin bisa melahirkan normal supaya bisa lekas sembuh dan sehat lagi. Putra sulungku yang masih berusia 4 tahun, masih sangat membutuhkan perhatian lebih dariku. Dialah pertimbangan utama dan juga penyemangatku.

Semua persiapan yang mampu aku lakukan, aku lakukan. Tapi tak ada kejadian sekecil apapun yang lepas dari kuasa-Nya.

Di usia kehamilanku yang ke 39 minggu, satu peristiwa mengubah segala rencanaku. Tanpa sengaja, aku terlibat kontak dengan seseorang yang seminggu setelahnya baru mengetahui bahwa dia positif terkena covid dan statusnya adalah Orang Tanpa Gejala.

Senin 30 Maret 2020, ketika mendengar kabar itu, perasaanku langsung campur aduk. Panik, galau, bingung, semua jadi satu. Suamiku pun begitu. Malamnya aku langsung menghubungi dokter kandunganku. Aku jujur padanya kalau aku ada kontak dengan seorang OTG.

Mendengar hal tersebut, dokterku mengatakan bahwa aku tidak bisa melahirkan di rumah sakit biasa. Aku harus mengikuti prosedur dan harus datang ke rumah sakit rujukan covid di Tangerang.

Sepanjang malam itu suamiku menelepon kesana kemari, berusaha mencari info rumah sakit mana saja yang menjadi rujukan pasien covid dan bagaimana penanganannya untuk ibu hamil yang positif terkena virus ini.

Saat itu, baru masa-masa awal pandemi ini menjalar ke Indonesia. Tak banyak rumah sakit yang siap menerima ibu hamil yang harus melahirkan dengan prosedur kesehatan khusus di tengah pandemi.

Besoknya, aku dan suami pontang panting, kesana kemari mencari rumah sakit yang siap menerima kondisiku. Kami berusaha mencari ke rumah sakit-rumah sakit umum di kota, tetapi bahkan rumah sakit rujukan covid pun menyatakan belum siap menangani aku.

Akhirnya, hari itu juga, aku dan suami pergi ke rumah sakit umum daerah. Di sana, aku diminta masuk ke dalam tenda yang tersedia di pelataran. Aku menjalani tes-tes yang diharuskan, yaitu tes darah dan cek kondisi paru-paru. Aku tidak melakukan rapid test karena kit-nya yang terbatas.

Setelahnya aku harus menunggu hasilnya di sebuah ruang isolasi sampai hasil tes bisa diketahui. Di ruang isolasi itu aku menunggu bersama pasien-pasien lain yang kondisinya sudah berusia lanjut dan memiliki keluhan sesak nafas. Ketakutan pun tak ayal begitu kuat menguasaiku.

Perasaanku sudah tidak karuan, tak bisa terdefinisikan. Rasanya bagai mimpi saja, seperti bukan di dunia nyata. Aku merasa seperti sedang berada di dunia televisi, melihat para perawat yang merawatku harus menggunakan APD.

Setelah dua jam menunggu, hasil tes akhirnya keluar. Alhamdulillah negatif. Paru-paruku pun dalam keadaan sangat baik. Aku langsung merasa lega bukan main. Aku kira selesai semua masalah.

Ternyata tidak.

Dari situ aku mendapat status ODP (Orang Dalam Pengawasan). RSUD juga menyatakan bahwa mereka belum siap menangani proses lahiranku karena terbatasnya perlengkapan dan belum adanya pengalaman. Dan aku kembali dilanda kegalauan.

Padahal masa HPL (Hari Perkiraan Lahir)ku hanya tinggal seminggu. Kontraksi bisa datang kapan saja. Aku pasti akan lahiran di rentang waktu satu minggu itu.

Aku dan suami kembali sibuk mencari info kesana kemari, mencari rumah sakit yang sekiranya bersedia menangani lahiranku. Alhamdulillah dokter kandunganku begitu baik dan mau membantu kami. Beliau mengapresiasi kejujuran kami.

Beliau mengatakan memiliki rekan sejawat sesama dokter kandungan juga di RSUD tersebut. Beliau sudah meminta tolong supaya bisa membantu lahiranku dengan operasi caesar. Rekan dokter kandungan tersebut setuju membantu tapi ingin melihat keadaanku lebih dulu.

Maka pergilah aku dan suami ke RSUD lagi keesokan harinya. Hari itu aku langsung bisa melakukan rapid test karena kondisi sudah sangat mendesak. Usia kandunganku akan segera mencapai 40 minggu, harus segera melahirkan. Alhamdulillah dari hasil USG diketahui bayiku sudah berukuran besar dan dalam keadaan sehat.

Melihat berkasku, para perawat langsung menjauhiku karena tahu statusku sebagai ODP. Mereka juga melontarkan protes kenapa aku tak jujur sedari awal kepada mereka kalau aku ODP.

Sedihnya hati bukan main. Aku bisa memahami, mereka juga mencemaskan keselamatan diri. Tapi pada saat itu aku sendiri dilanda kebingungan. Dan begitu datang ke rumah sakit, aku langsung diminta untuk bertemu dengan dokter.

Para perawat langsung memakai masker berlapis-lapis, face shield, dan juga jas hujan. Dalam hati aku iba pada mereka. Tapi hatiku pun juga sibuk menata perasaan lain yang juga berkecamuk. Sungguh tak ada niatku membuat mereka harus mengalami kerepotan semacam itu.

Aku diminta masuk ke ruang isolasi pukul 10 pagi. Aku pun menunggu di sana hanya seorang diri. Sampai berjam-jam kemudian tak ada seorang pun yang datang lagi.

Hingga tiba pukul 5 sore, dokter paru-paru datang. Beliau hanya merekomendasikan aku untuk melakukan rapid test dan menunggu hasilnya. Pukul 8 malam, hasil tes keluar. Alhamdulillah aku dinyatakan negatif lagi.

Tak terkira senangnya hati mengetahui hasil tes-ku ini. Aku masih berharap lahiran nanti bisa ditangani dokter kandunganku yang lama meskipun harus dengan operasi caesar.

Tapi lagi-lagi, harapan tinggal harapan. Status ODP ini akan tetap melekat padaku hingga 2 minggu, yang merupakan masa inkubasi virus ini.

Aku juga diharuskan isolasi mandiri selama dua minggu semenjak hari terakhir aku kontak dengan pasien covid, yang mana itu adalah hari di mana aku berada satu ruangan di tenda dengan pasien-pasien yang menunggu hasil tes di RSUD tersebut. Berarti masa isolasiku mundur dari yang sebelumnya.

Besoknya aku diminta datang lagi ke RSUD untuk mengatur jadwal lahiran. Sambil menunggu dipanggil, aku memandangi keadaan rumah sakit. Aku berusaha menabahkan hati dan ikhlas menerima kalau aku akan melahirkan di sini. Aku juga berusaha menerima kenyataan bahwa lahiranku tak akan ditangani oleh dokter kandunganku yang sebelumnya.

Selama ini aku sudah mempersiapkan sebaik mungkin untuk bisa melahirkan dengan normal. Tapi pada akhirnya, operasi ini harus aku jalani karena ini yang paling aman, tidak saja untukku tetapi juga untuk semua tenaga kesehatan yang terlibat.

Sesampainya di ruang dokter, aku hanya ditemui perawat. Dokter telah menentukan jadwal operasi caesar-ku di hari Selasa. Bila sewaktu-waktu rasa mulas aku rasakan, aku juga bisa langsung datang ke rumah sakit.

Perasaanku lebih tenang mendengar semua itu. Tapi bibirku tak pernah kering dari doa. Di rumah, kupersiapkan segala perlengkapan, termasuk alat pumping. Jaga-jaga kalau aku harus dipisahkan dari bayiku. Para perawat sendiri belum bisa memberikan kepastian kala itu mengenai hal ini, karena mereka belum memiliki pengalaman sama sekali.

Dan tibalah hari itu.

Selasa, 7 April 2020, aku tiba di RSUD pukul 8 pagi. Aku langsung masuk ruang isolasi, pasang kateter, infus, tes darah dan lain-lain. Semuanya ditangani satu bidan saja yang sudah berpakaian APD lengkap.

Pukul 12 siang, aku masuk ruang operasi dan menjalani caesar. Prosedur ini aku jalani dengan protokol untuk ODP yang disamakan dengan pasien positif. Semua petugas kesehatan menggunakan APD. Aku sendiri harus diberi lapisan plastik yang lumayan banyak jumlahnya.

Sejam kemudian, pukul 1 siang, bayiku lahir. Tapi, melihat wajahnya pun aku tak bisa. Ia segera dipisahkan dariku dan masuk ruang bayi. Suamiku pun hanya sekali dipanggil untuk meng-azan-kan putri kami. Aku juga tidak bisa bertemu dengan suami. Kami hanya berjumpa lewat video call.

Pasca melahirkan, aku langsung menjalani isolasi lagi. Aku ditempatkan di sebuah bangsal dengan 4 tempat tidur, tapi hanya aku sendiri pasien di ruangan itu.

Tak ada lagi rasa takut karena harus tidur sendiri di ruangan sebesar itu. Yang ada hanyalah rasa rindu yang teramat sangat, ingin segera berjumpa dengan anak yang baru lahir dari rahimku. Aku ingin segera menggendongnya, memeluknya, dan memberikan ASI yang menjadi haknya.

Malam itu juga menjadi malam paling sedih dalam hidupku. Aku, bayiku, dan suamiku berada dalam satu gedung yang sama, RSUD. Tapi kami terpisah dalam ruangan yang berbeda-beda. Aku di ruang isolasi, bayiku di ruangan khusus bayi, dan suamiku di ruang tunggu.

Sepanjang malam itu aku berusaha sendiri menggerakkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun yang menemani apalagi membantu. Perawat hanya datang setiap 8 jam sekali. Karena setiap mereka habis memeriksa keadaanku, mereka harus melepas APD dan segera mandi membersihkan diri.

Maka kini aku harus bisa berjuang melakukan apapun sendiri. Aku juga tak sabar ingin segera pulih. Aku ingin lekas bertemu putriku. Hatiku sudah sedemikian sesak oleh rindu.

Aku juga tak bisa memejamkan mata, hatiku sedemikian resah. Bayiku pasti kehausan. Alat pompa ASI yang aku bawa tidak terpakai karena perawat hanya datang setiap 8 jam sekali. Mereka tidak bisa bolak-balik ke ruanganku untuk mendapatkan ASI-ku. Lagi-lagi aku harus ikhlas, yang pertama diminum bayiku adalah susu formula, bukan ASI.

Aku tidak tahu kekuatan ini datang dari mana. Kemarin siang aku operasi, subuhnya aku sudah bisa berdiri dan berjalan perlahan. Walau kateter masih terpasang dan infus masih di tangan. Mungkin, keinginanku yang begitu kuat untuk segera bertemu anakku lah yang telah meluluhkan Dia yang Maha Kuasa. Dikuatkan-Nya tubuhku segera, agar tak butuh lama untukku bertemu dengan putriku tercinta.

Akhirnya, tibalah saat pertemuan itu. Pukul 7 pagi perawat masuk ke ruangan dengan menggendong bayiku. Tangan ini akhirnya diijinkan perawat untuk menggendong putriku. Dengan hanya dibalut bedong, tanpa baju, segera ia kususui sepenuh hati. Dan alhamdulillah, tak butuh waktu untuk membuatnya lahap menyusu. Hatiku pun seketika dipenuhi rasa sedemikian haru.

Kateter dan infus masih terpasang ketika aku memberikan ASI. Tapi tetap kusyukuri segala keterbatasan ini, yang penting kini aku bisa merawat putriku sendiri.

Tak pernah kubayangkan kalau prosedur melahirkan sebagai ODP bisa sebegitu rumit. Aku tentu bisa saja mempertimbangkan untuk tidak jujur di awal, kalau aku ada kontak dengan OTG. Tapi aku tahu, akan ada perasaan tak enak di hatiku.

Bila nanti ternyata aku positif kemudian melahirkan, aku bisa menularkan virus ini kepada para tenaga kesehatan yang sudah menolongku. Aku tak tega pada mereka. Aku akan dihantui perasaan menyesal dan juga rasa bersalah.

Lagipula, suamiku berkata padaku, “Kita jujur, kita enggak dosa. Ini ujian dan kita harus ikhlas menjalaninya. Nanti kita ceritakan ke anak kita bagaimana perjuangan kita.”

Aku tahu sepanjang proses ini, dia sebenarnya sedih. Aku juga tahu dia bahkan sampai menangis. Tapi dia tak mau menunjukkannya di depanku. Kita sama-sama tidak ingin terlihat sedih. Kita ingin sama-sama saling menguatkan satu sama lain.

Kadang ada juga terselip rasa sesal di hati. Seandainya aku tidak dihadapkan pada situasi yang membuat aku harus terlibat kontak dengan seseorang berstatus OTG, semua ini mungkin tidak perlu terjadi. Tapi suami selalu menguatkan, bahwa kita hanya harus ikhlas menjalani semua ini, karena tak ada seorangpun yang menginginkan hal ini terjadi.

Apa yang aku alami kemudian membuatku merenung dan berusaha menghimpun hikmah demi hikmah.

Sebaik-baiknya aku dan suami berencana, sebaik-baiknya kami mempersiapkan diri, semua bisa berantakan begitu saja tak sesuai dengan rencana, justru di detik-detik terakhir. Aku begitu siap dan yakin bisa melahirkan normal. Dengan begitu banyaknya pertimbangan, aku yakin Allah Ta’ala juga pasti meridhoi keinginanku tersebut.

Tapi ternyata, di detik-detik terakhir, bisa melahirkan anakku dengan sehat selamat tanpa kekurangan suatu apapun pada diri ini dan juga bayiku saja sudah merupakan sebuah karunia luar biasa. Sekedar untuk menemukan rumah sakit yang mau menerimaku saja, betapa diri ini tak berdaya tanpa kuasa-Nya.

Tak ada sesuatupun di dunia ini yang bisa terjadi tanpa campur tangan Allah Ta’ala. Seremeh apapun kejadian itu nampak dalam pandangan manusia, kuasa-Nya tak pernah lewat begitu saja. Aku diingatkan kembali betapa kecil diri ini sebagai manusia, tanpa kasih sayang-Nya yang tak terbatas pada hamba-hamba-Nya.

Apa yang aku alami, mengajarkan aku untuk bisa lebih kuat, lebih ikhlas, dan tawakal pada apapun keputusan yang sudah Dia tetapkan untukku. Sekalipun keputusan-Nya sangat jauh berbeda dengan apa yang telah menjadi rencanaku.

Rasa syukur juga tak henti-hentinya menyeruak dalam batinku. Setiap penggalan kejadian dalam perjuangan melahirkan ini memang membuatku senantiasa diliputi rasa syukur. Syukur masih bisa dipertemukan dengan rumah sakit yang mau menerimaku. Syukur hasil tes yang keluar adalah negatif. Walaupun dikelilingi banyak keterbatasan, syukur aku bisa segera pulih pasca operasi dan hanya sehari dipisahkan dari putriku.

Aku juga diliputi rasa syukur yang tak terkira karena dianugerahi suami yang begitu sabar dan ikhlas menjalani semua ini. Dia begitu kuat dan tegar di hadapanku. Selalu membesarkan hatiku ketika dilanda segala penyesalan, kesedihan, dan kegalauan. Suami yang senantiasa menyandarkan dirinya pada Allah Ta’ala, sungguh merupakan sebuah karunia, anugerah, rejeki yang luar biasa bagi seorang istri.

Melahirkan di tengah pandemi seperti ini, tentu akan menjadi sebuah kenangan tersendiri. Awalnya memang seperti hantaman yang begitu keras untukku dan suami. Tapi berbagai hikmah di dalamnya ternyata menjadikan kami hamba dan manusia yang bertumbuh, insya Allah menjadi lebih baik.

Tak ada yang menginginkan hal-hal buruk terjadi. Tetapi ketika Allah Ta’ala menakdirkannya terjadi pada kita, kita hanya harus menjalani. Marah, sedih, dan kecewa memang perasaan yang sangat manusiawi. Tapi kita harus segera bangkit lagi. Insya Allah Dia akan senantiasa melindungi.

Visits: 29

Lisa Aviatun Nahar

2 thoughts on “MELAHIRKAN KEHIDUPAN DI TENGAH ANCAMAN

  1. MasyaAllah, sebagai wanita dan seorang ibu,sya bisa merasakan apa yg Fathia rasakan. Tulisan Bu Lisa Membuat kita harus banyak bersyukur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *