TIDAK ADA FANATISME ATAU ASHABIYAH DALAM AJARAN ISLAM

Suatu hari, Ka’ab bin ‘Iyadh Ra bertanya, “Ya Rasulullah, apabila seorang mencintai kaumnya, apakah itu tergolong fanatisme?” Nabi SAW. menjawab, “Tidak, fanatisme (Ashabiyah) ialah bila seorang mendukung (membantu) kaumnya atas suatu kezaliman.” (HR. Ahmad)

Ashabiyah adalah istilah untuk sifat yang berakar pada kata ‘ashabah. ‘Ashabah berarti kerabat dari pihak bapak. Menurut Ibn Manzhur, ‘ashabiyyah adalah ajakan seseorang untuk membela keluarganya dari siapapun yang menyerang mereka, tak peduli keluarganya zalim atau tidak.

Menurut Ibn Manzhur lagi, penggunaan kata ‘ashabiyyah dalam hadis identik dengan orang yang menolong kaumnya, sementara mereka zalim [Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab,I/606 ]. Penjelasan ini senada dengan yang disampaikan Rasulullah SAW. dalam hadits di atas.

Ashabiyah masuk dalam kategori fanatisme karena ada kecenderungan untuk mempercayai atau memiliki keterikatan yang terlalu berlebihan akan sesuatu, sehingga tak lagi bisa menilai mana keburukan dan mana kebaikan. Tindakan zalim kepada orang atau kaum lain kemudian tak segan-segan untuk dilakukan karena mata hatinya telah sangat dibutakan oleh keangkuhan.

Ya, bisa dikatakan, keangkuhan adalah sumbu dari api fanatisme. Menganggap diri sendiri benar dan orang lain salah, menganggap diri sendiri lebih agung dari orang lain, adalah dua dari keangkuhan yang menyebabkan seseorang dilanda fanatisme atau sifat ashabiyah.

Berkaitan dengan fanatisme atau ashabiyah ini, Rasulullah SAW. bersabda, “Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang kerana ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati kerana ashabiyah.” (Riwayat Abu Daud)

Betapa berbahayanya sikap fanatisme/ashabiyah ini, sehingga Rasulullah SAW., melalui petunjuk Allah Ta’ala sendiri, tak bersedia menerima siapa saja yang memiliki sifat ini sebagai bagian dari umatnya.

Adalah keharusan bagi umat Muslim untuk memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang kuat akan kebenaran ajaran Islam. Tapi di satu sisi, kita pun diperintahkan untuk berpikir, menggunakan akal, belajar tanpa henti untuk bisa memiliki pemahaman yang lebih dalam. 

Kita pun harus meluaskan hati untuk bersedia menerima perbedaan pendapat dan keyakinan karena perbedaan itu pun ciptaan Allah Ta’ala. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Hujurat 49: 14, bahwa Dia menciptakan perbedaan hanya agar manusia bisa saling mengenal. 

Sungguh tak ada kepantasan sedikitpun bagi kita untuk bersifat sombong dan angkuh akan apapun, karena Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Saba 34: 24, “Dan tiada berguna syafa’at di sisi-Nya kecuali bagi siapa yang Dia izinkan baginya.” 

Ayat ini hanyalah satu dari sekian ayat yang mencantumkan banyaknya pernyataan Allah Ta’ala bahwa manusia tidak diberikan pengetahuan sedikitpun mengenai siapa yang keimanannya sedemikian indahnya sehingga berkenan bagi-Nya. 

Sungguh tak bisa diterima bagaimana seorang Muslim yang mengaku begitu mengidolakan dan mengagung-agungkan Rasulullah SAW., yang hatinya begitu dipenuhi cinta dan kasih sayang, justru menyalah-pahami kepribadian dan ajaran beliau SAW. sehingga bisa menjadikannya tameng atas sifat dan sikap fanatisme/ashabiyah.

Semoga kita bisa menghindarkan diri dari fanatisme atau sikap ashabiyah yang dibenci Rasulullah SAW. dan tentu saja, Allah Ta’ala. Aamiin. 

Visits: 426

Lisa Aviatun Nahar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *