
Negara Islam atau Masyarakat Islami?
Pada tahun 2012 kalau tidak salah, saya ingat dalam salah satu kelas di acara Kelas Tarbiyat, kami sedang membicarakan masalah Hukum Syariat. Kemudian saya bertanya pada kedua narasumber yang juga adalah mubaligh.
“Dikatakan bahwa hukum potong tangan adalah salah satu Hukum Syariat. Lalu bagaimana bisa menerapkan hukum semacam ini kalau kita tidak tinggal di negara dengan dasar Islam? Mungkin ini juga yang menyebabkan H** ingin sekali mewujudkan Negara Islam.”
Dijelaskan panjang lebar oleh Pak Mubaligh yang intinya, lebih penting mewujudkan masyarakat Islami daripada negara Islam. Ini kemudian menjelaskan kenapa dari sekian negara Islam yang ada di dunia saat ini, sulit sekali menentukan negara mana yang dipandang sebagai negara Islam yang ideal, dimana masyarakatnya mampu menampilkan akhlak yang Islami dan pemerintahnya pun sukses menegakkan Hukum Syariat.
Beberapa negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai Negara Islam, sangat disayangkan masyarakatnya justru tidak mampu menampilkan akhlak Islami. Hari-hari kita disajikan berita konflik dan peperangan di kawasan negara Timur Tengah yang tak berkesudahan.
Dalam sebuah kesempatan tanya jawab mengenai hukum potong tangan, Huzur IV Hz. Mirza Tahir Ahmad rh. memberi penjelasan,
“Saat ini seyogyanya tidak diterapkan hukuman seperti itu, karena kebanyakan orang adalah pencuri dan pembohong. Lingkungan masyarakat yang tidak terdapat ishlah didalamnya, mustahil syariat bisa diamalkan dalam lingkungan tersebut. Hal ini telah berkali-kali saya sampaikan kepada para kalangan terpelajar di Pakistan, Bagaimana kalian akan mengamalkan syariat dalam lingkungan seperti ini (Pakistan)? Apakah tangan setiap pencuri akan dipotong, sedangkan semuanya pencuri? Mulai dari presiden sampai pada level bawah semuanya pencuri dalam perkara kepentingan mereka masing-masing. Bukan saya yang mengatakan hal tersebut, tapi para oposisi merekalah yang mengatakan seperti itu, karena apa hak saya untuk mengatakan bahwa pak presiden adalah pencuri. Benazir Bhuto lah (oposisi pada saat itu-Pent) yang mengatakan bahwa pak presiden adalah pencuri.
Kalau hukuman itu diterapkan, maka partai politik yang menang dan mendapatkan tampuk kekuasaan di pemerintahan akan memotong tangan orang-orang yang berada di pihak oposisi mereka. Sebaliknya pada saat orang-orang yang bertangan buntung tadi menang dan mendapatkan tampuk kekuasaan di pemerintahan, lalu giliran merekalah yang akan memotong tangan orang-orang yang telah memotong tangan mereka sebelumnya. Bagaimana anda akan mengamalkan syariat, jika kebohongan sudah menjadi hal yang biasa. Seorang ketua mahkamah agung telah memberikan kesaksian bahwa: “Seumur hidup saya, tidak ada satupun kasus (yang beliau hadapi) yang di dalamnya saksi atau pengacara atau penuntut memberikan kesaksian yang benar di pengadilan. Kebohongan pasti ada dalam setiap persidangan.” Lantas, bagaimana mungkin bisa diterapkan hukuman potong tangan bagi para pencuri jika kondisinya seperti ini? Sekarang silahkan Anda lewat di gang-gang di Pakistan dan kumpulkan empat saksi dengan memberikan imbalan 10.000 atau 20.000 rupees, tapi tidak usah terlalu besar karena sekarang nilainya sudah semakin turun, seribu rupees saja, untuk memberikan kesaksian palsu terhadap seorang perempuan yang tidak berdosa dengan memfitnah bahwa “kami telah melihat perempuan ini berbuat zina”, (seorang pendengar menyaut 5000 rupees saja, tapi kata pendengar yang lainnya 1000 rupees juga cukup). Dimana menyangkut kehormatan orang-orang yang tidak berdosa lantas di sana para pembohong memberikan kesaksian palsu, maka pasti di tempat itu syariat tidak akan bisa berjalan.
Ketika syariat diterapkan pada zaman Rasulullah SAW, sebelumnya beliau SAW telah meng-islah akhlak umat terlebih dahulu dan sebagian besar penduduknya sampai batas tertentu telah bersih dari keburukan. Pada masa itu (zaman Rasulullah) berkata bohong merupakan suatu keanehan sedangkan kejujuran merupakan hal yang biasa, tapi meskipun demikian tetap saja Rasulullah menetapkan peraturan untuk seseorang yang akan menjadi saksi, sampai-sampai jika di antara keempat orang saksi yang ditetapkan salah satu di antara mereka diketahui pernah buang air kecil di pojok pasar, maka menurut ilmu fiqih, kesaksian orang yang seperti itu tidak bisa diterima. Coba lihat di … (nama satu kota di Pakistan yang tidak jelas terdengar-Pent), di sana orang-orang biasa buang air kecil di setiap pojok gang-gang. Ketika kencing, giginya menggigit tali salwar (celana khas Pakistan) (hadirin tertawa).
Lihatlah kenyataan! Tidak cukup hanya sekedar mengatakan syariat-syariat! Kenapa saya berkata demikian, karena saya menyaksikan sendiri keadaan orang-orang ini, sambil kencing mulut mereka menggigit tali celana dan tangannya masuk kedalam celana, pemandangan yang sangat menjijikan, rasanya ingin muntah melihatnya. Dan lucunya, justru orang yang semakin lama memasukkan tangannya ke dalam celananya, ternyata mereka adalah maulwi yang paling ditokohkan oleh umatnya (hadirin tertawa), padahal menurut Islam, kesaksian yang seperti itu adalah tidak jaiz.”
Penjelasan Huzur ini semakin menguatkan pemikiran bahwa sudah tentu lebih baik mewujudkan masyarakat Islami, apapun agamanya, dibanding mendirikan negara Islam. Bagaimana mungkin menegakkan Hukum Islam apabila masyarakatnya tidak memiliki pemahaman dan mampu menerapkan akhlak yang Islami? Tidak akan menghasilkan apa-apa.
Itulah mengapa Kekhalifahan Ahmadiyah tidak terbatas oleh sekat-sekat bangsa dan negara. Hal ini supaya berkat-berkat dari Khilafah tidak hanya menjadi monopoli suatu bangsa/negara saja, tetapi setiap orang di dunia berkesempatan meraih berkah yang sama. Setiap orang juga memiliki kesempatan yang sama untuk memancarkan berkat-berkat kebaikan Khilafah kepada sekitarnya. Dan, perwujudan masyarakat Islami pun bisa diterapkan di negara manapun, di bawah pemerintahan siapapun.
* Ref:
– Tanya Jawab dengan Hz. Khalifatul Masih IV ra. Mengenai Hukum Potong Tangan, terjemahan Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd.
Visits: 34