NASIHATMU, DUA PULUH TAHUN LALU

Pertengahan tahun 2000. Seragam putih abu-abu bahkan masih melekat sore itu.

“De, siapin baju, ya. Kita berangkat ke Jogja besok pagi-pagi.” Mama menyambutku dengan perintah packing beberapa baju. Aku melihat sorot mata yang masih tampak berkaca-kaca. Kantung matanya pun masih agak sembab.

“Yess!! Sekeluarga, Ma? Main?” sambutku dengan gegap gempita. Ujian sekolah sudah usai, hanya tinggal menunggu hasil rapor, dan … Mama mengajak pergi ke Jogja. Sempurna!

“Bukan. Kita mau ketemu Huzur. Alhamdulillah … tadi dari masjid ada yang ke sini. Ada undangan mulaqat untuk keluarga awalin Jemaat. Aki udah nggak ada, jadi kesempatannya untuk kita.” Sembari bergetar, Mama memaksakan memberi penjelasan kepadaku. Tak ada tanggapan apa-apa selain anggukan kepala.

Huzur. Aku sebatas mengetahuinya sebagai pimpinan Jemaat Ahmadiyah. Jemaat yang dibawa Aki (kakek –pen) ketika pindah tugas ke Semarang sekitar tahun enam puluhan.

Rumah ini, menurut cerita mama, juga sering digunakan untuk salat berjamaah dan pertemuan-pertemuan, karena Jemaat cabang Semarang belum punya masjid waktu itu.

Di ruang tamu, berjajar foto-foto huzur dari yang pertama sampai keempat. Buku-buku terbitan Jemaat pun memakan tempat hampir dua lemari besar. Beberapa buku saku bahkan tergeletak begitu saja di meja ruang tamu. Sengaja, untuk dibaca siapapun yang singgah di rumah.

Sembari mengemasi beberapa pakaian, benakku terus bergumam, sedemikian harunya mama mendapat kesempatan bertemu Huzur. Apa mungkin kalau Aki masih ada, juga akan ada rasa yang sama?

“De, jangan lupa baju muslim! Setrika dulu!” perintah tambahan mama dari kejauhan.

“Iya, Ma.” Jawabku datar saja, sembari terus bertanya-tanya tentang sosok spesial ini di mata mama.

Waktu yang, dinanti oleh Mama, akhirnya tiba. Jogja siang itu penuh sesak dengan para anggota Jemaat yang berkumpul untuk bertemu dan menatap sosok suci pemimpin Jemaat ini.

Kuperhatikan, mama sejak tadi seperti tak berhenti berzikir. Tangan kanannya menggenggam tisu yang mulai menipis dan hampir hancur karena air mata yang terus mengucur.

Seorang panitia menghampiri Papa, memberi instruksi agar satu keluarga tidak terlalu jauh dari tempat mulaqat. Kami berlima pun mengikuti arahannya. Hingga, nama keluarga kami pun seperti terdengar terpanggil, “Keluarga Almarhum Pak Dimyati, silakan” mendengarnya dada ini rasanya seperti terhantam gada.

Entah energi apa yang membuat kaki ini seperti terikat. Gemetar mendekati Huzur yang sudah sejak tadi duduk di sebuah kursi, berfoto bersama beberapa keluarga yang mendapat kesempatan serupa.

Tentu hanya Papa, Kakak, dan Adikku yang bisa menjabat tangannya karena mahram, sementara aku dan mama hanya membungkuk dan memberi salam dari kejauhan. Huzur pun membalas dengan anggukan dan senyuman, yang entah kenapa masih saja terbayang sampai sekarang.

Huzur bertanya kepada Mama tentang kami bertiga, anak-anaknya. Lagi-lagi, seperti ada hal yang membuat mulut ini terkunci. Tiba-tiba saja kemampuan berbahasaku melempem.

Aku benar-benar tak punya daya untuk menatap sosok mulia, berbaju putih yang semakin memancarkan auranya yang bersih. Jangankan untuk menatap dan bercakap dengan Huzur, untuk bernapas saja paru-paru ini rasanya sudah hancur.

Antrian panjang membuat kami harus bergantian. Namun, badan ini tetap saja seperti terkunci kaku, meskipun kami sudah kembali ke penginapan, dan bahkan sampai kembali ke Semarang esok harinya.

Aku tak pernah bisa menjelaskan energi dahsyat yang membuat napasku sempat tercekat. Mungkinkah seperti itu rasanya melihat malaikat? Tapi siapalah aku ini, sampai-sampai mendapat kesempatan bertemu dengan pimpinan Jemaat Ilahi ini.

“Nak, itulah Huzur, Khalifah kita. Bersyukur kita ada di dalam Jemaat yang punya satu pemimpin saja untuk seluruh dunia. Satu perintah, satu nasihat, yang Insya Allah akan membuat kita semua selamat,” Mama melanjutkan wejangannya sore itu sepulang dari Jogja, tetap dengan mata yang berkaca-kaca, “Ini semua jasa Aki, yang berjuang memulai tabligh di Semarang. Mama cuma pesan 1 hal ke kalian bertiga, sampai kapanpun, jangan tinggalkan Jemaat.”

Ah … Hujan deras turun bersamaan dengan kenangan yang jelas terlintas, dua puluh tahun yang lalu.

Napas ini mendadak berat. Sosok Huzur, dan pesan dari mama sebelum berpulang, tiba-tiba terngiang begitu dekat.

Sekarang, aku ada di tempat yang teramat jauh dari kota Semarang. Karunia Allah Ta’ala membawaku ke desa ini, untuk berkhidmat di sebuah sekolah yang juga Huzur resmikan waktu itu, dua puluh tahun yang lalu.

Visits: 49

Rahma A. Roshadi

5 thoughts on “NASIHATMU, DUA PULUH TAHUN LALU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *