Menjadi Jembatan Hijrah Untuknya

Namaku Japrulah. Aku terlahir dari keluarga Ahmadi. Aku memiliki seorang Bapak yang berwatak keras dalam mendidik anak. Apalagi tentang aturan agama, tidak ada tawar menawar. Bapak menanamkan keras pada anak-anaknya supaya tetap berpegang teguh pada keyakinan Ahmadiyah. Begitu pula mengenai pasangan hidup anak-anaknya, Bapak tidak ingin anaknya menikah dengan non-Ahmadi.

Ceritaku ini bermula dari pengalamanku mendekati seorang lajnah (sebutan bagi perempuan Ahmadi berusia 15 tahun ke atas) di tempat tinggalku. Dengan niat baik karena sesama Jemaat, aku pikir mungkin akan lebih dimudahkan urusan ini. Karena jika ingin mendapatkan jodoh sesama Jemaat, ada proses perjodohan yang dinamakan ristanatha. Lagipula sang lajnah pun menaruh perasaan istimewa padaku. Kami juga sudah saling mengenal, begitu pula dengan keluarga kami.

Namun yang terjadi tidaklah semudah yang kupikir. Orangtua sang lajnah tidak menyukai jika anak perempuannya itu memiliki hubungan dekat denganku. Ternyata keadaan keluargaku serta keadaanku yang bukan orang berada, menjadi tolok ukur bagi keluarga sang lajnah. Orangtua sang lajnah sudah mempunyai kriteria untuk menjadi menantunya kelak, yang tentunya tidak ada padaku yang jauh dari kata sempurna ini.

Aku berlapang dada untuk tidak lagi berharap kepada sang lajnah. Begitu pula dengan sang lajnah, ia pun seakan berat untuk melepas harapan yang pernah ia ucapkan padaku. Namun keputusan orangtuanya aku hargai, karena mungkin ingin yang terbaik untuk anak lajnahnya.

Peristiwa tersebut cukup meninggalkan rasa trauma yang mendalam dalam diriku. Aku seakan takut untuk kembali mencari seorang lajnah, jika keadaan ekonomi tetap menjadi tolok ukur orangtua lajnah dalam menerima pinangan seorang khuadam (sebutan untuk pemuda Ahmadi berusia 15-40 tahun).

Aku tak pernah ingin mencari lajnah lagi. Aku hanya berusaha menjadi orang yang patuh kepada orangtua. Aku ikut bekerja bersama Bapak ke luar kota, mengelola perusahan beliau.

Aku tak pernah dapat menghabiskan waktu bersama kawan-kawan di luar sana. Bapak begitu ketat dalam mengatur waktu untuk anak-anaknya supaya kami tak jauh dari didikan beliau dan tidak terbawa pada hal-hal buruk di luar sana. Namun menjadi orang baik saja ternyata tidak cukup dapat diterima oleh sebagian orangtua lajnah.

Singkat cerita, 6 tahun sudah berlalu. Tapi ternyata rasa trauma masih menghantuiku. Hingga terlintas dalam pikiranku, “Untuk apa mencari seorang lajnah, jika kehidupan duniawi masih menjadi tolok ukur.”

Sementara Bapak, yang mungkin tidak tega melihat anaknya merasa terhina karena sebuah penolakan, akhirnya berkata, “Mulai dari sekarang, Bapak tidak akan mengatur soal pasangan hidupmu. Jika harus dengan non-Ahmadi sekalipun, Bapak tidak akan melarang. Yang penting bai’at dulu dan kamu punya keyakinan yang teguh serta dapat mendidik istri dan keturunan menjadi Ahmadi yang hakiki. Tapi, jika kamu yang malah meninggalkan Ahmadiyah, maka jangan harap Bapak akan mengakui kamu sebagai anak. Lebih baik Bapak kehilangan satu anak, daripada punya anak yang meninggalkan Jemaat.”

Ucapan Bapak menjadikan semangatku tumbuh kembali. Dengan keyakinanku yang sudah terpatri, aku seorang Ahmadi maka akan tetap menjadi seorang Ahmadi. Kemudian aku mencoba mencari sosok perempuan berakhlak baik, yang mampu menerimaku serta keadaanku, dan yang siap berbai’at serta dapat meyakini kebenaran Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi yang Dijanjikan.

Di balik hati yang masih berteman trauma yang tak juga menepi, suatu hari aku bertemu dengan seorang gadis berjilbab. Selama ini tak pernah kulihat dia di toko yang menjadi tempat aku belanja kebutuhan pekerjaanku. Tapi hari ini, aku melihatnya. Dan timbul perasaan tersendiri pada gadis itu.

Awalnya aku tak begitu banyak berharap, karena aku menyadari betul bahwa aku seorang Jemaat. Akan menjadi sebuah tantangan besar untukku jika gadis itu tahu siapa diriku. Karena fitnah-fitnah sudah tersebar di masyarakat umum tentang Ahmadiyah.

Namun semakin lama semakin sering melihatnya, gadis itu justru seperti menampakkan sosok yang selama ini aku cari. Sikapnya yang lembut seakan menumbuhkan sebuah keyakinan padaku bahwa Tuhan sengaja mempertemukan aku dengannya.

Aku mencoba memperkenalkan diri bahwa aku adalah seorang Ahmadi. Dengan berbalas senyum yang lembut, ia hanya melontarkan pertanyaan, “Apakah Ahmadiyah itu?” Dengan kaget bercampur senang, aku merasa punya kesempatan untuk memberikan pemahaman kebenaran ajaran Ahmadiyah.

Aku pikir dia akan terkejut. Namun justru sang gadis sepertinya malah penasaran ingin lebih mengetahui tentang Ahmadiyah.

Beberapa minggu kemudian, aku kembali ke toko di mana sang gadis bekerja. Aku mempersiapkan dua buah buku Jemaat yang kusimpan dalam tasku. Saat aku berpapasan dengannya, aku sodorkan dua buku itu yang berjudul ‘Apakah Ahmadiyah Itu?’ dan ‘Baiat’. Aku berkata, “Bacalah dan pelajarilah buku-buku ini. Insya Allah kamu akan mengetahui serta memahami apa Ahmadiyah itu.” Sang gadis pun menyambutnya dengan senyum.

Hari terus berganti, 4 bulan terlewati. Sang gadis benar-benar mempelajari buku yang kuberikan. Dia akhirnya ingin berbaiat dengan keyakinan yang teguh tentang kebenaran ajaran Ahmadiyah. Ia juga mendapat ilham yang menurutnya adalah sebuah pertanda atau petunjuk untuknya, melalui sebuah mimpi. Serta merta gadis ini memberiku sebuah harapan besar bahwa dia ingin aku menemaninya dalam penghijrahannya.

Alhamdulillah, setelah sang gadis mempelajari, berbaiat serta memahami dan meyakini ajaran Ahmadiyah, akupun siap membawanya dalam penghijrahan. Melalui sebuah pernikahan.

Namun ayah sang gadis ternyata seorang ahli mesjid, bisa dibilang bagian dari ulama di kampung itu. Sebuah tantangan besar untukku. Namun dengan doa serta keyakinan yang sudah dimiliki sang gadis, pernikahan pun terlaksana sesuai dengan yang pihak keluargaku inginkan. Sebuah pernikahan yang sesederhana mungkin, tidak ada ritual-ritual di luar Syariat Islam. Alhamdulillah.

Menyatukan dua keluarga yang berbeda keyakinan tidaklah mudah. Namun dengan kesabaran, istriku selalu mengerti mana yang memang terbaik, meski itu harus bertentangan dengan orangtuanya.

Karena memang keadaan keluarga kami berbeda keyakinan, aku dan istriku berkomitmen yang harus diutamakan adalah yang memang benar menurut pandangan Islam. Meski harus menjadi sebuah perdebatan kembali antara kami dan orangtua istri.

Sampai pernah suatu waktu, ketika istri sedang mengandung anak pertama kami, orangtua istri menyarankan untuk mengadakan ritual 4 bulanan, 7 bulanan, sampai akhirnya melahirkan harus mengadakan hajatan usia anak 40 hari. Semuanya tak pernah kulaksanakan sehingga menjadi suatu perdebatan.

Namun aku jelaskan bahwa semua itu memang tidak ada dalam ajaran Islam. Dan mertuapun mempersilakan kami untuk memutuskan bagaimana baiknya dan tak pernah lagi mengungkit di kehamilan dan kelahiran anak kami selanjutnya.

Namun perselisihan tidak sampai di situ. Suatu ketika nenek sang istri meninggal, keluarganya mengadakan acara tahlilan. Saya langsung menolak untuk ikut karena memang di Jemaat Ahmadiyah tidak melakukan hal itu. Hal inipun tidak diajarkan oleh Rasulullah saw. bahwa ketika seorang sudah meninggal harus mengadakan acara tahlilan.

Keluarga istri pun kadang tidak bisa mengelak dengan pemahaman Ahmadiyah yang saya bawa. Saya pun berusaha membawa masuk pemahaman itu dalam keluarga besar istri.

Hingga akhirnya ayah mertua berkata, “OK. Bapak tidak akan mengganggu apa yang sudah menjadi keyakinan kalian (aku dan istri). Namun Bapak pun menginginkan kalian dapat menghargai apa yang menjadi keyakinan Bapak. Bapak tidak akan melarang, tapi Bapak selaku orangtua akan tetap melihat dan menilai sendiri.”

Beliau berkata seperti itu, aku tidak merasa kecewa. Justru inilah kesempatan kami membuktikan kebenaran ajaran dan keyakinan yang kami anut. Kata-kata Bapak yang mengatakan, “Bapak tidak akan melarang, tapi akan melihat dan menilai sendiri,” akan menjadi sebuah jalan untukku dapat bertabligh. Semoga mertuaku akan dapat meraih hidayah pula. Insya Allah. Aamiin.

Sekarang aku dan mertuaku memang secara jasmani dapat hidup berdampingan, meski dengan keyakinan masing-masing yang kami pegang. Akan tetapi, secara rohani kami terpisah jurang yang begitu luas terbentang. Namun tak dapat dipungkiri, sedikit demi sedikit pemahaman Ahmadiyah yang kubawa dapat mertua pahami dan mulai berpengaruh juga dalam keluarga besar.

Kini sedikit demi sedikit ritual yang sering mereka lakukan mulai mereka lupakan, meski mereka belum dapat memahami semuanya. Mudah-mudahan Allah SWT. senantiasa memudahkan setiap langkah pertablighanku.

Di balik semua tantangan, memang ada istri yang sudah menjadi anugerah terbesar bagiku. Ia mendapat hidayah dapat berbaiat dengan proses yang luar biasa, dengan mudah ia mempelajari serta memahami ajaran Ahmadiyah. Ia selalu ingin mengutamakan hal-hal tentang Jemaat. Bahkan dalam hal pengorbanan dan pengkhidmatan, seakan telah menjadi kewajiban yang benar-benar ia harus tunaikan. Semangat keaktifannya mengalahkanku sebagai Ahmadi keturunan.

Tidak butuh waktu lama dari ia berbaiat, ia langsung mendapat amanah menjadi seorang pengurus. Beberapa periode selanjutnya sampai sekarang ia masih menjadi seorang pengurus. Alhamdulillah. Kami pun dapat menjalani kehidupan dengan dasar ajaran Islam dan mendidik anak keturunan kami menjadi Ahmadi yang hakiki.

Dengan mertua yang tak lagi memperdebatkan keyakinan, justru pemahaman-pemahaman yang aku terapkan pelan-pelan mereka ikuti. Istriku pun menjadi sebuah kebanggaan keluarga dengan hijab yang ia kenakan. Ia juga taat beribadah dan memiliki akhlak yang lembut, tak pernah berbuat serta berkata kasar kepada orangtua. Hal itu menjadi sebuah perhatian khusus bagi orangtuanya. Semoga hal ini menjadi keunggulannya berada dalam wadah Jemaat Ahmadiyah.

Pesan bagi khudam yang berada dalam pencarian pasangan hidup, alangkah baiknya memang menikahlah dengan lajnah. Bukannya aku menyesal atau tidak bersyukur, namun menikah dengan seorang mubayyin (orang yang berbaiat) memiliki begitu banyak tantangan. Sebab ketika kita memutuskan untuk menikahi perempuan maka kita pun harus ‘menikahi’ orangtuanya. Ketika istri kita dari keturunan non-Ahmadi, maka akan terasa sulit kita menyatukan pemahaman kita dengan keluarganya. Apakah kalian siap dengan segala tantangan itu?

Alhamdulillah dengan doa dan keyakinan dari istri pula, saya dapat melewati tantangan besar menghadapi keadaan dan mertua pun dapat mengerti keyakinan saya. Namun apakah kalian siap seandainya kalian memilih pasangan bukan dari Jemaat, ditambah mertua yang tidak mengerti dengan keyakinan kita? Maka akan menjadi sebuah ujian berat lagi bagi kita.

Bisa aku katakan istri yang kudapat hanya ada satu di antara 1000 orang di luar sana. Sangatlah jarang yang betul-betul dapat mengambil hidayah dan orangtuanya pun dapat mengerti keyakinan kami. Sementara kebanyakan kasus yang terjadi, yang menikah dengan non-Ahmadi malah justru menjadi tidak aktif sehingga mereka dan keturunannya menjadi lost generation.

Semoga pengalaman hidupku ini menjadi sebuah pembelajaran berharga bagi siapapun yang membacanya. Semoga kita dan seluruh keturunan kita kelak senantiasa diberikan karunia agar terus berada dalam naungan Khilafah dan bahtera Jemaat Ahmadiyah. Aamiin Allaahumma Aamiin.

.

.

.

editor: Lisa Aviatun Nahar

Visits: 81

Cucu Komariah

1 thought on “Menjadi Jembatan Hijrah Untuknya

  1. Luar biasa.
    Mubarak.

    Sebuah keberanian dalam keyaninan

    Semoga suatu saat dua keluarga bersatu dalam sebuah bahtera. Aamiin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *