
LEBARAN, TRADISI DI BALIK IDUL FITRI (bag 1)
Pada detik-detik menjelang berakhirnya Ramadan, masyarakat pun bergegas berganti fokus kepada lebaran. Ya! Lebaran, yang sudah menjadi khas sebagai perayaan. Bahkan di tengah masa wabah sekalipun, euphoria lebaran manjur mengesampingkan protokol kesehatan. Namun, haruskah kita benar-benar merayakan lebaran, alih-alih menafakuri hari fitri pasca Ramadan?
Lebaran sejatinya adalah sebuah tradisi, yang secara mendarah daging, dipadankan dengan Idul Fitri. Sebagai seorang muslim, tentu kita harus tahu bahwa hari raya yang kita miliki adalah Id, bukan lebaran. Kemunculan kata lebaran sangat dipengaruhi oleh budaya di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Jawa. Terdapat beberapa asal-usul kata yang membentuk, disertai dengan tradisi-tradisi yang lekat dilakukan oleh masyarakat pada saat hari raya Idul Fitri.
Pertama, sebuah filosofi kata leburan yang dalam bahasa Jawa berarti menyatukan. Barangkali kita pernah mendengar frasa “Manunggaling Kawula Gusti” dari Syekh Siti Jenar. Nah, leburan dalam hal ini berarti meleburnya sifat-sifat ego manusia menjadi sebuah fokus kepada sifat ketuhanan, setelah kita ditempa oleh ujian dan cobaan. Ujian dan cobaan itu tidak lain adalah tempaan puasa, yang melatih kita untuk senantiasa sabar dan tenang menghadapi kesulitan, amarah, rasa haus dan lapar, serta cobaan lainnya. Setelah melewati ujian ini, maka diharapkan manusia mampu meleburkan diri kepada sifat-sifat Tuhan yang penuh kasih, sayang, dan tanpa amarah ketika menghadapi ujian.
Kedua, lebaran adalah laburan. Masih dalam etimologi bahasa Jawa, laburan berarti mengecat. Begitulah sebuah kebiasaan yang, entah kapan dimulainya, pada masyarakat Jawa ketika datang bulan puasa dan menjelang hari raya, masyarakat melakukan kebiasaan mengecat rumah agar tampak lebih bersih dan indah. Maka kata laburan yang biasa dilakukan menjelang hari raya ini, kemudian menjadi kata lebaran yang dimaknai sepadan dengan Idul Fitri.
Ketiga, lebaran berasal dari kata lebar dengan akhiran -an. Lebar di sini bukan dalam arti lebar bangunan atau halaman, melainkan hati kita dalam memberi maaf kepada orang lain. Orang tua sering memberi kita nasihat, “Sing jembar atine (yang lebar hatinya -pen)”. Maka kata lebaran dalam hal ini mengandung makna agar kita selalu mudah memaafkan meskipun orang lain telah membuat kita sangat sakit hati. lebar adalah juga transformasi dari kata luber, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti melimpah atau meluap. Maka saat lebaran pun, ada makna keberlimpahan pada diri kita dalam hal pemberian maaf, rezeki, dan juga pahala setelah Ramadan.
Keempat, lebaran juga sering dianggap sebagai plesetan dari kata liburan. Nyatanya di dalam jajaran almanak, hari raya Idul Fitri mendapat porsi libur yang cukup panjang. Menikmati hari libur, berarti liburan. Sehingga pengucapan yang berulang-ulang menjadi titik pangkal dari munculnya kata lebaran.
Begitulah arti dan makna kata lebaran yang dimiliki oleh kekayaan bahasa Indonesia. Meskipun istilah-istilah tersebut muncul hanya karena sebuah tradisi di tengah masyarakat, namun nyatanya kata lebaran lebih akrab dan mudah diucapkan daripada Idul Fitri, hari raya yang sebenarnya.
Dalam beberapa tradisi tersebut, sebenarnya terdapat sebuah esensi yang serupa, yaitu lebaran sebagai saat untuk lebih melapangkan hati dengan maaf, serta membersihkan dan memperindah diri dengan pancaran sifat-sifat Tuhan yang penuh kasih dan sayang kepada sesama. Oleh sebab itu, kita pun tidak perlu memaksakan diri untuk melakukan tradisi ini-itu pada saat hari raya, karena makna yang sebenarnya adalah meleburnya semua khilaf dan salah, menjadi sebuah kata maaf yang indah.
Jadi, setelah habis Ramadan nanti, jangan sampai hanya merayakan lebaran, ya.
Visits: 360