TENTRAMNYA JIWA DENGAN BERBAIK SANGKA

Alkisah di masa silam, di sebuah Kerajaan.

Tersebutlah seorang Raja dengan pelayan setianya. Kemanapun Raja pergi, dia selalu menyertai. Sang Raja memiliki kesenangan berburu. Suatu hari diajaklah pelayannya untuk menemaninya ke sebuah hutan. Ketika sedang fokus membidik buruannya, tiba-tiba seekor binatang buas menyerang Raja. Beruntung, pelayannya begitu sigap hingga selamatlah Raja dari ancaman maut walaupun harus kehilangan satu jari tangannya. Alih-alih bersyukur nyawanya terselamatkan, Sang Raja malah tidak terima dengan kejadian ini, dia marah karena jarinya putus.

Pelayannya berkata, “Apapun yang terjadi kepada Yang Mulia, percayalah bahwa Allah itu baik, karena segala sesuatu yang dikerjakan-Nya adalah sempurna, Ia tak pernah salah.”

Sontak sang Raja geram dengan kata-kata pelayannya, “Apa kamu bilang? Allah itu baik? Jika Allah itu baik, bagaimana mungkin Dia membiarkanku kehilangan satu jari seperti ini? Aku akan penjarakan kamu pelayan!”

Singkat cerita, pulanglah mereka ke Kerajaan, dan benar saja pelayan tadi langsung dimasukan ke penjara. “Allah itu baik, dan apapun yang dikerjakan-Nya adalah sempurna”, begitu ucap pelayan menerima keputusan Raja.

Waktu berlalu, sudah beberapa purnama pelayan tadi berada dalam penjara. Sementara Raja tetap dengan kebiasaannya berburu. Namun kini, seorang diri dia pergi. Entah mengapa, dia tersesat di sebuah hutan dan ditangkaplah oleh Suku Primitif yang biasa mengorbankan manusia sebagai persembahan bagi leluhurnya.

Giliran upacara persembahan pun tiba. Namun, seorang dari Suku tersebut, melihat jari Raja yang putus. Dihentikanlah upacara tersebut, karena bagi mereka, ketiadaan satu jari Raja merupakan cacat untuk persembahannya.

Selamatlah Sang Raja dan dia baru menyadari, bahwa kata-kata pelayannya benar. Dikeluarkanlah pelayannya dari penjara. Raja berkata, “Kamu benar, Allah itu baik, jika jariku lengkap, maka aku jadi korban kaum Primitif itu, tapi mengapa kamu mengatakan Allah itu baik ketika aku memenjarakanmu?

“Allah itu baik, jika saja Yang Mulia tidak memenjarakan saya dan mengajak saya berburu, tentu saya yang akan menjadi korban, karena badan saya sempurna”.

Terenyuh hati Sang Raja. Dia tertunduk, merasa malu dengan dirinya sendiri. Sementara pelayannya begitu bijaksana.

Kisah ini sudah tersiar luas dan sering menjadi satu contoh bagaimana semestinya berbaik sangka atas segala ketetapan Allah dan tidak terburu-buru dalam memaknai sebuah kejadian.

Berbaik sangka atas setiap perkara begitu rupa memberikan dampak besar bagi seseorang. Berbaik sangka dapat menjauhkan seseorang dari petaka, paling tidak terhindar dari sebuah penyesalan, menjadikannya pribadi yang bertawakal, terjauh dari rasa khawatir dan takut berlebihan atas apa yang menimpa dirinya dan selalu berpikiran positif.

Dan pada akhirnya, akan menjadi pendorong untuk selalu memperbaiki amal ibadah dengan sebuah keyakinan bahwa semua yang dilakukan tidak akan tersia-sia karena Allah itu baik. Betapa tentramnya jiwa yang seperti ini, yang tak pernah risau dengan apa yang terjadi

Demikianlah Islam dengan ajarannya yang sempurna dan indah, dari segala sisi menjadikan umatnya begitu mudah untuk menjadi sosok-sosok baik dan bijaksana. Bahkan sekecil apapun kebaikan yang diperbuat umatnya bernilai ibadah di hadapan Allah SWT, sebagaimana sebuah hadits:

“Berbaik sangka terhadap Allah termasuk ibadah yang baik”

(HR. Abu Daud)

Visits: 379

Ai Yuliansah

1 thought on “TENTRAMNYA JIWA DENGAN BERBAIK SANGKA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *