Mengulang Ingatan

Perkenalkan, namaku Rahma. Sampai sekarang, aku selalu bilang aku bukan siapa-siapa. Pada beberapa media sosial yang kupunya, terbaca beberapa biodata. Penulis salah satunya. Padahal menurutku, menulis hanyalah cara untuk mengalihkan trauma.

Aku seorang Ahmadi. Kakekku, Ahmad Dimyati. Seorang pemberani, korps tentara yang pernah diturunkan pangkatnya hanya karena lantang bicara tentang Imam Mahdi. Dia pernah relakan badannya dibui, demi janji baiat sehidup semati.

Tetes darah pemberani dititiskan ke putrinya. Mama. Dedeh Rosyidah Dimyati, putri bungsu yang kata cerita selalu jadi bunga kemanapun keluarga kakek pindah kerja. Mata ini pernah bersaksi bagaimana mama dicibir tetangga hanya karena masjidnya beda. Tapi lama-lama, mereka hanya melongo saja ketika tahu bahwa tidak ada yang berbeda dengan cara salatnya.

Menulis hanyalah sebuah jalan untuk menjaga ingatan. Tentang sebuah keheranan, bagaimana caranya keluarga kakek dulu bisa tetap nyaman di tengah bombardir cacian. Entah kenapa waktu itu aku pun bisa lepas tertawa, sembari bercerita di sekolah tentang acara Jalsah dan KPA. Namun ketika langkahku beranjak dewasa, aku merasa semua perlahan sirna.

Berawal dari siaran teve tentang serangan besar di Jalsah Parung. Seketika membuatku murung. Kakek bohong. Kalau ini Jemaat ilahi, kenapa orang-orang tidak ada yang menolong?

Mama juga sama. Mama hanya bisa menangis saja. Badannya terkulai lemas di kamar, menonton siaran sadis dengan pandangan nanar. Aku bisa apa?

Langkahku, menjauh dari masjid. Tapi ingatanku tidak. Mata ini tak ingin lagi membaca buku-buku kakek, selebaran-selebaran di kamar mama, dan juga foto-foto khalifah yang kusimpan saja, karena takut diserang juga.

Rahma…beranjak dewasa, dan semakin lupa pada darah Ahmadinya. Bandung, kota yang kupilih untuk bekerja dan melupakan segalanya. Dulu kata kakek dan mama, di Bandung banyak saudara. Nenek Uun Makih ada disana. Aki Tutang atlet bulutangkis kakekmu juga. Masjidnya “Mubarak”, jangan kemana-mana. Tinggal bilang iya saja, apa repotnya. Ahmadiyah, perlahan hilang dari ingatan.

Akhir tahun 2010. Ketika gempuran pekerjaan mulai penuh. Saya Rahma! Saya bukan siapa-siapa!

Di tengah kantor yang megah di ujung jalan Braga, siang itu semua orang teralih pandangannya, dari meja kerja, ke siaran berita.

Terbaca. Kerusuhan di Desa Cikeusik, antara warga yang menyerang kelompok Ahmadiyah. TIGA ORANG TEWAS DIHAJAR MASA.

Terbaca sebuah nama, seorang Ahmadi yang terluka parah tapi malah dianggap sebagai biang keladinya. Deden Sujana.

Layar monitor di depanku mendadak retak. Aku ingin TERIAK! Berjalan gontai ke toilet kantor, air mata pun tumpah tak terbendung. Seorang kawan menyusul dan bertanya, “Kenapa?” Kujawab sambil sesenggukan, “Itu paman.”

“Kamu…Ahmadiyah?” tanya tak mengerti sambil mencermati dari ubun-ubunku sampai jempol kaki, “Kok, nggak pake cadar dan baju hitam-hitam?”

Tangisku berhenti. Aku menoleh padanya, menggumam dalam hati, “bodoh sekali.”

Lisan ini selalu bicara, aku bukan siapa-siapa. Tapi sebenarnya, hati ini rindu pada kedamaiannya. Ahmadiyah, melekat sangat kuat dalam ingatan meski sejauh apa kumelangkah. Aku yang tak ingin lagi mengingat KPA dan muawanah. Tapi beberapa kali bermimpi berada di acara Jalsah.

Aku…Ahmadi?

Bukan sekali dua kali, mimpi bertemu kakek dan mama mengganggu fokus kerja.

“Jangan tinggalkan Jemaat ini. Hancur kamu kalau jauh dari Jemaat.” Nasihat mama waktu pulang sekolah di siang yang gerah, semalam membangunkanku dari mimpi indah.

“Berbahagialah kita yang sudah ada di dalam bahtera.” Kalimat kakek datang lagi, melintas sejenak di tengah makan siang yang mendadak nggak enak.

Menulis…bagi saya, adalah sebuah gerakan tangan yang berat, karena selalu berbarengan dengan napas yang tersendat. Karena, sebenarnya saya menyesal, atas waktu yang pernah saya sia-siakan, tanpa menikmati ruh Ahmadi yang sangat kental. Kakek saya keburu meninggal. Mama juga sudah tiada, meninggalkan cerita yang belum sempurna.

Visits: 655

Rahma A. Roshadi

7 thoughts on “Mengulang Ingatan

  1. MasyaaAllah Bu Rahma, peristiwa Cikeusik
    Yg membawa Bu Rahma pulang kepangkuan Jemaat dan peristiwa itupulah yang membawa saya untuk bergabung dengan Jemaat. Semoga kita selalu bersyukur atas karunia Allah SWT bisa di dalam bahtera ini dan akan terus berada di dalamnya sampai akhir hidup kita. Aamiin Ya RobbalAlamiin 🀲

  2. BP. Dimyati Semarang… sempat berkeliling dengan beliau,menghidmati Jemaat…… Semangat beliau luar biasa….

  3. Cerita yang mengharukan apalagi kejadian di cikeusik, yang membuat saya tambah yakin akan kebenaran jemaat Ilahi ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *