DZIKIR DAN SHALAT: DARI MEMBUKA MATA HINGGA MENUTUP MATA

Entah mengapa, malam itu saya bermimpi tentangnya. Ia tersenyum manis sekali. Terlihat deretan giginya yang masih tersusun rapih menambah cantik wajah tuanya. Senyumnya adalah senyum yang sama saat terakhir kali saya melihatnya saat hari raya idul fitri setahun lalu. Saat tubuhnya masih kuat untuk berdiri.

Rindu pun tiba-tiba menyerang. Rindu yang sejadi-jadinya.

Namanya Jawanis seorang wanita baik hati yang lahir di sebuah desa kecil di Batu sangkar, Sumatra Barat. Jawanis kecil sudah harus berjuang untuk hidupnya dengan tinggal dengan orang lain karena saat umurnya 5 tahun ia sudah kehilangan ibunya, sosok yang harusnya menjadi pelindung dan tempat ia mendapatkan belaian kasih sayang.

Saat umurnya 8 tahun ia bersekolah di sekolah orang-orang Belanda dan bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda. Saya ingat ia pernah menyebutkan beberapa kata dalam bahasa Belanda dan itu membuat saya ternganga takjub mendengarnya.

Lepas sekolah ia dipinang oleh seorang laki-laki Ahmadi bernama Tahir Ahmad, dan sejak saat itu mulailah ia masuk ke dalam Jemaat Ilahi ini. Dengan bimbingan dari suaminya ia mengenal lebih dalam lagi tentang Jemaat.

Dari pernikahannya ia dikaruniai 8 orang anak, 7 perempuan dan 1 laki-laki. Dari awal pernikahannya ia mengikuti suaminya berpindah-pindah tempat untuk mencari rezeki sebagai pedagang yang membuat tiap anaknya berbeda tempat lahirnya. Sebagai seorang isteri, ia tetap setia mendampingi sang suami kemanapun pergi.

Suaminya bertabligh sambil berdagang untuk menyebarkan pesan kebenaran islam, dan mengabarkan bahwa Imam Mahdi as telah datang. Dimanapun mereka berada selain mencari rezeki, bertabligh tak pernah tertinggal. Seolah-olah tabligh telah menjadi nafasnya.

Suaminya sempat menjadi tukang cukur. Dan pernah pulang tanpa membawa hasil sama sekali. Saat ia bertanya pada suaminya, dapat berapa hari ini? Dengan tersenyum suaminya menjawab “Alhamdulillah tak dapat satu kepalapun.”

Jawanis pun turut membantu perekonomian keluarga dengan menjual kue-kue yang ia buat pada tengah malam. Saat para anggota keluarganya terlelap tidur ia berjuang menahan kantuknya demi bisa menyambung hidup anak-anaknya dengan berjualan kue di pagi harinya.

Pekerjaan ini ia lakukan sambil terus berdzikir kepada Allah, tangan membuat kue tapi bibirnya tak pernah kering dari dzikir. Pekerjaan menjual kue ini tetap ia lakukan sampai suaminya meninggal dunia di tahun 1966. 

Selepas kepergian sang suami, Jawanis berjuang menghidupi kedelapan anaknya sendirian dengan berjualan kue setiap hari tanpa kenal lelah. Dzikir dan doa menjadi penyemangatnya. Dengan sebuah harapan supaya usahanya ini ia bisa menyekolahkan anak-anaknya agar kelak dapat memiliki kehidupan yang lebih baik darinya.

Sewaktu hari raya Idul fitri tiba, anak-anaknya menginginkan baju baru seperti anak-anak lain. Namun ia sadar ia tidak bisa membelikan baju baru untuk semua anaknya.

Demi memenuhi keinginan anaknya iapun menjahitkan sendiri baju baru untuk anak-anaknya dengan tangannya sendiri tanpa bantuan mesin. Tak pernah ia hiraukan lelah yang terasa di tubuhnya, yang ia fikirkan hanyalah bagaimana anak-anaknya bisa tersenyum saat memakai baju baru yang ia jahitkan ini.

Hari berganti, tahun pun berlalu, anak-anaknya yang besar sudah ada yang menikah dan memiliki keluarga sendiri. Tanggungannya pun sedikit berkurang karena anaknya yang sudah menikah membawa serta adik-adiknya untuk disekolahkan. Tinggallah dua anaknya yang masih berada dekat dengannya. 

Beranjak usia senja ia mulai pindah ke Jakarta agar lebih dekat dengan anak-anaknya, karena kebanyakan dari anak-anaknya berada di kota itu.

Selama hidup, ia penuhi dengan berjuang dan beribadah kepada Allah Taala. Pernah suatu ketika saya melihatnya menonton televisi tapi entah mengapa bibirnya terus bergerak seperti mengucapkan sesuatu dan setelah saya amati lebih jauh ternyata ia sedang  melafadzkan dizikir di bibirnya sambil tangannya ikut bergerak seperti sedang menghitung. Sampai saya dibuat terheran-heran melihatnya. karena saya fikir ia sedang fokus menonton tapi ternyata tidak.

Selama usia senjanya air wudhu tak pernah lepas dari tubuhnya, lantunan dzikir tak pernah kering dari bibirnya yang telah banyak kerutan dan matanya terus ia asah dengan membaca berbagai buku Jemaat walaupun dengan susah payah menggunakan kacamata yang sama tuanya dengannya.

Tapi semangat untuk membaca tak pernah lepas dari dirinya. Ini saya saksikan sendiri sewaktu saya SMP saat beliau tinggal di rumah saya. Dan hal ini jugalah yang menggerakkan hati saya untuk ikut membaca buku-buku Jemaat seperti dirinya.

Perempuan sepuh itu tidak pernah lalai dalam hal beribadah bahkan saya pernah dimarahi saat adzan maghrib tiba tapi saya tetap melanjutkan menonton televisi sedangkan ia saat mendengar adzan berkumandang langsung bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Dan ternyata hal ini sudah ia lakukan dari usianya masih muda, bahkan saat anak-anaknya lalai dalam shalat sudah dipastikan mereka akan mendapatkan ceramahan panjang lebar darinya.

Sampai usia senjanya ia tak pernah sekalipun meninggalkan shalat dan dzikir kepada Allah Ta’ala. Mungkin baginya shalat dan dzikir seperti makanan dan minuman bagi rohaninya yang dapat mengantarkannya untik lebih mendekat kepada Allah Ta’ala.

Bahkan di sisa hidupnya saat tulang-tulang tuanya tak lagi dapat menopang beban tubuhnya untuk sekedar pergi ke kamar mandi untuk berwudhu, ia tetap melakukan tayamum dan shalat di atas pembaringannya.

Saat memori otaknya mulai berkurang untuk mengingat hal-hal duniawi bahkan jika ditanyakan siapa nama anaknya ia tidak akan ingat, tapi Allah memberikan Kuasa-Nya dengan membuatnya tak pernah sedikitpun melupakan shalat dan berdzikir kepada-Nya.

Sampai di sisa hidupnya, dimana ia harus habiskan di atas tempat tidur selama 6 bulan terakhir hidupnya. Ia habiskan dengan mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala dengan shalat dan dzikir. Setiap saat yang ia tanyakan adalah “Apa ini sudah masuk waktu shalat?”

Itu saja yang ia tanyakan dikala matanya terjaga, dan beberapa menit kemudian ia akan menanyakan hal yang sama kali “Apakah ini sudah masuk waktu shalat?”

Beliau tak pernah sedikitpun melupakan shalat dan dzikir kepada Allah Ta’ala sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan bersih setelah ibu saya membersihkan tubuhnya saat ia hendak melaksanakan shalat subuh.

Dan hari itu juga ibu saya mengabarkan lewat pesan singkat bahwa Nenek saya sudah meninggal. Pesan singkat itu membuat hati saya berdegup kencang, inikah jawaban dari mimpi saya beberapa waktu lalu. Mungkin mimpi itu sebagai salam perpisahan darinya disaat saya jauh darinya dan tidak bisa menghadiri pemakamnya bahkan untuk sekedar melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.

Hanya lantunan doa yang bisa saya panjatkan untuk mengantarkan kepergiannya. Beliau merupakan seorang nenek yang baik, penyayang, ceria dan sabar, juga sebagai wanita yang luar biasa tangguh dengan berbagai ujian kehidupan yang telah ia lalui dengan baik. Seseorang yang lahir dengan keadaan bersih dan kembali kepada-Nya dalam keadaan yang bersih juga, Insya Allah.

.

.

.

Penulis: Mega Maharani Tasar

Editor: Muhammad Nurdin

Visits: 96

Mega Maharani

1 thought on “DZIKIR DAN SHALAT: DARI MEMBUKA MATA HINGGA MENUTUP MATA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *