Reformasi Akhlak: Tingkatkan Kualitas Diri Melalui Al-Qur’an

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup dan berdiri sendiri tanpa melibatkan orang lain. Manusia membutuhkan interaksi dengan sesama guna untuk bertahan hidup. Adanya interaksi ini terkadang menimbulkan persepsi orang lain terhadap kita.

Oleh karena itu, dalam perjalanan hidupnya, manusia tidak dapat terlepas dari dipengaruhi-memengaruhi dan dinilai-menilai. Namun, hal yang perlu kita tanamkan dalam diri adalah; baik buruknya persepsi itu, tergantung pada bagaimana pola pikir serta nilai diri yang kita tunjukkan pada orang lain melalui sifat kita sendiri.

Seorang filsuf Yunani bernama Epictetus pernah berkata, “Kamu tidak bisa dihina orang lain, kecuali kamu sendiri yang pertama-pertama menghina dirimu sendiri.” Hikam (kata-kata mutiara) tersebut mengingatkan saya pada cerita beberapa tahun lalu.

Saat itu, saya sedang mengerjakan proyek sekolah bersama beberapa teman di ruang kelas. Entah percakapan apa yang kami perbincangkan sebelumnya, hingga sampailah pada topik sensitif tentang Nabi Isa a.s. dan Imam Mahdi a.s.

“Kok Ahmadiyah bisa ya menciptakan Nabi baru? Pantas saja dikecam di mana-mana, sampai Qur’an dan masjidnya pun dirusak. Pengikutnya buta sejarah Islam apa gimana, ya?” ucap salah satu teman saya. Baru saja saya hendak membuka mulut dengan niat menimpali perkataannya, seorang teman lainnya menyanggah dengan cepatnya.

“Aku nggak setuju juga dengan Ahmadiyah karena nabi barunya itu, tapi aku lebih nggak setuju sikap dan ucapanmu yang tidak mencerminkan Muslim. Agama mana yang membolehkan mengecam akidah seseorang dengan tega membakar Al-Qur’an dan rumah Allah ﷻ?” katanya.

Tindak laku kita sedikit banyak memicu paradigma orang lain. Bahkan, ketika dua orang dengan satu pemikiran menyamakan pendapat, jika ucapan kita tidak berpengarai luhur (tidak disertai kesopanan), orang yang sependapat dengan kita akan menyusutkan nilai berharga pada diri kita. Akibatnya, tidak hanya mendapatkan kehinaan di mata manusia saja, namun juga mengerdilkan diri di hadapan Allah ﷻ.

Tidak jarang, watak/tabiat diri sendirilah yang melatar-belakangi seseorang melabeli kita dengan julukan buruk, seperti; si pahit lidah, asbun (asal bunyi), dll.

Haruskah Menyembunyikan Sifat Buruk Agar Dinilai Baik?

Memperindah akhlak hanya untuk membuat seseorang terkesima dengan apa yang kita tunjukkan tanpa usaha untuk mengamalkan akhlak tersebut dalam keseharian kita termasuk dalam perbuatan tauriyah (pura-pura).

Mengenai hal itu, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menyatakan, “Akhlak itu ada dua macam. Salah satunya ialah akhlak yang dilakukan oleh orang-orang terpelajar di era modern ini, yang meminta maaf dan sangat menyenangkan di muka, tetapi menyimpan pertentangan di dalam hati mereka. Akhlak seperti itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Kita harus meningkatkan derajat kebaikan kita sedemikian rupa sampai kita mencapai kebaikan yang dilakukan tanpa pamrih, seperti halnya kebaikan dan cinta seorang ibu kepada anaknya.”

Sehubungan dengan sabda Masih Mau’ud a.s. di atas, Rasulullah ﷺ juga menegaskan bahwa tauriyah dengan tujuan agar dianggap baik (hanya topeng belaka) merupakan sifat tercela. Beliau ﷺ bersabda, “Manusia yang paling buruk adalah orang yang bermuka dua, yang mendatangi kaum dengan muka tertentu dan mendatangi lainnya dengan muka yang lain.” (HR. Bukhari)

Al-Qur’an Sebagai Sarana Perbaikan Akhlak

Manusia merupakan makhluk lemah yang jauh dari kata sempurna, itulah mengapa manusia berada di antara sifat baik dan buruk. Tapi, walaupun demikian, bukan berarti manusia bisa leluasa menuruti sifat buruknya. Karena meski secara lahiriah manusia tidak sempurna, Allah ﷻ memberkati manusia wadah berupa nurani yang mampu mengikis keburukan dalam diri.

Di samping itu, Allah ﷻ juga membekali pedoman berupa Al-Qur’an untuk membersamai kita menuju takhalluq (pembiasaan diri bersikap baik). Di dalamnya secara gamblang tertulis sifat-sifat Allah yang sepatutnya manusia miliki, juga sifat buruk yang mana harus ditinggalkan.

Huzur a.b.a dalam khotbahnya bersabda, “Ketika aku merenungkan keseluruhan firman Allah ﷻ aku menemukan bahwa ajaran-ajarannya itu berusaha memperbaiki kondisi alamiah manusia dan mengangkatnya selangkah demi selangkah ke tingkat kerohanian yang lebih tinggi.”

Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. pun menegaskan perihal transformasi positif dampak dari membaca dan mengamalkan Al-Qur’an Syarif. Di dalam buku Filsafat Ajaran Islam beliau a.s. menyampaikan:

“Seperti halnya seorang dokter yang dalam usahanya memulihkan kembali kesehatan pasiennya, sewaktu-waktu perlu melakukan pembedahan dan kadang-kadang hanya mengoleskan salep, demikian pula ajaran Al-Quran Syarif, solidaritasnya terhadap umat manusia telah melakukan tindakan-tindakan seperti itu, sesuai dengan kondisi masing-masing. Maksud sebenarnya semua ajaran ma’rifat; yakni ilmu-ilmu, nasihat dan sarana-sarana lainnya ialah mengantarkan umat manusia dari keadaan-keadaan thabi’I (alami) yang memiliki corak biadab kepada keadaan-keadaan akhlaki hingga ke samudera kerohanian yang tiada bertepi.”

Dengan membaca, memahami serta mengamalkan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an, tidak hanya hubungan dengan Allah ﷻ saja yang mengalami perbaikan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang penuh dengan nilai moral menjauhkan kita dari segala sifat buruk yang dapat menghinakan diri.

Semoga Allah ﷻ memberikan hidayah, taufik serta ilmu agar kita dapat memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Aamiin Allahumma Aamiin.

Visits: 110

Nurul Hasanah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *