Para Utusan Tuhan

Sekitar 6ooo tahun yang lalu Tuhan menurunkan risalahnya yang pertama melalui utusan-Nya yang pertama yaitu Nabi Adama’laihi salam (as). Sebagai pribadi terbaik dari zaman itu yang diserahi tugas mendirikan suatu masyarakat yang teratur dan beradab. Beliauas menciptakan suatu tertib dalam kehidupan manusia yang sebelumnya tidak ada. Beliauas pendiri zaman pertama dari kehidupan manusia yang berdasar hukum.

Pada masa Nabi Adamas manusia hidup bersama-sama di satu tempat, karena itu satu ajaran cukup bagi mereka. Berlanjut hingga masa Nabi Nuhas, kemudian pada masa beliauas azab berupa air bah menimpa umat manusia yang menyebabkan terpencarnya manusia ke berbagai jurusan. Lambat laun pengaruh ajaran Nabi Nuhas pun mulai berkurang, sementara sarana perhubungan belum ada. Oleh karena itu Allahsubahanahu wa ta’ala (swt) mengirimkan seorang utusan-Nya ke setiap kaum sehingga tak ada suatu kaum pun yang tak memperoleh hidayah-Nya. Sebagaimana Allahswt berfirman dalam Al Quran:

Dan tiada suatu kaum pun melainkan telah diutus kepada mereka seorang pemberi peringatan. (Al-Fatir: 25).

Banyak utusan Tuhan yang telah dikirimkan ke semua umat di muka bumi pada kurun masa yang berlainan, diantaranya ada yang disebutkan dalam Al-Quran (sekitar 25 nama nabi saja) dan sebagaian besarnya tidak diketahui sama sekali. (Al-Mu’min: 79). Rasulullahsalallahu a’laihi wassalam (saw) sendiri pernah menyebutkan bahwa jumlah para nabi ada 124.000. (Musnad, V. 266). Mereka semuanya para Utusan Allahswt dan ajaran-ajarannya berasal dari-Nya. Tidak ada perebedan diantara mereka, semua berasal dari Allahswt. Adapun yang membedakan adalah kwalitas kedekatan dengan-Nya dan cakupan tugas mereka masing-masing. (Al-Baqarah: 254).

Penentangan Terhadap Para Utusan Allah

Allahswt terus menerus dan berturu-turut menurunkan utusan-Nya. Sayangnya tidak pernah datang seorang rasul melainkan umatnya selalu menentang dan menolaknya. Allahswt berfirman dalam Al-Qur’an:

Sayang sekali bagi umat manusia. Tidak pernah datang kepada mereka seorang rasul melainkan mereka senantiasa mencemoohkannya. (Yasin: 31).

Akan tetapi setelah umatnya itu sadar dan beriman kepada nabinya kemudian nabi itu wafat, maka para pengiukutnya yang fanatik meyakini bahwa tidak akan datang lagi utusan Allahswt setelah utusannya itu. Bahkan lebih jauh lagi mereka mengkultuskannya atau mendewakannya, atau menganggap utusan Allahswt itu sebagai anak Tuhan.

Contohnya apa yang terjadi pada nabi Yusufas pada awalnya beliau ditentang oleh kaumnya. Tetapi kemudian setelah beliau tiada, orang-orang yang menolak pendakwannya menjadi sadar dan percaya kepadanya, bahkan karena fanatik dan saking cintanya kepada beliauas mereka sampai mengatakan, “Allah sekali-kali tidak akan mengutus sesudah dia seorang rasul.” (Al Mu’min: 35).

Begitu juga yang terjadi dengan umat nabi-nabi lain, misalnya umat Yahudi, mereka meyakini setelah kepergian nabi Musaas, bahwa beliauas adalah nabi terakhir dan tidak akan ada lagi nabi setelahnya.

Sepanjang sejarah, umat manusia selalu menganggap masa mereka lebih unggul dari generasi umat manusia sebelumnya, manusia selalu merasa telah berada di puncak dari kematangan intelektualnya. Mereka menganggap bisa mengatur diri mereka sendiri, sehingga mereka merasa tidak membutuhkan lagi adanya bimbingan Ilahi, tidak perlu ada lagi utusan Allahswt.

Padahal biasa terjadi setelah kepergian seorang nabi, umatnya mengalami kemunduran dan kehancuran. Terjadi perpecahan dan muncul bermacam-macam mazhab, sekte, dan golongan-golongan yang tidak bisa dipersatukan kembali. Usaha apapun tidak pernah berhasil untuk mengembalikan kembali keadaan seperti mula pertama ketika utusan Allahswt itu ada.

Oleh karena itulah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad dalam bukunya Reveletion, Rationality, Knowledge and Truth (2014) mengatakan, ”Sejarah keagamaan menunjukkan kalau manusia yang telah terpecah-belah dalam berbagai sekte dan skisma, tidak pernah bisa disatukan lagi hanya dengan kekuatan manusia saja. Tanpa perantaraan sosok pembaharu Ilahi, tidak mungkin mereka bisa dihimpun kembali di bawah satu bendera Ketauhidan.”

Dalam menjalankan misinya, mereka – para utusan Allahswt – juga selalu menjadi korban fitnah dan serangan-serangan. Mereka dituduh macam-macam, seperti pemberontak terhadap tertib yang sah berlaku dan ingin menggantinya dengan tertib baru, pembohong, ataupun tukang sihir, bahkan dianggap gila. Terkadang seorang utusan Allahswt dianggap manusia biasa yang tidak memiliki kelebihan dari maunisa lain.

Memang, seperti manusia pada umumnya, mereka makan dan minum serta tunduk kepada semua keperluan jasmani manusia. Utusan Allahswt yang dikirimkan untuk memberi petunjuk dan teladan kapada manusia, haruslah seorang manusia juga. Jika bukan berwujud manusia, bagaimana ia memberi teladan kepada manusia pada umumnya. Hanya manusia yang dapat memikul amanat Tuhan dan yang dapat menjadi contoh bagi manusia lainnya.

Sebagai manusia, mereka tidak kekal dan abadi, mereka tidak kebal dan tidak dapat menjadi kebal terhadap keperluan-keperluan jasmani atau terhadap kehancuran atau kematian. Kekekalan dan keabadian hanya milik Allahswt. Allahswt berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan tidak Kami jadikan mereka jasad yang tidak makan makanan, dan tidak mereka hidup kekal.” (Al Anbiya: 9).

Perbedaan antara manusia biasa dengan para utusan Allahswt adalah mereka medapat bimbingan langsung dari Allahswt, mereka mendapatkan karunia berkomunikasi langsung dengan-Nya memalui wahyu, ilham, kasyaf dan mimpi-mimpi suci. Sebagaimana dikatakan Al-Qur’an, “Tiadalah kami melainkan manusia seperti kamu juga, akan tetapi Allahswt limpahkan karunia kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya. Dan tidak layak bagi kami mendatangkan sesuatu bukti bagimu, melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin bertawakkal.” (Ibrahim: 12).

Perbedaan Para Utusan Allah 

Menurut anggapan yang sudah meluas di kalangan umum mengenai para utusan Allahswt ini disebutkan bahwa, mereka terdiri dari nabi dan rasul, tiap rasul mesti nabi, tetapi tidak setiap nabi itu rasul. Seorang rasul ialah orang yang membawa syariat baru dan kitab baru, dan seorang nabi ialah orang yang diberi tugas oleh Allahswt hanya untuk memperbaiki kaumnya. Pemahaman ini tidaklah tepat.

Kenyataannya ialah tiap rasul itu nabi, dan tiap nabi itu rasul. Tugas-tugas kenabian mengikuti tugas-tugas kerasulan. Dalam kedudukan sebagai rasul, beliau mula pertama menerima risalah dari Allahswt dan sesudah itu dalam kedudukan sebagai nabi, beliau menyampaikan amanat itu kepada kaumnya. Jadi seorang disebut nabi karena ia menerima wahyu dari Allahswt dan ia dinamakan rasul karena ia menyampaikan apa yang diterimanya itu kepada umatnya.

Tidak setiap nabi membawa syariat baru. Banyak nabi-nabi yang tidak membawa syariat baru dan mengikuti syariat nabi sebelumnya. Contohnya, dari mulai Nabi Harunas hingga Nabi Isaas mereka semuanya mengikuti syariat Nabi Musaas. (Al-Maidah: 45).

Nabi Isaas misalnya, diutus hanya untuk kaum Bani Israil saja dan bukan untuk bangsa-bangsa lain. (Ali Imran: 50). Dan tugasnya untuk mengajarkan kembali syariat Nabi Musaas yang telah dilupakan umat Yahudi. Nabi Isaas mengatakan, “Janganlah kamu sangkakan aku datang untuk merombak hukum Torat atau Kitab Nabi-nabi; bukannya aku datang hendak merombak, melainkan hendak menggenapkan. Karena sesungguhnya aku berkata kepadamu: sehingga langit dan bumi lenyap, satu noktah atau sata titik-pun sekali-kali tiada akan lenyap daripada hukum Torat itu, sampai semuanya telah jadi.” (Matius 5:17-18).

Utusan Allah Yang Paling Mulia

Akhirnya, ketika umat manusia terus mengalami kemajuan baik pola fikir dan budayanya, maju dalam hal keduniaan, membentuk negara-negara, kemudian jarak di antara mereka tambah mudah dengan adannya sarana-sarana perhubungan. Seiring dengan itu kebutuhan dan tantangan kehidupan manusia terus meningkat, maka ketika itulah di gurun sahara tanah Arabia, Allahswt menurunkan syariat-Nya yang terakhir kepada umat manusia dengan diutusnya Nabi Muhammadsaw sebagai Rahmatan lil A’lamin, Rahmat bagi seluruh alam.

Nabi Muhammadsaw adalah nabi pembawa syariat terakhir yang diutus Allahswt dan ajarannya yaitu Islam adalah agama terakhir yang diturunkan oleh Allahswt yang berlaku untuk seluruh dunia dan sepanjang masa. Allahswt berfirman dalam Al-Qur’an:

Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (Al-A’raaf: 159).

Rasulullahsaw pun bersabda: “Sebelumku tiap-tiap nabi diutus khusus kepada bangsanya saja, tetapi aku diutus untuk seluruh umat manusia.” (Bukari). Para nabi yang diutus sebelum Rasulullahsaw diutus hanya untuk satu kaum saja, ajaran mereka untuk satu kaum, bukan bagi seluruh kaum dan bangsa di dunia. Sementara itu Rasulullahsaw diutus kepada semua bangsa, ajarannya untuk semua bangsa dan tak tergantikan hingga akhir.

Dengan diutusnya Rasulullahsaw maka semua kebenaran para Utusan Allahswt yang sebelumnya terselubung dan samar-samar menjadi terbuka. Oleh karena itu dalam Islam, beriman kepada nabi-nabi merupakan keimanan yang pokok, umat Islam diperintahkan untuk beriman kepada setiap utusan Allahswt di manapun dan kapan pun mereka telah di turunkan. Allahswt berfirman:

Rasul ini beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-nya, dan begitu pula orang-orang mukmin; semuanya beriman kepada Allah dan Malaikat-malaikat-Nya, dan Kitab-kitab-Nya, Dan Rasul-rasul-Nya, mereka mengatakan, ”Kami tidak membeda-bedakan di antara seorang pun dari Rasul-rasul-Nya yang satu terhadap yang lainnya;” dan mereka berkata,”Kami dengar dan kami taat. Ya Tuhan kami, kami mohon ampunan Engkau dan kepada Engkau kami akan kembali.” (Al-Baqarah: 286).

Adapun utusan Allahswt yang datang setelah Rasulullahsaw tidak akan membawa syariat baru dan mereka wajib mengikuti syariat Islam yang dibawa Rasulullahsaw. Oleh karena itu Imam Mahdi atau Masih Mau’ud sebagai utusan-Nya yang ditunggu-tunggu kedatangannya itu mutlak harus mengikuti ajaran Rasulullahsaw.

Visits: 472

Love for all hatred for none

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *