Kala Nafsu Menjadi Tuhan Kedua
“Kebajikan ialah apa saja yang apa saja yang menjadikan jiwa tenang dan hati menjadi tenteram. Dan dosa ialah apa saja yang menjadikan jiwa tidak tenang dan hati tidak tenteram kendati para pemberi fatwa berfatwa kepadamu.” [HR. Ahmad]
Beberapa waktu terakhir, dunia maya kembali dihiasi dengan beragam komentar dari sebuah sajian kisah nyata yang diangkat ke layar lebar, tentang perbuatan dosa dan pelanggaran norma dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Rasa sesak, geram dan jijik tak bisa terlukiskan saat menggambarkan kejadiannya. Kisah tragis yang berawal dari menormalisasi keadaan yang tak pantas, menjadi satu hal yang dianggap biasa ini telah membuka jutaan pasang mata, bahwa syaitan tak akan menyia-nyiakan kesempatan agar manusia terjerumus dalam jurang dosa ketika manusia lengah.
Meski sejatinya, Allah SWT melalui ajaran Islam telah memberikan arahan dengan sangat baik mengenai berbagai segi kehidupan, baik dalam pergaulan, muamalah, pendidikan hingga aturan keseharian mulai bangun tidur, makan, minum berpakaian hingga kembali ke peraduan. Namun lagi-lagi manusia lebih sering abai, bahkan merasa terganggu dengan ajaran lurus itu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena hawa nafsu telah menjadi Tuhan kedua di hati mereka.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS 25.Al-Furqān ayat 43-44: “Sudahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau, apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka tidak lain hanyalah seperti hewan ternak. Bahkan, mereka lebih sesat jalannya.”
Salah satu keaadan terberat bagi manusia adalah saat ia harus berjuang melawan hawa nafsunya di kala sendiri, tanpa pengawasan siapapun di sekitarnya. Sebagaimana pesan berharga yang disampaikan oleh Imam Syafi’i rahimahullah, “Pekerjaan terberat itu ada tiga: Sikap dermawan di saat keadaan sempit; menjauhi dosa di kala sendiri; berkata benar di hadapan orang yang ditakuti.”
Sebagai manusia yang lemah, penting bagi kita untuk senantiasa menjaga diri dari segala kondisi yang mampu menyeret kita pada perangkap syaitan. Hawa nafsu yang telah dihias sedemikian rupa oleh beragam bisikan syaitan akan semakin membuat kita hilang akal, hingga menghanguskan keyakinan bahwa Allah Maha Melihat apapun yang kita perbuat dan Dia Maha Mengetahui segalanya.
Untuk menjauhkan diri dari keadaan tersebut, sangatlah penting bagi kita selalu memohon perlindungan kepada Allah, berusaha semaksimal mungkin menghindari keadaan dan kondisi yang tak pantas dalam keseharian, menundukkan pandangan dan terus menjaga diri dengan beristighfar.
Memperkuat keyakinan akan keberadaan Allah SWT sebagai satu-satunya wujud yang terus mengawasi kita adalah cara terbaik agar iman kita tetap terjaga. Karena keyakinan akan wujud Allah SWT merupakan sarana yang mampu melepaskan manusia dari cengkraman dosa dan keburukan.
Sebagaimana pendiri Jama’ah Ahmadiyah bersabda:
“Satu-satunya barang yang melepaskan manusia dari dosa dan menyampaikan manusia kepada Tuhan, sehingga derajat yang dicapai manusia dalam hal keikhlasan, kemantapan dan kegigihannya dapat melampaui derajat malaikat adalah keyakinan.” [Bahtera Nuh]
Pesan berharga dari Imam Mahdi ini menggambarkan dengan jelas bahwa seorang pendosa tak akan mungkin mampu melakukan perbuatan dosa saat dia yakin bahwa Allah sedang menyaksikan perbuatannya dan azab telah Allah siapkan atas setiap perbuatan dosanya.
Bersyukurlah mereka yang senantiasa berada di antara orang-orang yang yakin sepenuhnya akan Wujud Sang Maha Pencipta, saling mengingatkan untuk menjauhi keburukan hawa nafsu dan berlomba-lomba melakukan amal kebaikan. Karena pergaulan dengan orang-orang yang saleh akan mewarnai mereka dengan kesalehan pula.
Visits: 79