MENJADI ISTRI SEORANG PEJUANG AGAMA

Menjadi istri seorang pejuang agama atau seorang “Waqaf Zindegi” harus siap dengan berbagai resiko. Harus siap selalu untuk men-support pengkhidmatan suami. Harus selalu sejalan, searah dan satu tujuan dalam pengkhidmatan.

Saya ingin berbagi sebuah kisah. Bagaimana ketika sebagai seorang istri tengah dalam keadaan yang paling lemah. Di satu sisi harus rela ditinggal suami untuk suatu masa yang cukup lama. Sekaligus ditinggal pergi orang yang paling dicintai.

Kisah ini terjadi pada tahun 2012 dimana ketika itu saya sedang hamil anak ke tiga. Suami saat itu ditugaskan di Daerah Sumut 2 tepatnya di Cabang Tebing Tinggi.

Sekitar bulan Agustus 2012, suami mengabarkan bahwa ia akan pergi menghadiri Jalsah Qadian dan mendapat kan cuti Study Banding selama 1 bulan bersama dengan Mln. Basuki Ahmad dan Mln. Cepy Sopian Nurjaman.

Ketika itu usia kehamilan saya menginjak lima bulan. Dan menurut prediksi dokter juga bidan kelahiran akan terjadi kisaran akhir Januari atau awal Februari 2013.

Suami berangkat menuju Qadian lebih awal di bulan Desember. Dan kepulangannya pada pertengahan Januari. Untuk mengejar kelahiran anak ketiga kami.

Saya cukup lega dengan segala perencanaan ini. Meskipun kita tidak pernah tahu apakah Tuhan merencanakan lain? Dan rupanya benar. Tuhan mempunyai rencana lain. Yang membuat keteguhan saya sebagai istri seorang waqaf zindegi diuji.

Pada minggu ke-4 di bulan Desember 2012. Daerah Sumut 2 sedang melaksanakan “Kelas Tarbiyat Wilayah” perdana. Bertempat di Cabang Tebing Tinggi, kegiatan perdana ini alhamdulillah berjalan dengan lancar.

Dalam kondisi hamil besar, alhamdulillah dengan karunia Allah, saya masih bisa ikut berpartisipasi membantu di dapur juga mengkoordinir para mentor.

Di hari terakhir ketika selesai shalat subuh berjamaah, kok pinggang saya terasa panas dan pegal-pegal. Dikarena suasana yang begitu khidmat, saya tidak terlalu merasakannya. Hanya sesekali muncul, sehingga saya bisa terus ikut kegiatan.

Kegiatan terakhir Kelas tarbiyat yaitu Out Bound ke Taman Kota dengan jalan kaki menuju lokasi.

Selama di Taman Kota kok makin terasa pinggangnya dan ada rasa-rasa mules seperti kebelet BAB. Tapi tak ada fikiran sedikit pun kalau itu tanda-tanda mau lahiran. Karena memang prediksi dokter dan bidan masih lama.

Sepulangnya dari Taman Kota pukul 09.00 WIB, barulah saya minta periksa sama ibu Ketua LI yang memang beliau biasa membantu melahirkan.

Pas diperiksa. Ya Allah… Rupanya sudah keluar tanda lahir kira-kira pembukaan dua.

Perasaan saya mulai berkacamuk tidak karuan. Sambil merasakan sakit saya coba kabari suami dan minta doa khusus kepada Huzur aba.

Waktu itu saya belum memakai Whatsaap. Jadi komunikasi lewat sms, itupun terkendala roaming.

Selama beberapa jam saya masih bisa jalan-jalan di Rumah Misi. Meskipun perasaan sudah bercampur aduk. Karena tak bisa dipungkiri, saat-saat melahirkan butuh kekuatan yang besar bukan cuma dari diri sendiri, tapi dari orang-orang terdekat.

Menjelang Zuhur. Kebetulan hari itu hari Jumat. Dengan niat untuk diperiksa, saya pergi ke bidan naik motor dibonceng sama paman saya Mln. Maskurullah Ahmady yang kebetulan tugas di daerah sana juga.

Saya pergi tanpa membawa perlengkapan apa-apa, karena memang niat periksa saja. Tak lama kemudian menyusul lah Ibu Ketua LI, Ibu Sumarni menemani saya di Pos siaga persalinan.

Setelah di periksa bidan, ia katakan tidak akan lama lagi lahiran. Disuruhnya kami untuk mengambil perlengkapan bayi dan kain-kain.

Saya ingat betul saat itu. Bertepatan dengan kumandang azan shalat Jumat. Tepat pada tanggal 28 Desember 2012. Putra ketiga kami lahir dengan selamat. Namanya sudah dipersiapkan dan diberikan langsung oleh Huzur aba, yakni Munis Ahmad.

Kelahiran Munis juga bertepatan dengan penutupan Jalsah Qadian.

Saya tak menyangka akan secepat ini dan selancar ini. Padahal bayangan saya sudah sedemikian menakutkan karena melahirkan tanpa suami tercinta.

Ini semata-mata berkat doa khusus dari Hazrat Khalifah. Juga doa tulus dari suami yang kebetulan tengah berada di suatu tempat suci dimana seorang Imam Zaman telah diutus di desa tersebut.

Dua jam sudah saya berada di pos siaga persalinan. Jam dua siang, saya sudah diizinkan pulang ke rumah.

Kegiatan Kelas Tarbiyat pun telah usai. Para peserta sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Rumah Misi dan Masjid pun kembali sunyi.

Info tentang kelahairan saya disebarkan kepada sanak keluarga. Ibunda tercinta juga berniat menengok cucunya yang baru lahir. Rencanya ibu akan terbang pada 9 Januari 2013. Tiket pun telah dibeli.

Dua hari sebelum keberangkatan, ibu masih menelpon saya dan menanyakan kabar. Beliau menawarkan, mau dibawakan apa dari kampung? Apa mau dibawakan daun-daunan untuk rebusan?

Saya sampaikan, gak usah repot-repot mamah. Bawa yang penting-penting aja. Mamah sudah sampai disini dengan selamat juga sudah senang. Tapi yang namanya orang tua selalu mau bawa apapun yang bisa dibawa.

Betapa berbunga-bunganya diriku karena ibunda tercinta akan datang berkunjung. Setiap wanita yang baru melahirkan, yang paling dirindukan adalah kehadiran sang ibu di tengah-tengah kondisinya yang amat lemah.

Tapi rupanya, Tuhan mempunyai rencana lain. Entah mengapa Dia menzahirkan semua ini di titik dimana saya tengah dirundung kondisi yang demikian lemahnya.

Sore harinya. Tepat menjelang maghrib. Saya mendapat berita duka dari kampung. Yang menyatakan bahwa mamah sudah tidak ada lagi. Mamah telah meninggalkan kami untuk selamanya.

Mendengar kabar tersebut. Rasanya saya ingin berteriak sejadinya-jadinya. Perasaan sedih yang amat dalam tengah berkecamuk di tengah ketidak-berdayaan diri.

Serasa Allah Ta’ala tengah menguji keberserahan diri hamba sebagai istri seorang waqaf zindegi bahwa harus siap menerima segala keadaan bahkan ketika berada di titik paling lemah sekalipun.

Berita duka ini pun langsung saya sampikan kepada suami. Alhamdullilah hikmah suami masih di Qadian dapat mendoakan secara khusus dari Baitud Du’a bahkan diumumkan juga permohonan doa untuk saya yang baru lahiran dan mamah yang meninggal di Masjid Aqso sebelum Jumatan.

Akan banyak hikmah di balik semua kejadian ini. Kisah tadi meyakinkan saya akan Doa Khalifah dan suami yang merupakan pengkhidmat agama bahwa walaupun tidak berada disamping saya saat melahirkan namun pertolongan-Nya yang Khas melimpahi kami. Dengan memberikan kelancaran, kesehatan dan kesabaran.

.

.

.

editor: Muhammad Nurdin

Visits: 82

Lilis Sahiba

4 thoughts on “MENJADI ISTRI SEORANG PEJUANG AGAMA

  1. Masya Allah.. Sangat menginspirasi.. Semoga dapat meneladani keteguhan hati Bu Lilis dalam mendukung pekerjaan suami ..

      1. MasyaAllah, sangat menginspirasi sekali buk lilis, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia kepada Ibu dan keluarga…aamiin…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *