MENYELARASKAN EMOSI DAN AKAL DENGAN LISAN

Bahasa lisan merupakan salah satu cara manusia berkomunikasi menyampaikan apa yang ada di hati dan terpikirkan di kepala antara satu sama lainnya sejak jaman ke jaman. Dari lisan kita mendapatkan banyak kemanfaatan untuk perbaikan hidup namun dari lisan pula seringkali menjadikan perpecahan dalam hubungan satu sama lain. 

Tak sedikit pertikaian terjadi akibat tak mampu menyelaraskan lisan, emosi dan akalnya. Terkadang lisan terucap karena dorongan emosi tanpa mengikut-sertakan pertimbangan akal sehat.

Lisan atau lidah diumpamakan seperti pedang yang dapat melukai seseorang bila dipakai pada tempat yang salah. Jika ia digunakan untuk berkata lurus maka luruslah jalan hidup seseorang. Jika ia dibawa berkata bengkok atau selalu berdusta dan menyakiti maka akan membawa dampak buruk pada kehidupan orang tersebut.

Rasulullah s.a.w. sebagai insan kamil paling sempurna dalam segala segi kehidupan memberikan contoh yang sangat luar biasa kepada umat beliau. Cara bertutur kata yang begitu indah, senantiasa berhati-hati dan menjaga perasaan siapapun lawan bicaranya. Bagaimana sebenarnya cara bicara yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. yang hendaknya menjadi tuntunan kita juga dalam bertutur kata?

Istri terkasih beliau s.a.w., Hadhrat Siti Aisyah ra. meriwayatkan, “Rasulullah s.a.w. tidak pernah berkata yang tidak baik, tidak pula berbicara dengan suara keras/membentak, serta tidak pernah pula mengumpat atau memaki jika beliau diperlakukan demikian.”

Seorang sahabat Hind bin Abi Halah menjelaskan cara Rasulullah s.a.w.  berbicara. “Rasulullah s.a.w. selalu selalu menekankan pentingnya untuk selalu mengingat masalah kehidupan di akhirat. Jika beliau s.a.w. berbicara, maka dengan jeda (spasi) yang cukup, beliau tidak pernah berbicara tanpa keperluan. Dalam berbicara dari awal sampai akhir beliau sangat berhati-hati. Beliau tidak berbicara sepotong-potong. Beliau juga menggunakan kata-kata yang tepat dan mengena serta selalu menggunakan kata-kata ekspresif. Beliau bukanlah orang yang banyak bicara namun bukan pula pembicara yang tidak jelas bila berbicara. Beliau tidak pernah berbicara dengan kasar maupun dengan nada  menghina/merendahkan.”

Dari riwayat tersebut kita jadi mengetahui bagaimana Rasulullah s.a.w. memberikan suri tauladan kepada umatnya. Namun kita perhatikan dari masa ke masa prilaku umat beliau s.aw. sudah sangat jauh dari akhlak yang ditunjukkan  panutannya.

Nilai-nilai kesopanan dalam bertutur kata, baik kepada yang lebih tua apalagi yang lebih muda, sudah tidak ada batasan. Saling menghujat, memanggil dengan panggilan tidak pantas sudah lazim terdengar. Sehingga hal itu menimbulkan ketersinggungan, salah paham dan pada akhirnya berujung ke ranah hukum.

Padahal alangkah baiknya sebelum berucap kata kepada siapapun, hal baik yang perlu diperhatikan adalah memikirkan dulu apakah ucapan itu akan menyakiti. Atau sebelum berucap, kita berpikir bagaimana seandainya kita dalam posisi orang yang akan kita ajak berbicara. Bila diucapkan kata-kata tidak sopan apakah akan terasa nyaman atau tidak bila didengar.

Hal inilah yang sangat diperhatikan oleh Hadhrat Ali bin Abi Thalib ra. Tercantum dalam nasehat berharga beliau, “Janganlah engkau mengucapkan perkataan yang engkau sendiri tak suka mendengarnya jika orang lain mengucapkannya kepadamu.”

Sebagai muslim sejati sepatutnya kita meneladani suri tauladan Rasulullah s.a.w. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat lemah lembut, baik tutur katanya sehingga sangat disegani oleh musuh sekalipun. Perkataan yang keluar dari mulut beberkat beliau semuanya semata-mata kalimat-kalimat bertuah yang mengajak manusia kepada Sang Khaliq. 

Sebagaimana tuntunan Al Qur’an Suci, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang yang menyeru manusia kepada Allah dan beramal saleh serta berkata, “Sesungguhnya aku pun termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Fussilat: 34)

Jadi sebagai seorang hamba Allah yang diberi nikmat berupa lisan yang bisa berbicara, sepatutnya kita berkata-kata yang baik, tidak menyinggung perasaan, saling menasehati dengan bil hikmah. Karena di akhirat kelak anggota badan yang Allah Ta’ala karuniakan kepada kita akan dimintai pertanggung jawabannya. 

Dan kita tidak bisa lengah dari hal itu sebab Allah Ta’ala tidak akan pernah lengah terhadap hamba-hambanya. Ada malaikat yang menjadi pengawas pada diri setiap hamba Allah Ta’ala. Sebagaimana Dia berfirman, “Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Al Qof: 19)

 

Visits: 180

Rauhun Thayibah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *