Pilpres, Surga dan Neraka
Jika kita mengamati ragam pemberitaan akhir-akhir ini, tidak ada space yang tersisa kecuali semuanya terisi ragam reportase tentang politik.
Suhu perpolitikan di negeri ini memang tengah berjalan hangat menuju puncaknya di Pilpres 2019, dengan tensi yang demikian sensitif maka segala isu yang dilempar serta merta akan menjadi buah bibir yang tak akan habis diperdebatkan.
Dari sekian banyak segmen isu, hal-hal yang menyangkut keagamaan adalah sesuatu yang paling ‘seksi’ untuk dimainkan. Tak jarang kita baca bagaimana narasi-narasi keagamaan banyak beredar, mulai dari sekedar mendongkrak elektabilitas sampai niatan menjatuhkan lawan, semua itu seakan lumrah dalam dunia perpolitikan kita.
Baru-baru ini berita menarik telah saya baca, terkait seseorang yang katanya habib dalam suatu acara mengajak untuk meminta surga kepada salah satu pasangan capres dan cawapres. Dan serta merta urusan surga neraka seakan dibuat mudah karena bisa diperoleh hanya dengan pilihan politik.
Terlepas dari ‘kengawuran’ berita tersebut, ada hal serius yang perlu diungkap tentang kedudukan karunia Tuhan yang bernama ‘surga’. Apakah ia buah dari amalan manusia? Anugerah Tuhan? atau pemberian dari salah satu paslon capres dan cawapres?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dimunculkan guna membantu sang habib keluar dari kesesatan fikir tentang surga dan neraka.
Namun perlu kiranya mendahului uraian ini dengan beberapa kisah, bukan untuk melebarkan masalah tapi semata-mata agar lebih mudah memahami masalah.
Kisah pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya bahwa Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Seorang penzina telah mendapatkan ampunan. Dia melewati seekor anjing yang tengah menjulurkan lidahnya di tepi sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan, melihat ini si wanita pelacur itu melepas sepatunya lalu mengikatnya dengan penutup kepalanya lalu dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya itu dia mendapatkan ampunan dari Allah Azza wa Jalla.”
Kisah berikutnya adalah peristiwa dimana Rasulullah saw mendapatkan ‘teguran’ dari Allah swt karena menshalatkan jenazah seorang munafik.
Kisah ini bersumber dari Imam Ibnu Katsir yang menukil satu riwayat dari Imam Bukhari. Dimana pada saat matinya Abdullah bin Ubay bin Salul, anak Abdullah yang juga bernama Abdullah menghadap Rasulullah saw. dia meminta agar Nabi memberikan sebuah gamis untuk dijadikan sebagai kain kafan ayahnya. Kemudian, Abdullah pun meminta kepada Rasulullah untuk menshalatkan jenazah ayahnya.
Rasulullah saw pun bangkit untuk menshalatnya namun hal tersebut mendapatkan penolakan dari sahabat Nabi yaitu Umar ra yang segera menarik baju Rasulullah saw.
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah memberiku pilihan. Dia telah berfirman; kamu mohonkan ampunan bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampunan bagi mereka (adalah sama). Kendati kamu memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Dan, aku akan melakukannya lebih dari tujuh puluh kali.”
Atas kejadian itu, kemudian turunlah ayat yang berisi larangan untuk menshalatkan orang munafik tersebut.
Dari dua kisah yang berbeda itu, ada kesamaan kesimpulan yang bisa dipetik yaitu ampunan atau surga terletak diujung ridho Tuhan. Seberapa kotor pun diri seseorang ketika Tuhan ridho, maka surga menjadi miliknya. Pun demikian, tanpa adanya ridho Tuhan seribu permohonan ampunan tidak mampu melepaskan seseorang dari murka-Nya.
Dengan berkaca pada kisah-kisah tersebut jelaslah bahwa surga dan neraka bukanlah buah dari amal-amal kita semata, melainkan ia murni anugerah dari Tuhan. Untuk itu, jika kita mengharapkan surga maka carilah ia pada tiap-tiap amal kebajikan yang diridhoi-Nya, bukan pada tumpukan fanatisme agama. Apalagi pada cela-cela kantong pasangan calon presiden dan wakil presiden, itu mah nonsense!
Visits: 22
Seorang Penulis, Muballigh dan pemerhati sosial. Tinggal di Pulau Tidung.