Berkah Menjadi Ahmadi Bagi Penyandang Bipolar

Saya tidak tahu kapan tepatnya saya mengalami penyakit ini. Saya hanya ingat apa yang saya rasakan dan apa yang terjadi pada diri saya bila penyakit ini mulai muncul. Awalnya saya abaikan saja perubahan drastis mood saya ini. Hingga kemudian saya tahu, apa nama penyakit aneh yang saya sandang ini.

Saya sering tidak bisa tidur selama berhari-hari. Tentu kepala saya pusing, tapi saya paksakan tidur tetap tidak bisa. Setiap mau tidur, otak saya seperti tak mau berhenti berpikir. Ada saja keinginan yang memenuhi otak dan ingin segera saya lakukan. Dan anehnya, saya selalu merasa gembira. Saya merasa hati saya begitu bersemangat dan merasa senang, sehingga saya ingin melakukan banyak hal.

Saya ingin terus bicara, mengobrol dengan kawan-kawan. Saya enggak mau lepas dari handphone. Ada saja yang saya kerjakan di handphone. Cari-cari teman ngobrol, cari-cari barang yang diinginkan. Tanpa ada rasa sungkan, saya suka cerita kegiatan saya apa aja di hari itu, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Dan saya cerita itu di grup-grup Whatsapp. Waktu belum ada Whatsapp, saya kirim SMS kemana-mana.

Saya juga ingin masak-masak terus, ingin beres-beres rumah terus. Saya juga ingin terus terlihat cantik, kapan saja, di mana saja. Saya senang bertemu orang-orang, saya ingin terus berbaur dengan sekitar dan saya ingin tampil menawan bila bertemu mereka.

Setiap tengah malam, ibadah apapun saya kerjakan. Shalat Tahajud, shalat Hajat, shalat Tasbih. Rasanya semua ritual ibadah ingin saya lakukan. Saya juga jadi lebih dermawan, inginnya memberikan sedekah terus ke orang. Saya enggak pandang bulu lagi, apakah orang yang saya sedekahi memang benar-benar butuh, atau hanya sekedar memanfaatkan keadaan. Bila melihat orang dengan wajah yang memelas kemudian mengemis, saya langsung memberi uang tanpa pikir panjang.

Tapi memang saya jadi lebih sensitif. Saya enggak bisa tersinggung sedikitpun, amarah langsung meledak. Saya tidak rela ketika saya merasa begitu bergembira, ada omongan orang lain yang menyakitkan hati saya. Mungkin ini juga efek karena enggak bisa tidur berhari-hari tadi.

Dalam satu hari, tiba-tiba mood saya bisa berubah drastis. Dari yang tadinya semangat luar biasa sampai tidak bisa tidur, saya bisa tiba-tiba kehilangan semangat dan maunya tidur terus.

Badan seketika merasa lemas, tak ada kekuatan. Saya merasa hampa. Tidak ingin melakukan apa-apa. Semua serba dipaksa. Bangun tidur harus dipaksa, bahkan beribadah pun harus dipaksa. Saya mendadak enggak mau ketemu orang. Kalau ada tamu, saya malah gemetaran.

Bila diajak bicara, badan saya sakit. Kalau mendengar orang bicara, saya sering enggak ngerti, enggak nyambung. Hati saya sedih luar biasa, karena saya merasa bodoh, enggak bisa apa-apa. Dan saya tidak tahu harus bicara pada siapa.

Saya sering keluar rumah malam-malam bila semua sudah tidur. Saya menghampiri pohon belimbing di depan rumah, dan mulai bicara. “Ya, Allah. Saya ini kenapa? Kok pengen bunuh diri, jadi gampang putus asa? Kok rasanya saya ini orang yang paling bodoh, paling terpuruk?”

Kadang saya juga merasa normal, tidak terlalu bersemangat dan juga tidak terlalu lemas. Mood yang berubah-ubah ini saya rasakan terus berganti-ganti. Tapi saya belum juga tahu ada apa dengan diri saya sendiri. Hingga kemudian, di suatu hari di tahun 2013, saya memeriksakan diri ke dokter.

Saat itu, saya kembali tidak bisa tidur berhari-hari. Mood saya sedang senang-senangnya. Kali ini, selama seminggu penuh. Setelah seminggu tidak bisa tidur, saya mulai merasakan tubuh saya tidak enak. Badan terasa panas, di dahi mulai muncul bintik-bintik merah dan kepala rasanya sakit sekali. Akhirnya saya minta diantar suami ke rumah sakit. Suami saya tidak tahu kalau saya sakit, karena saya sudah sering tidak bisa tidur berhari-hari seperti ini.

Kali ini, entah mengapa saya yakin kalau saya akan dirawat. Saya pun mempersiapkan baju dan perlengkapan lainnya dalam tas. Dan ternyata benar dugaan saya, saya langsung diisolasi. Dokter mendiagnosis kalau saya terkena cacar api, atau herpes.

Rasanya sedih sekali, sekaligus takut. Karena di ruangan itu hanya saya seorang diri. Saya tidak boleh ditengok siapapun. Walaupun dirawat, saya tetap tidak bisa tidur. Saya ngomong terus, protes terus pada dokter dan perawat.

Kalau saya diberikan menu makanan yang tidak sehat, saya marah dan protes. Kalau ada perawat laki-laki tiba-tiba masuk saat saya sedang tidak pakai kerudung, saya langsung marah-marah padanya dan menyuruhnya keluar dulu sampai saya pakai kerudung. Melihat ada yang tidak rapi, dada saya sakit. Semua harus rapi dan bersih di mata saya.

Karena saya tidak juga bisa tidur, saya dirujuk ke psikiater. Saya dibawa ke psikiater dengan kursi roda. Sepanjang jalan saya sedih, saya ini sakit apa? Kok seperti orang yang sakit berat saja. Padahal hati saya sedang senang-senangnya. Saya hanya ingin jalan-jalan, bukan duduk di kursi roda begini.

Begitu psikiater selesai memeriksa saya, memberi saya beberapa pertanyaan, datanglah vonis itu. Saya divonis mengidap Bipolar Disorder. Sebuah penyakit di mana mood seseorang akan mengalami dua fase ekstrim, Fase Manik dan Fase Depresi.

Bila saya begitu bersemangat, tidak bisa tidur, hati berbunga-bunga, dan lain sebagainya, itu artinya saya sedang mengalami Fase Manik. Sedangkan bila saya lemas, maunya hanya tidur sepanjang hari, tidak mau melakukan apa-apa, itu artinya saya sedang mengalami Fase Depresi.

Walau saya telah divonis menderita Bipolar Disorder, dokter berkata penyakit saya masih dalam tahap yang lebih baik daripada pasien-pasiennya yang lain. Penyakit ini, bila sudah di tahap yang parah, Fase Depresinya bisa menyebabkan penderitanya melakukan bunuh diri. Saya, menurut dokter, masih selamat.

Dokter pun tidak memberikan nasehat sama sekali. Sepanjang konsultasi, beliau hanya bercerita. Tentang pasien-pasiennya, tentang penderita Bipolar lain yang dia temui tanpa sengaja, namun kelihatan dari tindak tanduknya.

Kemudian dokter memberikan saya obat yang ternyata obat tidur. Ketika saya minum, saya malah jadi susah bangun. Akhirnya hanya sekali saya minum obat itu karena efeknya malah pusing di kepala. Saya berusaha beralih ke obat herbal.

Saya juga pernah bergabung dengan grup Whatsapp Komunitas Bipolar. Dari sana saya jadi tahu, ada begitu banyak orang yang sedang berjuang keras beradaptasi dengan Bipolar yang disandangnya. Ada yang sampai diceraikan suaminya, kuliahnya enggak selesai, dibawa paksa ke rumah sakit jiwa, dan lain sebagainya. Bahkan setiap beberapa hari sering ada kabar duka, ada saja yang meninggal karena bunuh diri. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun.

Bergabung di komunitas itu membuat saya merasa tidak sendiri. Saya punya kawan-kawan yang senasib dengan saya. Bahkan di mata mereka, saya seperti aman-aman saja, tidak separah mereka. Mereka jadi sering curhat sama saya, dan saya pun berusaha mendengarkan mereka. Walau kini saya tak lagi bergabung di komunitas itu, beberapa teman perempuan masih suka berkomunikasi dengan saya.

Saya juga menjadi lebih bersyukur, Allah Ta’ala kasih saya penyakit ini, tapi saya masih bisa berkegiatan dengan baik walau saya sendiri juga sedang berjuang. Saya yakin, ini tak lepas dari berkah menjadi seorang Ahmadi.

Sampai kini, penelitian yang ada menunjukkan bahwa penyakit ini tak bisa disembuhkan. Ia hanya bisa dikendalikan, itu pun harus dengan obat.

Penyakit saya sendiri menjadi sangat jauh terkendali ketika saya mulai mengonsumsi Homeopati. Saya mendapat resep obatnya dari Bu Yati, Ketua Daerah LI Kalimantan Timur. Saya bersyukur, ketika saya cerita kepada beliau mengenai penyakit saya, tidak saja beliau bersedia mendengarkan saya, tetapi beliau juga langsung meresepkan Homeopati untuk saya.

Kini, setelah nyaris dua tahun saya mengonsumsi Homeopati, saya merasakan sekali Fase Manik dan Depresi saya jauh lebih terkendali. Ketika saya sedang di Fase Manik, saya tidak merasakan semangat dan rasa senang yang berlebihan seperti dulu. Saya juga tidak sesensitif dulu. Begitupula ketika masuk Fase Depresi, tak ada lagi pikiran-pikiran buruk. Lemas masih ada tapi saya masih bisa beraktivitas seperti biasa. Alhamdulillah.

Mungkin, penyakit ini diberikan Allah Ta’ala kepada saya, sebagai salah satu sarana peluntur dosa. Saya pun merasa sebagai seorang penyandang Bipolar, saya mendapatkan berkah tersendiri dengan menjadi seorang Ahmadi. Saya masih diselamatkan Allah Ta’ala. Dan kini, berkat menjadi Ahmadi pula saya mengenal Homeopati, yang kini saya andalkan untuk mengendalikan penyakit ini.

Karunia Allah Ta’ala bisa datang kepada siapa saja, dan dalam bentuk yang tak bisa kita duga-duga. Penyakit ini pun saya anggap sebagai salah satu karunia-Nya. Saya memang harus berjuang untuk bisa mengendalikannya. Tapi di sisi lain, saya pun menemukan ada banyak hikmah yang saya terima melalui kehadiran penyakit ini.

Semoga kita semua senantiasa berada dalam naungan karunia-karunia-Nya. Apapun yang terjadi pada diri kita, jangan sampai kita lepas dari keyakinan bahwa Allah SWT. selalu ada untuk kita.

.

.

.

editor: Lisa Aviatun Nahar

Visits: 79

Sri Rahayu

3 thoughts on “Berkah Menjadi Ahmadi Bagi Penyandang Bipolar

  1. MasyaAllah.

    yang saya rasakan berjuang melawan diri sendiri memang lebih berat melebihi apapun juga.

    Mubarak ibu sudah sangat kuat. semoga Allah Ta’ala selalu menyayangi dan melindungi ibu. Aamiin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *