Kata Yang Terlupa Itu Adalah Takwa

Oleh: Muhammad Idris

Al-Quran adalah kitab suci yang sebagian besar ayat-ayatnya membahas dan menekankan mengenai pembentukan akhlak mulia dan juga ketakwaan. Mengapa demikian? Sebab, pada hakikatnya ketakwaan lah yang dapat memberikan kekuatan bagi manusia untuk mencegah dirinya dari berbuat keburukan dan memotivasinya untuk terus berprogres dalam melakukan kebaikan.

‘Taqwa’ adalah keyword bagi setiap insan untuk dapat memenuhi tujuan hidupnya yang telah Allah Ta’ala sendiri tetapkan yakni menjadi hamba-hamba Allah yang sepenuhnya mengabdi dan menghamba hanya kepada-Nya. Takwa juga adalah sebuah formula ampuh yang Allah Ta’ala sendiri telah beritahukan kepada manusia sehingga mereka akan dapat memiliki kapabilitas untuk memenuhi tujuan hidup mereka.

Namun saat ini, takwa seolah menjadi kata yang terlupa ataupun sengaja dilupakan. Bukan berarti orang-orang menjadi tidak lagi bisa melafalkan kata ‘taqwa’ ini karena lupa.

Di mimbar-mimbar keagamaan yang diukir dengan indah kata ini barangkali masih menjadi kata favorit untuk diucapkan dan didakwahkan. Namun sangat disayangkan, karena kata ini hanyalah sebuah kata yang tanpa makna dan kosong dari amalan nyata.

Fenomena ini sudah dinubuatkan oleh Baginda Nabi Besar Muhammad (SAW) yang menyebutkan bahwa akan datang satu zaman dimana Islam hanya tinggal nama dan Al-Quran hanya tinggal tulisannya saja.

Yakni Islam dan Al-Quran yang hanya bisa dilihat secara zahir tanpa ada implementasi dalam kehidupan pemeluknya sehingga agama menjadi terasa kering dan gersang.

Sebab faktanya, Allah Ta’ala hanya menjamin kesucian dan kesempurnaan Islam dengan Al-Quran sebagai kitab syariat yang paling sempurna namun tidak ada jaminan bagi para pemeluknya.

Tak heran bila kata ‘taqwa’ ini seolah seperti barang yang terlupa karena minimnya pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan akhir-ahir ini bisa dilihat bagaimana antusiasme yang kebablasan dari umat kepada Islam ini sehingga saat kampanye pilkada ataupun pilpres tak segan-segan mereka ini menggunakan isu-isu agama demi menjatuhkan lawan-lawan politik mereka.

Tapi sekali lagi, mereka melupakan kata ‘taqwa’ ini, sebab faktanya Islam dengan ayat-ayat Al-Qurannya yang luhur ini telah disalahgunakan untuk kepentingan politik sesaat. Mereka lupa bahwa tidak semestinya ayat-ayat Allah diperlakukan demikian yang berakibat fatal terhadap wajah Islam, agama yang diturunkan Allah untuk menebarkan cinta dan kasih sayang kepada semesta alam.

Ya, mereka ini telah benar-benar melupakan ‘taqwa’.

Seharusnya dengan ‘taqwa’ ini, mereka dapat menyelamatkan diri mereka dari segala bentuk keburukan.

Mengutip sabda dari Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as), pendiri dari Jama’ah Islam Ahmadiyah yang menyebutkan bahwa orang yang bertakwa akan dapat mencegah dirinya dari perbuatan sia-sia dan menimbulkan mudharat yang seringkali akan dapat menghancurkan dirinya. Sebab melakukan perbuatan-perbuatan tersebut seibarat menebarkan benih pertikaian dan perselisihan diantara sesama manusia yakni melalui amal perbuatan yang sembrono dan penuh syak wasangka. (Ruhani Khazain)

Suatu amalan yang tidak dilandasi oleh ‘taqwa, maka akan dapat menyebabkan kehancuran bagi si pelakunya.

Ketika ‘taqwa’ sudah tidak dihiraukan lagi artinya perbuatan tersebut kosong dari ‘taqwa’ sehingga sebagai hasilnya seringkali dipertontonkan di hadapan kita perbuatan-perbuatan yang  sangat jauh dari nilai-nilai agama dan moral oleh orang-orang yang mengklaim dirinya beragama dan bermoral juga.

‘Taqwa’ tidak membutuhkan klaim semata, namun bukti nyata yang bisa langsung dilihat dari amal perbuatan, akhlak, dan moralnya.

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) di dalam Malfuzhat juga bersabda bahwa banyak sekali elemen dari ‘taqwa’ ini. Ketakwaan juga mampu untuk mencegah diri dari kesombongan dan keangkuhan. Ketakwaan ini jugalah yang mampu mencegah diri dari ketamakan dan akhlak yang buruk. Sehingga seseorang yang mampu menampilkan tingkah laku yang baik dan akhlak yang mulia akan dapat mengubah musuh menjadi sahabat dekat.

Begitu luar biasanya efek yang dapat ditimbulkan dari menjalani hidup dengan penuh ketakwaan. Seorang yang ‘muttaqi’ adalah ketika dia merasa takut, jangan-jangan apa yang diperbuatnya membuat Allah Ta’ala tidak ridho atasnya. Hal ini juga merupakan esensi dari ‘taqwa’.

‘Taqwa’ juga menuntut orang-orang mukmin untuk menjalani kehidupan dengan penuh kehati-hatian. Segala aspek dari apa yang akan diperbuatnya akan dipertimbangkan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan dosa untuk dirinya dan juga kemudharatan bagi orang lain. Orang-orang yang hidup dengan sembrono dan serampangan adalah mereka yang telah meninggalkan ‘taqwa’ dalam kehidupannya.

Dewasa ini kita dengan mudahnya melihat orang-orang dapat menghalalkan segala cara untuk mencapai maksud dan tujuannya tanpa memperdulikan lagi norma-norma agama dan kepatutan.

Misalkan saja demi ambisi politiknya, dia akan rela untuk memfitnah lawan politiknya, menyebarkan berita-berita hoaks yang sarat dengan dusta dan kebohongan bahkan ketika semuanya itu terungkap di publik, tak sedikitpun terlihat penyesalan dan rasa bersalahnya.

Hal ini disebabkan kebohongan dan dusta itu begitu mendarah dagingnya sehingga tidak ada kata lain untuk mendeskripsikannya bahwa nilai-nilai ketakwaan ini sudah benar-benar dilupakan.

Oleh karena itu untuk kembali menghidupkan nilai-nilai ketakwaan dalam diri setiap mukmin, ada beberapa tips yang dinasehatkan oleh pendiri Jama’ah Islam Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as).

Di dalam Malfuzhat Beliau menasehatkan bahwa untuk dapat menjadi seorang muttaqi yang sesungguhnya, sangat diperlukan untuk dapat menjauhkan diri dari dosa-dosa yang besar seperti zina, mencuri, merampok, munafik, kesombongan, mencaci-maki/menghina orang lain, kikir, moral yang rendah, dan terus meningkatkan moral yang tinggi. Dia harus dapat memperlakukan orang lain dengan lemah lembut, akhlak yang tinggi, simpati dan dia juga harus dapat mengupayakan keitaatan serta ketulusan terhadap Allah Ta’ala.

Bila setiap insan dapat mengamalkan nasehat beliau ini, ‘taqwa’ yang terlupa dalam pengamalannya itu akan menjadi ‘taqwa’ yang menyentuh hakikatnya yaitu kehidupan yang bernafaskan ‘taqwa’ dalam amalan nyata.

Visits: 39

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *