Tarbiyat Anak Dimulai dari Memilih Pasangan

Malam itu ada pengajian. Pembicaranya Mln. Wahid Yayang Effendi, mubaligh yang baru bertugas di cabang. Ba’da Maghrib hujan turun deras. Sampai pada waktu shalat Isya hujan masih begitu deras.

Suami saya baru pulang kerja. Dengan masih mengenakan jas hujan, ia tergesa masuk rumah dan berkata, “Yuk, berangkat ke pengajian! Pakai jas hujan aja,” katanya. Saya memutuskan akan membawa payung juga untuk sampai ke motor.

Ketika saya sudah rapi, saya gendong putra saya dan keluar. Rintik hujan yang sebelumnya begitu deras, saat kami keluar tiba-tiba saja mulai reda dan hanya gerimis saja. Kami pun pergi mengenakan jas hujan, menunggangi kuda besi kesayangan. Syukurnya, hujan hanya gerimis saja selama di perjalanan.

Dan sampailah kami di masjid ketika baru pembacaan ayat suci al-Qur’an. Jujur, saya sudah yakin telat dan tertinggal materi yang disampaikan pak mubaligh. Namun ternyata lagi-lagi karunia Allah Swt. lebih luas dari apa yang hanya di benak saja.

Ketika sampai, hujan sudah berhenti. Terlihat teras masjid masih basah terkena sisa-sisa guyuran hujan barusan. Saya masih berdiri di depan masjid dan memperhatikan dari kaca jendela. Ada layar besar di dalam, nampak jelas judul presentasi yang akan disampaikan Pak Mubaligh: Parenting itu Sangat Penting.

Sekilas saya berpikir materinya berat. Saya jadi teringat ketika sedang hamil putra kecil kami. Saya pun berpikir keras apa bisa saya mendidiknya? Bisakah membersamainya dengan baik, dengan background saya yang sangat sederhana dalam pengetahuan?

Lamunan itu terhenti, saya melangkah masuk menyapa ibu-ibu anggota Lajnah, teman-teman lama, dan adik-adik kecil yang baru saya temui lagi. Mereka tersenyum hangat, menerima uluran tangan saya dengan senyum. Momen ini yang selalu dirindukan ketika bertemu anggota Jemaat lainnya. Entahlah, rasanya memang selalu berbeda.

Setelah beberapa rangkaian acara, sampailah pada penyampaian materi dari Mubaligh kami. Saya rasa mendidik anak itu terlihat mudah namun juga sulit, terutama anak laki-laki. Jika salah dalam alur tahapannya, bisa juga berakhir dengan salah.

Kata Pak Mubaligh, “Selamatkanlah dulu anggota keluarga kita dari api neraka, baru orang lain.” Kalimat itu terpatri, teringat begitu jelas berputar-putar di kepala saya. Tapi saya rasa, bagaimana bisa menyelamatkan anggota keluarga kita, sedangkan diri kita pun lalai.

“Menjalankan segala perintah Allah yang diperintahkan kepada mereka dan menjauhi larangan yang dilarang-Nya.” Penggalan kalimat itulah yang tiba-tiba mengepul memenuhi seluruh sudut di ruang isi kepala.

Saya jadi bertanya-tanya pada diri. Bisa tidak, ya? Mungkin tidak, ya? Namun, atas kehendak-Nya dan segala apa yang Allah Ta’ala berikan, kita harus senantiasa menjadi manusia yang sami’na wa atho’na.

Jika tidak bisa, ya belajar. Jika sulit, ya pelajari lagi. Allah beri karena Allah percaya. Allah beri karena Allah tahu batas kemampuan kita sebagai hamba-Nya.

“Jangan ‘membunuh’ anak keturunan!” Jika kita ingin keturunan kita menjadi generasi yang gemilang, berikanlah tarbiyat sejak dini. Berikan tarbiyat dalam keluarga. Dan itu semua dimulai dari memilih pasangan.

Di dalam Al-Qur’an, seorang perempuan diumpamakan sebagai ladang. Jika petani ingin menghasilkan hasil yang baik, maka ia harus mengolah ladangnya dengan baik. Jika tanahnya tidak baik, maka diolah dulu agar menjadi baik. Begitu kata Pak Mubaligh.

Perumpamaan ini sangat jelas. Jika kamu menginginkan seorang generasi yang baik, maka dimulai dari seorang perempuan yang baik. Dan jika perempuannya tidak/kurang baik, maka tugas laki-lakilah untuk mendidik perempuan tersebut menjadi lebih baik.

Saya pernah mendengar Ibu Sadr menyampaikan, “Jika 50% kaum wanita diperbaiki, maka Islam akan menang untuk kedua kalinya.” Hazrat Khalifatul Masih IV r.a. bersabda, “Jika kalian ingin menyelamatkan anak keturunan, terlebih dahulu selamatkanlah dirimu.”

Semua tujuan akan tercapai jika dimulai dari diri kita. Mln. Wahid menyampaikan juga dalam presentasinya untuk berhati-hati terhadap firasat anak. Mereka dapat menangkap kelemahan-kelemahan hati, keburukan-keburukan, harapan dan bahkan juga perasaan hati orang tuanya.

Jika di dalam hati ada ketakwaan, maka anak-anak mulai menyerap ketakwaan tadi. Dan ketakwaan juga diumpamakan seperti sedang berjalan di semak yang berduri, sama-sama memerlukan kehati-hatian dalam melangkah di atasnya.

Jika ingin memiliki tarbiyat yang baik dalam keluarga, mulailah dari memilih pasangan. Karena pasangan yang kita pilih menentukan masa depan. Terutama pemimpin dalam rumah tangga yang adalah seorang laki-laki. Ia adalah nahkoda penunjuk dan pembawa arah bagi jalannya sebuah bahtera. Andaikata seorang istri adalah madrasatul ula, laki-lakilah kepala sekolahnya. Ia yang memimpin, ia yang punya kendali terhadap semuanya.

Saya jadi teringat percakapan dengan teman atau para keponakan bahwa jodoh itu cerminan diri, refleksi diri. Kalau mau dapat yang baik, kita harus introspeksi diri. Teruslah berproses menjadi lebih baik. Karena setiap segala sesuatu yang mahal dimulai dari proses yang panjang, dari banyak kegagalan dan kekecewaan. Tapi, pemenangnya tetaplah orang yang mau berproses dan tidak menyerah.

Syukur alhamdulillah banyak ilmu yang saya dapat malam itu. Hujan tidak menjadi halangan. Jika Allah memberikan kehendak dan ridho-Nya, semua akan ada jalan untuk sampai pada tujuan. Jika tujuan yang dituju mendapat ridho-Nya, yang didapat pun adalah karunia dan cinta dari-Nya.

Visits: 119

Kamila Saida

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *