SAAT KETAATAN DIPANDANG KEANEHAN
Standar keselamatan di pabrik kami semakin ketat. Mulai dari pengecekan suhu tubuh sebelum masuk kerja, penggunaan sanitizer di pos satpam, sampai cuci tangan ketika sampai di ruang kerja. Perusahaan benar-benar memperhatikan aspek keselamatan kerja agar resiko penyebaran wabah tidak terjadi.
Tapi satu keanehan muncul. Ini soal teman-teman yang terlalu menyepelekan prosedur standar ini. Mereka memakai masker saat ada pemeriksaan saja. Sampai di area mesin kadang masker di lepas. Mungkin merasa aman karena disini belum ada yang positif terjangkit.
Aku sering mengingatkan mereka. Tapi malah dianggap aneh. Diamsumikan penyendiri karena terus-terusan pakai masker.
Sering kuingatkan juga soal “social distancing”, jaga jarak terutama saat makan ngariung berjamaah. Eh, mereka malah menertawakan.
Kadang ada yang nyeletuk, “Yang pakai masker mah, yang sakit aja.”
Akhirnya aku jelaskan padanya soal fungsi aturan pemerintah dan pabrik terkait masker ini. Ia manggut-manggut seolah mengerti. Setelah lima jam masker pun dibuka lagi.
Satu contoh lagi yang sudah aku wanti-wanti berkali-kali agar jangan pakai mukena masjid yang dipakai bersama. Karena potensi penularan. Aku sampaikan, mending bawa sendiri dari rumah. Setelah pakai simpan di loker untuk menghindari pemakaian mukena masal.
Tapi yah, nasihat cuma tinggal nasihat. Kadang ingin sekali marah. Melihat betapa mereka begitu menyepelekan upaya kewaspadaan ini.
Kita tidak pernah tahu kapan virus itu datang. Tapi orang yang bijak adalah mereka yang sedia payung sebelum hujan. Jangan menunggu virus itu datang untuk menaati prosedur standar ini.
Pada akhirnya aku berpikir. Keitaatanku pada peraturan membuatku aneh di mata mereka. Tapi biarlah aku dianggap penyendiri, toh itu menjadi suatu tuntutan di masa pandemi ini.
Aku yakin bukan mereka tak paham soal betapa berbahayanya virus ini, atau soal betapa cepatnya penyebarannya. Mereka cuma menyepelekan sesuatu yang amat berbahaya.
Visits: 16