
MEMELIHARA KESUCIAN HUBUNGAN LELAKI DAN PEREMPUAN
Kesucian merupakan hal yang penting namun seringkali diabaikan. Dalam beribadah pun, ia menjadi tidak sah kalau tidak diawali dengan bersuci. Entah dengan berwudhu atau tayamum bagi yang mengalami situasi tertentu. Ini menunjukkan bahwa menjadi suci adalah hal yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan.
Termasuk dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, kesucian juga sangat perlu untuk dijaga. Karena kesucian hubungan ini tidak hanya mempengaruhi masalah fisik saja, tetapi juga batin dan kehidupan rohani.
Dalam Al-Qur’an jelas tertulis bahwa perintah untuk memelihara kesucian terlebih dulu ditujukan kepada kaum lelaki dengan menundukkan pandangannya. Dalam Surat An-Nur 24: 31 Allah SWT berfirman:
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki, mereka hendaklah menundukkan mata mereka dan memelihara aurat mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya, Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Dijelaskan dalam tafsirnya, bahwa mata adalah pintu masuk semua pikiran jahat ke dalam hati manusia. Oleh karena itulah mengapa kita, laki-laki terlebih dahulu, diharuskan menundukkan pandangannya. Manusia diharuskan mengendalikan anggota tubuhnya tersebut, untuk menghalangi pemikiran jahat yang tak pantas masuk dan menggerogoti hati.
Barulah setelah laki-laki yang mendapat perintah untuk menundukkan mata dan memelihara auratnya, perintah selanjutnya jatuh kepada perempuan, dalam ayat selanjutnya, ayat 32.
“Dan katakanlah kepada orang-orang mukmin wanita, bahwa mereka hendaknya menundukkan mata mereka dan memelihara aurat mereka, dan janganlah mereka menampakkan kecantikan mereka, kecuali apa yang dengan sendirinya nampak darinya, dan mereka mengenakan kudungan mereka hingga menutupi dada mereka, ….”
Dari sini bisa disimpulkan dua hal. Pertama bahwa perintah untuk menundukkan pandangan, untuk memelihara aurat, untuk menjaga pardah, adalah kewajiban laki-laki dan perempuan. Sebelum menuntut perempuan untuk menutup auratnya, laki-lakilah yang diperintahkan lebih dulu untuk menundukkan matanya.
Kedua, betul bahwa kemudian perintah untuk menutup auratnya menjadi lebih banyak untuk perempuan. Kenapa? Karena setiap bagian perempuan itu indah dan mampu menarik perhatian laki-laki. Oleh karena itu, perempuan diharuskan menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah, telapak tangan dan kaki, juga yang dengan sendirinya tampak (seperti cara berjalan, dll) adalah untuk menjaga dirinya dari pemikiran dan tindakan buruk laki-laki yang memang mampu goyah dengan hal-hal kecil semacam itu.
Di dalam buku Filsafat Ajaran Islam karangan Hz. Mirza Ghulam Ahmad as. sendiri, disebutkan beberapa tuntunan untuk memelihara kesucian bagi hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hadhrat Masih Mau’ud as. menuliskan kembali ayat 31 di Surat An-Nur 24 yang sebelumnya sudah saya tuliskan, dengan lebih rinci apa dan bagaimana menerapkan ‘menundukkan mata’.
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki agar mereka menahan pandangan mata mereka dari memandang perempuan-perempuan yang bukan muhrim dan janganlah mereka memandang dengan cara menyolok kepada perempuan-perempuan yang dapat membangkitkan syahwat, dan pada keadaan serupa itu hendaklah membiasakan memandang mereka dengan pandangan redup, dan menjaga kemaluan mereka dengan segala cara yang mungkin. Begitupula hendaknya memelihara telinga mereka dari perempuan-perempuan yang bukan muhrim, yaitu janganlah mereka mendengarkan nyanyian dan suara merdu perempuan-perempuan lain. Janganlah mendengarkan cerita-cerita tentang keelokan perempuan-perempuan. Cara demikian merupakan yang terbaik untuk memelihara kesucian mata dan kalbu.
Begitu juga katakan kepada perempuan-perempuan mukmin supaya mereka menahan pandangan mereka dari laki-laki yang bukan muhrim. Dan begitu pula hendaknya memelihara telinga mereka dari yang bukan muhrim, yaitu jangan mendengarkan suara yang dapat membangkitkan syahwat, dan tutuplah aurat dan jangan menampakkan bagian keindahan mereka kepada yang bukan muhrim. Dan kenakanlah kain kudungan sedemikian rupa sehingga menutup kepala sampai ke dadanya, yakni kedua daun telinga, kepala, dan kedua belah pelipis tertutup kudungan semuanya. Dan janganlah menghentak-hentakkan kedua kakinya ke tanah seperti para penari. Inilah upaya yang dengan mengikutinya akan menyelamatkan dari ketergelinciran.” (Filsafat Ajaran Islam, hlm 34-35)
Lebih lanjut, Huzur as. menjelaskan lagi bahwa cara kedua untuk memelihara kesucian tentunya adalah kembali kepada Allah dan tak henti memanjatkan doa agar diselamatkan dari ketergelinciran sebagaimana yang tercantum dari Surat An-Nur 31-32.
Kalimat “Janganlah mendekati zina” juga diperjelas oleh Huzur as. bahwa bukan hanya dengan tidak melakukan segala aktivitas yang bisa mengarahkan manusia untuk berbuat zina, tetapi juga dengan menghindari/tidak mengadakan pertemuan-pertemuan pribadi antara laki-laki dan perempuan bukan muhrim yang akan membimbing mereka menuju perbuatan dosa tersebut. Segala jalan yang apabila dilakukan/dilalui akan timbul dosa tersebut, harus dihindari bagaimanapun caranya.
Dalam Al-Qur’an pun dijelaskan bahwa apabila belum mampu menikah, seseorang bisa melakukan puasa atau mengurangi makan seperti yang tercantum dalam Surah Bani Israil 17: 33. Atau juga melakukan pekerjaan yang melelahkan tubuh dan pikiran sehingga menghindarkannya dari pemikiran kotor seperti yang tercantum dalam Surah An-Nur 24: 34.
Potensi-potensi nafsu yang memang sudah tertanam di dalam diri manusia bukan untuk dihilangkan, tetapi untuk dikendalikan. Karena di sisi lain, potensi nafsu ini dibutuhkan untuk menghasilkan keturunan. Akan tetapi kalau disalahgunakan, maka ia akan menjadi bencana. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah pengendalian, dan menggunakannya pada satu keadaan yang layak dan pantas. Itulah yang dinamakan akhlak dan kondisi-kondisi semacam itulah yang membuat kita dapat meraih pahala.
Pardah bukan berarti mengurung perempuan di dalam rumah layaknya seorang tahanan. Ini bukan tata cara Islami. Tetapi pardah adalah bagaimana laki-laki dan perempuan dicegah untuk bisa memandang secara bebas dan memamerkan keindahan masing-masing. Sebab di dalam pardah, tersimpan kebaikan baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Di akhir, Huzur as. menjelaskan mengenai ghadhdhu bashar. Saya sampaikan sedikit bahwa di buku biografi Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian karangan Iain Adamson, dituliskan bahwa Huzur as. selalu menerapkan ghadhdhu bashar, dengan menyipitkan matanya sampai terlihat seperti setengah mengantuk. Hal ini adalah contoh sikap menundukkan pandangan yang diterapkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as.
Di buku Filsafat Ajaran Islam, mengakhiri sub bab mengenai memelihara kesucian, Huzur as. pun menyampaikan bahwa ghadhdhu bashar adalah “sikap menghindarkan diri dengan memandang secara redup dan melihat benda-benda yang dibenarkan untuk dipandang (halaman 36).” Huzur as. menyatakan bahwa bagi orang bertakwa yang ingin terus menjaga hatinya agar tetap suci, “hendaknya ia jangan melayangkan pandangannya dengan liar kesana kemari seperti binatang-binatang, melainkan wajib baginya menerapkan kebiasaan ghadhdhu bashar.”
Beliau menyatakan lagi, “Dan ini adalah suatu kebiasaan beberkat yang mengakibatkan keadaan thabi’i tersebut berubah masuk ke dalam warna suatu akhlak yang kokoh, dan tidak akan menimbulkan perbedaan di dalam keperluan-keperluan pergaulan hidupnya. Inilah akhlak yang disebut ihsan dan iffat.”
Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa menuntun kita untuk menjadi lebih maju dalam memelihara kesucian kita masing-masing. Aamiin.
Visits: 105