
Kesabaran Istri Penentu Kesuksesan Suami
Di sebuah rumah kayu beralaskan tanah, tinggallah sebuah keluarga dengan dua anak lelaki. Sang ayah bekerja serabutan dengan penghasilan yang tidak menentu. Dengan keadaan ekonomi yang serba kekurangan, sang ibu nampak begitu menerima dan tetap bersyukur.
Namun dengan kondisi demikian mereka pantang meminta. Jangankan kepada tetangga, kepada orangtua sendiri pun mereka menahan diri agar tidak meminta. Dengan kelembutan hatinya, sang ibu mengajarkan anak-anaknya untuk menghargai hidup dan mensyukuri apa yang mereka terima.
Hingga pada suatu hari, ketika anak-anak pulang sekolah dalam keadaan lapar. Mereka membuka lemari tempat ibu biasa menyimpan makanan. Mata yang berbinar karena akan segera menyantap makanan seketika berubah menjadi sayu. Di lemari itu hanya ada nasi.
Sang anak bertanya, “Bu, apakah tidak ada yang dapat kami makan selain nasi?”
Sang ibu menjawab dengan lembut, “Nak, untuk saat ini rezeki kita masih Allah bendung. Kita bersabar ya! Di dapur ada jahe. Coba kamu cuci lalu cocolkan dengan garam.”
Dengan pasrah ia menuruti perkataan ibunya. Di sela makan ia bertanya,”Bu, kenapa Allah tidak memberikan rezeki untuk kita hari ini? Bukankah kita membutuhkannya untuk makan?”
Dengan sabar sang ibu menjawab, “Allah Maha Tahu, nak. Allah tau kita mampu melewati ini semua. Maka yakinlah, pertolongan Allah akan datang dengan segala keajaibannya. Entah kapan dan bagaimana, hanya Allah yang tau.”
“Tapi bu, kenapa kita makan hanya dengan jahe?” ujar sang anak dengan nada sedih.
Sambil mengusap kepala anaknya sang ibu pun berkata, “Jangan mengeluh ya, nak. Jahe ini adalah obat supaya kamu tidak sakit tenggorokan. Nikmat itu lahir dari hati. Jika kamu ikhlas, maka segalanya akan terasa nikmat.” Mendengar penjelasan dari ibunya, ia pun memakan makanannya dengan lahap.
Kedua anak lelaki itu tumbuh dengan baik. Mereka sangat menyayangi sang ibu. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah mereka membantunya pergi ke jamban yang letaknya cukup jauh dari rumah. Kakak yang membawa ember berisi baju kotor dan adik yang membawa piring kotor. Dituntunnya sang ibu membawa jerigen untuk mengisi air. Perlakuan baik dari anak-anaknya membuat sang ibu bangga.
Berita suka hadir di tengah sulitnya kehidupan yang mereka jalani. Sang ibu menyadari bahwa ia tengah mengandung anak ketiga. Berbagai hinaan dan cemoohan dialamatkan kepada keluarga itu. “Sudah tau hidup susah, malah nambah anak!” Kalimat bernada ejekan dari orang-orang mereka hiraukan. Mereka menganggap kehamilan itu sebagai rezeki yang patut disyukuri.
Dalam sujudnya sang ibu selalu berdoa agar diberikan kemudahan dalam setiap kesulitan yang mereka hadapi. Melihat ia menangis dalam shalat membuat anak-anaknya kagum. “Ibu adalah wanita yang sabar menghadapi hinaan dan cemoohan yang ditujukan pada keluarganya. Ibu senantiasa mengadukannya kepada Allah Ta’ala agar diberikan ketabahan serta memaafkan orang-orang yang menyakitinya. Ibu tak pernah mengeluh sedikitpun kepada bapak demi tidak terlihat sedih dihadapan bapak,” ujar anak-anaknya bangga.
Tibalah saatnya sang ibu melahirkan dengan lancar. Melihat seorang bayi lahir dan menatap dunia, sang ayah merasa bahwa ia harus lebih giat lagi mencari nafkah. Berbagai usaha dilakukan sampai akhirnya ia memutuskan untuk menjual kerupuk. Setiap hari setelah shalat subuh sang ayah berangkat dari rumah berjalan kaki sejauh 4 km dan menjual kerupuknya di pasar. Siang harinya ia pulang ke rumah dan menggoreng kerupuk, membungkus serta menyiapkannya untuk kemudian dijual esok hari. Usahanya membuahkan hasil, ia mampu membangun rumah yang lebih layak untuk ditinggali bersama istri dan kedua anaknya.
Namun sebuah musibah terjadi. Api menyebar dan membakar sebagian rumahnya dikarenakan pada saat menggoreng kerupuk minyaknya terlalu panas dan menyulut kebakaran. Kejadian itu membuat sang ayah trauma dan menyudahi usahanya. Ia kembali bimbang harus mencari pekerjaan apa lagi.
Namun sang istri dengan begitu sabarnya menenangkan suaminya, “Biarlah Allah menjalankan rencana-Nya. Kita sebagai manusia hanya bisa ikhlas dengan ketetapan-Nya. Berdoa tanpa putus-putusnya semoga Allah akan memberikan jalan terbaik untuk kita.”
Hari demi hari berganti semenjak musibah itu terjadi. Dengan do’a dan kesabaran sang istri, kini sang suami melangkahkan kaki dengan tekad yang kuat. Ia pergi merantau mencari pekerjaan. Setelah berbulan-bulan akhirnya ia dipercaya memegang perusahaan tailor di kota bandung. Dan tiga tahun kemudian sang istri kembali mengandung. Kali ini anak keempat.
Setiap anak membawa rezekinya masing-masing. Keyakinan itu yang selalu dipegang oleh mereka yang senantiasa bersyukur. Dengan karunia Allah Ta’ala sang ayah mampu membuka perusahaan sendiri dan hidup berkecukupan. Ia dapat menyekolahkan anak-anaknya, memberikan makanan, memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Kehidupan yang dahulu nampaknya mustahil dan jauh dari angan-angan.
“Wahai orang-orang budiman! Hendaklah kamu jangan berbuat seperti itu! Tuhanmu adalah Wujud yang menggantungkan bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya di cakrawala itu tanpa tiang satu pun, dan telah menciptakan bumi dan langit dari serta tiada. Apakah kamu berprasangka terhadapa Dia, bahwa Dia tidak akan berdaya untuk memenuhi keperluanmu? Bahkan prasangkamu itu sendirilah yang akan merugikan dirimu.
Dalam wujud Tuhan kami terdapat keajaiban-keajaiban yang tak terhingga banyaknya. Akan tetapi hanya merekalah yang menjadi kepunyaan Dia berkat ketulusan serta kesetiaan mereka, dapat melihat keajaiban-keajaiban itu.” (Bahtera Nuh, hal. 38-39)
.
.
.
editor: Mumtazah Akhtar
Visits: 100
Masyaallah