Tereliminasi Karena Saya Ahmadiyah

Hana Hanifah!” terdengar nama saya dipanggil. Perasaan gugup dan campur aduk membuat jantung saya hampir meledak. Sebuah kursi kosong tersedia tepat di depan penguji yang akan menanyai saya. Hari ini adalah tahapan terakhir dari serangkaian tes yang telah saya jalani untuk bisa berkuliah di tempat ini.

Sejak lulus SMA saya punya keinginan untuk berkuliah di Universitas yang bagus dan mengambil jurusan yang saya sukai. Pilihan saya adalah Bahasa Indonesia, Sosiologi, atau Sejarah.

Tiba hari dimana saya mendaftarkan diri di sebuah Institut Pendidikan Indonesia di daerah Garut yang dulu dikenal dengan nama STKIP Garut. Dengan segala persiapan yang matang dan semangat yang membara saya mendaftar di Jurusan Bahasa Indonesia.

Karena saya memiliki saudara kembar, begitu banyak pertimbangan mengenai siapa di antara saya dan adik saya yang mau kuliah terlebih dahulu. Karena keterbatasan ekonomi waktu itu, akhirnya dengan kesepakatan bersama orangtua memilih saya untuk melanjutkan kuliah terlebih dahulu dan adik saya menunggu sampai tahun depan. Kebetulan adik saya sedang dalam masa penyembuhan karena sakit mata yang dia alami saat duduk di bangku SMA.

Di tahap terakhir ini tes diawali dengan membaca Al-Qur’an. Meskipun tidak sebagus Qori’ah di luar sana, saya mencoba meyakinkan diri untuk membacanya dengan baik semaksimal mungkin. Setelah selesai saya melihat ke depan. Ternyata penguji yang duduk di hadapan saya adalah seorang Dosen Bahasa Indonesia. Ia membaca biodata saya yang sudah ada di meja.

Ia membaca keterangan asal sekolah saya. “SMA PLUS AL-WAHID, alamat di Wanasigra,” nampaknya tak asing baginya.

Ia pun menyadari bahwa saya tinggal di kampung yang dulu pernah diserang oleh sekelompok orang yang menentang Ahmadiyah. Ia pun menanyakan apakah saya Ahmadiyah, dan saya menjawab, “iya”.

Rona wajahnya berubah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang agak keluar jalur.

Mulai dari fitnah yang berkembang di masyarakat yang mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok sesat, shalatnya bukan menghadap ke kiblat, kitab suci yang dibaca bukan Al-Qur’an, sampai fitnah tentang naik Haji bukan ke Mekkah melainkan ke India. Berbagai macam pertanyaan diajukan terkait keyakinan saya.

Mendengar hal itu tiba-tiba rasa gugup saya hilang dan tanpa disadari saya menjawab pertanyaannya satu per satu. Semua tudingan yang dilontarkan telah diklarifikasi.

Entah dari mana keberanian itu muncul, seolah ada yang membantu saya menjawab semua pertanyaan ini. Akhirnya tes pun selesai dan saya keluar dengan perasaan heran dan bingung.

Kenapa saya tidak diberikan pertanyaan seperti yang lainnya? Kenapa hanya ditanya mengenai ke-Ahmadiyah-an saya? Saya pulang dengan penuh tanda Tanya.

Keesokan harinya saya kembali ke kampus untuk menerima hasil tes yang saya jalani. Apakah saya lolos dan bisa masuk kampus tersebut atau tidak.

Saya mengambil sebuah amplop di salah satu ruangan di lantai dua. Dan dengan perasaan berdebar saya membukanya. Mata saya langsung tertuju pada tulisan yang paling mencolok. TIDAK LOLOS.

Astaghfirullahal adzim,” perasaan saya tak menentu. Masih teringat bagaimana kemarin saya diwawancara dan diberondong oleh pertanyaan yang ‘berbeda’ dari peserta tes yang lain.

Hal ini terus mengganjal di hati saya dan begitu membingungkan. Saya pun pulang dengan perasaan sedih dan kecewa. Padahal, saya mengerjakan tes tertulis dengan begitu yakin.

Saya menemui kedua orangtua dan mengabarkan hasilnya. Saya meminta maaf dan menangis. Tak banyak yang dikatakan oleh orangtua saya. Mereka memberikan semangat agar tidak putus asa, dan menganggap ini adalah ujian bagi saya.

Masih terbayang dalam benak saya hari dimana saya ditanyai tentang keyakinan saya di ruangan yang diperuntukkan untuk pendaftaran kuliah. Bagaimana saya diperlakukan ‘berbeda’ dari yang lainnya hanya karena saya Ahmadiyah. Ada rasa trauma untuk mendaftar di kampus lain pada saat itu.

Satu tahun berlalu. Kejadian hari itu ternyata ada hikmahnya. Pada akhirnya saya berkuliah di Universitas Terbuka (UT) dengan mengambil jurusan PGSD dan sudah mengajar di Sekolah Dasar tempat saya bersekolah dulu. Tempat kerja yang dekat dengan rumah, dekat dengan Jemaat, dan membuat saya nyaman.

Keyakinan saya sebagai seorang Ahmadi tidak pernah luntur, justru semakin menguat. Pengalaman waktu itu malah semakin menambah keberanian dan kebanggaan saya sebagai seorang Ahmadi.

Tak perlu khawatir kehilangan sesuatu karena kita mengaku sebagai seorang Ahmadi. Allah akan menggantikan rasa kehilangan itu dengan sesuatu yang lebih baik. Dia ada dan akan membantu kita dalam situasi apapun. Pengalaman pahit saat itu ternyata menghasilkan buah yang manis.

.

.

.

editor: Mumtazah Akhtar

Visits: 30

Hana Hanifah

2 thoughts on “Tereliminasi Karena Saya Ahmadiyah

  1. Alhamdulillah

    Semua pasti ada hikmah nya

    Selama urusan kita, kita serahkan pada Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala punya rencana terbaik untuk kita.

    Sukses selalu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *