TAK PERLU TAKUT HIDUP NOMADEN, KARENA KITA PUNYA JEMAAT

Nomaden rupanya menjadi satu skenario yang tak pernah dibayangkan dalam rumah tangga kami. Kami harus berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain.

Awalnya, gambaran tentang nomaden itu berat. Karena pindah bukan cuma soal memindahkan badan dari satu tempat ke tempat lain. Banyak hal juga yang harus dipindahkan. Barang-barang tentu. Dan yang terberat adalah orang tua, saudara, teman juga mereka yang kita cintai.

Tapi, yang membuat kami bersyukur dan pada akhirnya menikmati aktivitas nomaden ini adalah berkat Jemaat ini, ya Jemaat Ahmadiyah yang tersebar di ratusan tempat di negeri ini.

Awal menikah, kami harus tinggal di pulau yang belum pernah kami pergi kesana, ya Pulau Sulawesi, tepatnya di Kota Makassar. Ketika menginjakan kaki di kota tersebut, yang pertama kali lakukan adalah mencari Masjid Jemaat. Alhamdulillah, ternyata masjidnya tidak jauh dari tempat kos-an kami.

Ketika berkunjung ke masjid, seperti bertemu saudara sendiri. Kebetulan saat itu mubaligh yang bertugas adalah Mln. Syaiful Uyun. Hingga bertamu pun seolah seperti tuan rumah sendiri. Ditambah lagi beliau kenal dengan kakek saya, almarhum Bapak Ikin Sodikin.

Tiga bulan kami tinggal di Kota Makassar hingga datanglah surat mutasi. Suami kini dipindahkan lagi ke kota lain yang masih di pulau yang sama, tapi ini sebelah utara. Ya, Kota Manado.

Karena di kota ini hanya sementara, akhirnya kami memutuskan tinggal di Hotel. Seperti biasanya, belum tenang hati jika belum mencari masjid Jemaat di Manado. Alhamdulillah, kami bertemu saudara-saudara rohani baru lagi.

Di Manado kami hanya sebulan. Lalu pindah tak jauh dari Kota Seribu Gereja itu. Ya, kami pindah ke Gorontalo.

Dari Manado kami bergerak lewat jalur darat selama 7 jam perjalanan. Seperti biasa, yang kami lakukan adalah mencari tahu keberadaan Jemaat disana. Kebetulan, saat itu belum ada masjid. Jad, ibadah dan kegiatan lainnya dilaksanakan di rumah bapak Samosir dan ibu Yani.

Di rumah itu juga lah kami tinggal sementara sambil mencari-cari rumah dinas. Tiga bulan lamanya kami tinggal disitu. Layaknya tinggal di keluarga sendiri. Kami tak merasa seperti di rantau yang jauh dengan saudara.

Tiga tahun kami tinggal di Gorontalo telah menyisahkan banyak sekali kenangan. Anak pertama kami pun lahir di kota ini. Hingga akhirnya, kami pulang kampung karena suami mutasi ke Bandung.

Suami terus berpindah-pindah tempat karena tugas. Ada masa ketika saya ikut, ada juga tidak, tergantung faktor yang menyertainya. Semisal anak sudah harus sekolah. Atau ketika suami tugas di satu tempat yang jauh sekali di ujung Indonesia. Ya, Papua.

Kami sekeluarga sempat menangis saat suami ditugaskan ke Papua. Bayangan tentang Papua selalunya soal jarak yang amat jauh juga minimnya sarana prasarana disana. Tapi kita tak pernah tahu rencana apa yang tengah Tuhan ciptakan. Bisa jadi Dia tengah mempersiapkan satu hadiah besar untuk kita.

Rupanya benar. Rahasia Allah benar-benar tidak terduga-duga. Berkat kerja keras suami dalam mendedikasikan diri untuk bangsa, khususnya untuk warga Papua, suami dianugerahkan penghargaan langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo berupa Tanda Kehormatan Satyalancara Wira Karya.

Hingga selepas tugas dari Papua, akhirnya suami kembali lagi bertugas di Jakarta. Kami pun kembali bisa berdekatan lagi.

Saya akhirnya paham mengapa Jemaat ini amat spesial. Karena dalam Jemaat ini telah diikatkan tali kecintaan antar anggotanya. Meski kita berbeda latar belakang suku, warna kulit, bahasa juga perbedaan-perbedaan lainnya. Tapi kita tetap saling mengenal dan mencintai di bawah naungan Khilafat.

Aktivitas nomaden kami benar-benar memberikan kesaksikan bahwa tali kasih di antara sesama anggota Jemaat itu nyata. Hingga kami tak merasa khawatir lagi tentang “nanti gimananya” ketika kami berada di satu tempat yang baru kami tinggali.

Bersyukur bisa berada di dalam bahtera Imam Mahdi ini sebab “ukhuwah Islamiyah” yakni persaudaraan di antara kaum muslimin itu amat nyata. Tak mengenal suku bangsa, tak mengenal status sosial juga tak mengenal warna kulit juga bahasa.

.

.

.

Penulis: Mia Kurniawati

Editor: Muhammad Nurdin

Visits: 402

Mia Kurniawati

1 thought on “TAK PERLU TAKUT HIDUP NOMADEN, KARENA KITA PUNYA JEMAAT

  1. Masyaa Allah tulisan yang kereeen n luar biasa.
    Saya sendiri visa merasakan bagaimana ketulusan dr orang2 jemaat dimanapun berada. Termasuk Ibu mia n keluarga . Semoga Ibu mia n keluarga senantiasa dianugrahkan kes3hatan n keberkahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *