
Jodohku Berawal Dari Facebook
Gempa 7,6 Skala Richter menyerang kota Padang. Banyak harapan yang hancur, seiring hancurnya rumah dan harta benda orang-orang. Tapi titik balik perjalanan hidup saya bermula dari sini.
Enam tahun menjanda bukan perkara mudah bagi seorang perempuan seperti saya. Kondisi keluarga yang susah membuat perjuangan membesarkan buah hati semata wayang dan seorang ibu yang sakit-sakitan membuatnya sama sekali tidak mudah.
Semua pekerjaan telah saya lakoni. Mulai dari kenek bus di kota Padang. Sampai menjadi buruh di pasar. Hingga saya mempunyai kedai lontong di pasar. Semua saya lakukan demi dua orang yang saya sayangi.
Dan datanglah gempa yang memporak-porandakan kota Padang. Seminggu setelahnya, dalam keadaan kaki masih luka akibat tertimpa lemari, dengan karunia Allah, saya mendapatkan pekerjaan di kantor perkebunan kelapa sawit.
Di kantor, saya berteman dengan seorang rekan kerja. Ia biasa saya panggil Mbak Mitha. Saya sering berdiskusi soal agama dengannya. Saya perkenalkan juga bahwa saya seorang Ahmadi. Bahkan pembicaraan sampai kepada konsep perjodohan dalam Jemaat. Hingga mengenal apa itu Ristanata.
Mbak Mitha membuatkan saya akun Facebook. Saya sering dengar soal facebook, tapi saya tak benar-benar tahu wujudnya seperti apa. Saat itu handphone saya baru bisa menerima telepon dan SMS saja.
Setelah ia membuatkan saya sebuah akun. Ia juga memasukkan saya di sebuah grup. Gak tanggung-tanggung, grup ristanata. Entah apa yang mendorongnya berbuat demikian. Hingga saya bertanya dengan polosnya kepadanya, buat apa Mbak?
Sambil tertawa ia menjawab, “Ya apa lagi, kita kan mau carikan jodoh buat Sri. Apa Sri tidak ingin mempunyai suami lagi? Sudah cukup 6 tahun Sri sendirian. Lagian Sri masih muda juga.”
Ketika dalam perjalanan pulang ke rumah. Dering handphone saya berbunyi. Mbak Mitha yang duduk di samping saya berkata, angkatlah Sri.
“Assalamu’alaikum..” terdengar suara laki-laki tak dikenal. Dalam hati aku bertanya-tanya, siapa ini yah?
Lalu, lelaki tadi berkata lagi, “Nanti malam kita teleponan yah. Sekarang saya sedang sibuk.”
Tambah bingung lah saya. Seolah-olah di antara kita sudah ada obrolan pembuka.
Mbak Mitha tersenyum dan berkata, “Nanti malam kenalan ya Sri, itu khuddam tinggal di Kalimantan. Mbak tadi add pertemanan dengannya di Facebook dan memberikan nomor handphone Sri kepadanya.”
Antara senang dan khawatir perasaan saya saat itu. Dengan sedikit ngomel saya bilang ke Mbak Mitha, “Kalo itu suami orang gimana mbak?”
Ia pun menyampaikan bahwa lelaki tersebut duda dan tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Dengan nada protes saya katakan, mbak percaya begitu saja?
Dengan enteng Mbak Mitha malah membalikkan, bukannya Sri yang pernah bilang ke Mbak bahwa orang-orang Ahmadi itu tidak akan berbohong, apalagi tentang dirinya. Saya pun jadi terdiam malu.
Jam 9 malam handphone berdering. Tapi saya belum mampu mengangkatnya. Saya belum kepikiran untuk mencari pengganti kekosongan ini. Saya masih diliputi rasa takut, kalau-kalau anak saya tidak akan mendapat seorang ayah yang menyayanginya kelak.
Lama ia berdering, Mak sampai bilang, Upik angkat lah handphonemu dari tadi bunyi terus.
Tak lama mati. Tapi ia berdering lagi. Akhirnya, saya memilih untuk mengangkatnya.
Entah. Mengapa tiba-tiba perasaan damai menyeruak dalam hati saya. Berbagai hal kami obrolkan mulai dari perkembangan Jemaat di tempat masing-masing, hingga pada inti persoalan yang tengah sama-sama kami hadapi.
Tentu, kami bukan ABG lagi. Bukan saatnya untuk bermanis-manja dalam berkomunikasi. Kami sudah cukup dewasa untuk tidak mengulang kegagalan yang sama.
Sinar rembulan yang terang seolah menggambarkan hatiku yang tengah berbunga-bunga. Tunas harapan baru mulai tumbuh. Saya mulai menatap masa depan dengan harapan yang indah.
Di sepertiga malam saya berdoa kepada-Nya, Ya Allah, andai Engkau mengizinkan hamba mempunyai pendamping lagi dalam hidup dan jika memang ini adalah yang terbaik, saya meminta berikanlah seorang ayah untuk anak saya.
Panjang saya berdoa. Karena saat itu, cuma doa tempat saya menggantungkan harapan tersebut. Saya tidak tahu orang tersebut seperti apa? Tak ada yang bisa menjamin antara perkataan dan perilakunya selaras. Dan hanya Allah Ta’ala sendiri yang tahu perkara ini.
Pagi hari saya berangkat kerja. Saya terkejut, Mbak Mitha yang biasa sampai agak siangan, tiba-tiba datang pagi-pagi.
Dengan sumringah dan antusias ia langsung bertanya, Gimana Sri, usaha Mbak tidak sia-sia kan?
Dengan rasa penasaran ia menunggu jawaban saya. Sambil membuka pintu kantor saya menjawab, Entahlah Mbak, masih ada keraguan di hati ini, tidak tahu mengapa?
Anehnya, Mbak Mitha selalu bisa membalikkan perkataanku dengan sesuatu yang berhubungan dengan Jemaat. Katanya, Bukankah Sri sangat percaya dengan khuddam Ahmadi, sampe Sri pernah berucap, walau sudah kecewa dengan yang namanya khuddam, namun Sri tidak akan pernah menikah jika bukan dengan orang Ahmadi, lalu kenapa Sri masih menaruh keraguan?
Kata-kata Mbak Mitha sungguh membuat saya tersentak. Begitu besar harapannya untuk saya. Sementara saya masih belum benar-benar bisa menerimanya.
Sudah dua bulan kami berkomunikasi. Mbak Mitha selalu ingin tahu kelanjutan hubungan kami seperti apa. Bahkan, ia malah memberikan solusi yang tidak pernah terpikirkan oleh saya.
Ia mengatakan, Kenapa Sri tidak menghubungi pak mubaligh disana? Pak mubaligh pasti akan memberikan informasi tentang khuddam tersebut.
Sepulang kerja saya putuskan untuk ke masjid Mubarak Padang. Saat itu pak mubalighnya adalah Mln. Mudatsir Ahmad.
Saya ceritakan kepada beliau tentang masalah yang saya alami. Dengan semangat dan bahagia beliau berkata, ayo upik silahkan telepon mubaligh disana, bapak akan bantu cari nomornya.
Dengan penuh harap saya menelepon mubaligh yang bertugas disana. Dan betapa terkejutnya saya ketika memperoleh informasi lengkap dan akurat dari Mln. Hafizurrahman Danang tentang khuddam tersebut.
Akhirnya. Saya membulatkan tekad. Saya yakin untuk memilihnya sebagai teman hidup juga ayah dari anak saya.
Saya selalu yakin dengan apa yang dikatakan seorang mubaligh. Karena Mak selalu mengajarkan untuk jangan pernah ragu dengan apa yang disampaikan mubaligh, karena menurut Mak, mubaligh itu perwakilan “Tangan Tuhan” untuk kita umat-Nya.
Untuk menambah keyakinan saya memohon kepada bapak mubaligh di Padang juga khuddam tersebut untuk shalat istikharah. Dan betapa kami semua diberikan mimpi yang sama oleh Allah Ta’ala.
Setelah melewati tujuh bulan komunikasi, akhirnya sang khuddam memutuskan untuk meminangnya saya. Karena jarak kami yang amat jauh, proses meminang dilakukan secara online.
Betapa bahagianya saya saat itu. Bukan hanya soal akhirnya saya akan hidup berumah tangga lagi. Tapi bagaimana Allah Ta’ala menuntun saya hingga sejauh ini. Hingga saya benar-benar yakin bahwa dia adalah jodoh saya.
Inilah yang amat bernilai dari semuanya. Dimana kehadiran pertolongan-Nya benar-benar saya rasakan untuk urusan perjodohan ini.
Tapi rupanya, jalan cerita perjodohan saya tak menghendaki semuanya akan baik-baik saja hingga akhir.
Sempat terjadi pertentangan dari keluarga besar saya. Karena paman, tadinya ingin menjodohkan saya dengan seorang karyawan PLN. Saya menolaknya karena ia adalah ghair-Ahmadi.
Paman mengatakan kepada kami, Apa kalian sudah tidak waras menerima orang begitu saja hanya melalui komunikasi jarak jauh tanpa mengenal wajah dan siapa dia?
Paman demikian marahnya saat itu. Tapi saya dan Mak tetap berprinsip bahwa menikah harus dengan sesama Ahmadi. Tidak ada tawar menawar lagi.
Mak sempat menjawab, jika takdir anakku akan kecewa lagi, maka semua kuserahkan pada Allah Ta’ala. Perkataan Mak semakin membuat saya yakin kalau ini adalah jodoh saya yang sesungguhnya.
Dan lagi-lagi ujian datang silih berganti.
Ketika tanggal pernikahan semakin dekat. Sang khuddam menyampaikan bahwa ia belum tentu bisa datang ke Padang untuk melaksanakan pernikahan dan walimah, dikarenakan sampai saat itu ia belum terkumpul dana untuk ongkos dan segala macamnya.
Mak sempat khawatir dan bingung. Ia bertanya-tanya, apakah yang dikatakan paman saya akan terjadi kalau orang itu hanya mempermainkan kami, dan saya akan kembali kecewa untuk yang kesekian kalinya.
Namun, saya dengan kayakinan teguh berkata kepada Mak, terus berdoa Mak, saya yakin pertolongan Allah akan selalu hadir di tengah-tengah kita, bukankah itu yang selalu Mak ajarkan kepada kami anak-anak Mak?
Mak tiba-tiba menangis dan memeluk saya demikian erat.
Lima hari lagi sebelum tanggal pernikahan. Tapi kabar darinya belum datang juga.
Keesokan harinya dering teleponku berbunyi. Rupanya sang khuddam menelepon. Dengan perasaan bercampur aduk saya mengangkat teleponnya. Saya terus berdoa sebelum ia sempat berkata-kata, Ya Allah berikanlah pertolongan-Mu untuk kami.
“Dek besok kakak berangkat ke padang,” saya serasa mau pingsan saat itu.
“Alhamdulillah ada bantuan dari saudara rohani disini yang meminjamkan sejumlah dana untuk ongkos pernikahan,” saya tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi mulai menganak sungai. Serasa ingin rebah di hadapan-Nya untuk menunjukkan betapa bahagianya saya saat itu.
“Ya Allah, mengapa Engkau demikian baik kepada hamba?”
Dan kami mulai sibuk di kampung mempersiapkan segalanya.
Tanggal 13 September ia datang ke Padang. Untuk pertama kalinya saya melihat wajahnya secara langsung. Perasaan saya makin tak karuan. Semua bercampur aduk. Saya merasa seperti seorang gadis yang tengah menghadapi pernikahan pertama.
Tanggal 14 akhirnya kami menikah. Betapa bahagianya saya hari itu. Setelah melewati serangkaian keraguan dan kemustahilan, akhirnya pernikahan ini bisa terjadi dengan pertolongan Allah Ta’ala.
Sebelum kembali ke Samarinda, kami dibawa ke Indramayu dulu untuk bertemu mertua disana. Dua hari disana, kami langsung bertolak ke Samarinda.
Dan doa saya benar-benar terkabul. Anak saya mendapatkan sosok seorang ayah yang bukan ayah sambung, tapi sudah seperti ayah kandung sendiri. Bahkan kasih sayangnya melebihi ayah kandungnya sendiri.
Delapan tahun pernikahan, kami dikaruniai empat anak. Satu anak bawaan dari saya, satu anak bawaan dari beliau dan dua anak dari pernikahan kami berdua.
Mak saya pernah menasehati, “Beruntung lah kita sudah berada di bahtera Ilahi ini dan jangan pernah menyerah apapun keadaanmu karena keindahan dunia hanya fana semata, namun kebahagiaan yang sesungguhnya ada pada rahmat dan berkah Ilahi.”
Nasehat ini selalu saya tanamkan di hati dan sekarang sedang saya ajarkan kepada anak-anak saya, semoga apapun kelak yang terjadi di kehidupan mereka, kecintaan Jemaat jangan pernah padam dalam hati.
.
.
.
editor: Muhammad Nurdin
Visits: 70
Masya Allah Mubarak bu Sri kisahnya luarbiasa
Mubarak bu …