
Syahid, Kematian yang Didambakan
Sebuah peperangan identik dengan kalah dan menang, berjuang dan diperjuangkan juga bertahan dan merelakan. Kematian memang milik Sang Maha Pencipta, namun keadaan seperti apa saat kematian datang, kita tentu dapat mempersiapkannya. Persiapan sebaik mungkin dengan berbagai amal saleh hingga tiba hari ketika semuanya terhenti tentu perlu dikerjakan.
Kematian yang paling didambakan oleh setiap Muslim adalah mati syahid. Karena mati syahid memiliki berjuta keistimewaan. Sebagaimana Allah Swt. berfirman: “Dan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah, maka sekali-kali Dia tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.”[1]
Rasulullah saw. menegaskan dalam sabdanya: “Orang yang mati syahid di sisi Allah mempunyai enam keutamaan; dosanya akan diampuni sejak awal kematiannya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dijaga dari siksa kubur, diberi keamanan dari ketakutan yang besar saat dibangkitkan dari kubur, diberi mahkota kemuliaan yang satu permata darinya lebih baik dari dunia seisinya, dinikahkan dengan tujuh puluh dua bidadari dan diberi hak untuk memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari keluarganya.”[2]
Layaknya para pejuang bangsa yang gugur di medan perang demi tercapainya kemerdekaan Indonesia, begitu pun kaum Muslimin serta sahabat Rasulullah saw. banyak gugur di medan perang. Mereka semua mendapatkan kemuliaan sebagai syuhada yang tercatat dalam sejarah Islam.
Khansa binti Amru tercatat sebagai Ummu Syuhada karena keikhlasannya menerima keempat anaknya gugur di medan perang. Keyakinannya begitu kuat bahwa mereka yang telah mati di medan pertempuran maka segala amal kebaikannya tidak akan pernah disia-siakan oleh Allah Swt.
Dia mengajarkan anaknya sejak kecil untuk tidak takut dalam membela Islam termasuk dalam berperang. Dia juga mengajarkan anak-anaknya bersyair karena sebelumnya dia dikenal sebagai penyair. Terutama syair motivasi.
Tahun 14 H. ketika masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab r.a., Islam dihadapkan dengan Persia. Khalifah Umar bin Khattab r.a. menyiapkan pasukan dengan mengerahkan semua kabilah. Meskipun tidak memadai karena jumlah pasukan Persia sekitar 200.000 orang sedang pasukan Muslim hanya 41.000 orang.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Khansa binti Amru. Keempat anaknya ikut dalam pasukan bersenjata. Sementara ia ikut dalam barisan para wanita perawat untuk menolong para pejuang muslim yang terluka sekaligus memberikan semangat kepada para pejuang.
Sebelum memulai peperangan, Khansa binti Amru mengumpulkan keempat anaknya. Ia mulai menasehati mereka.
“Wahai anak-anakku, kalian telah memilih agama ini dengan rela hati. Kalian juga berhijrah dengan sukarela. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain-Nya, sesungguhnya kalian sekalian adalah putra seorang laki-laki dan seorang perempuan. Aku tidak pernah mengkhianati ayah kalian dan aku juga tidak memburuk-burukkan saudara-saudara kalian. Aku tidak pula merendahkan keturunan kalian juga tidak memutus tali persaudaraan. Kalian sudah mengetahui pahala yang Allah persiapkan untuk kaum muslim dalam berperang melawan kaum kafir. Ketahuilah, sesungguhnya kampung yang kekal lebih baik dari pada kampung yang binasa!”
“Wahai orang yang beriman! Sabarlah dan sempurnakanlah kesabaran kalian itu! Teguhkan kedudukan dan patuhlah kepada Allah. Semoga kalian menjadi orang yang beruntung.” Keempat putranya dengan khidmat mendengarkan nasehat ibunya.
“Jika kalian bangun besok pagi, insyaallah kalian dalam keadaan selamat, maka keluarlah untuk ikut berperang dengan musuh. Gunakan segala pengalaman dan ilmu serta mohonlah pertolongan Allah. Sementara jika kalian melihat api pertempuran, maka masuklah dan cari sumbernya. Semoga kalian berhasil dan mendapat balasan di kampung abadi serta tempat tinggal yang kekal.”
Jumlah yang lebih sedikit, tetapi atas pertolongan Allah, pasukan muslim dapat memenangkan peperangan. Khansa binti Amru yang berada pada barisan para wanita tiba-tiba didatangi oleh seseorang yang mengabarkan sebuah berita. Keempat anaknya meninggal di medan perang.
Mendengar kabar tersebut, Khansa binti Amru tetap tenang bahkan gembira. Hatinya tidak berguncang. Ia kemudian memuji kepada Allah Swt. “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dan mensyahidkan mereka. Aku mengharapkan dari Tuhanku agar kami dikumpulkan di tempat yang kekal dengan rahmat-Nya”.[3]
Sebagaimana Khansa binti Amru sudah bisa memerdekakan dirinya dari rasa memiliki anak-anaknya hingga berbuah syahid. Maka teladan ini wajib kita contoh. Semua yang ada di dunia adalah ‘fana’ maka segeralah untuk memerdekakan diri dari rasa memiliki.
Dari Khansa binti Amru kita mendapat teladan tentang arti sebuah pengorbanan yang dibalas dengan istimewa yaitu sebuah pensyahidan. Namun untuk mendapatkan predikat syahid ini tentu tidak sembarang orang bisa mendapatkannya dengan mudah.
Hadhrat Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Hurairah r.a., bahwa jika seseorang mati di jalan Allah Ta’ala mulai dianggap syahid maka tidak akan banyak orang-orang yang menjadi syahid di dalam umatku.”[4]
Orang-orang yang mendapat predikat syahid merupakan orang-orang pilihan, yang berhati bersih dan juga dekat dengan Allah Swt. Sebagaimana tertera dalam sebuah hadis.
Diriwayatkan Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang dengan niat bersih dan lurus menginginkan kesyahidan maka Allah Ta’ala akan memasukkannya ke dalam golongan orang-orang syahid sekalipun ia mati di atas tempat tidur.”[4]
Sebegitu tingginya tingkat dan keistimewaan syahid maka sebagai seorang Mukmin sejati haruslah memberi perhatian terhadap salat juga ibadah-ibadah bukan atas dasar terpaksa melainkan karena keyakinan penuh serta ‘kamil’ (sempurna) terhadap Allah Ta’ala karena Dia sedang melihat dan memperhatikan kita. Setiap amal yang dikerjakan karena Allah Ta’ala akan menjadi sarana keridhaan-Nya.
Sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: ”Derajat syahid didapat bila manusia beribadah kepada Allah Ta’ala sambil menghadapi kesulitan-kesulitan.”[4]
Setelah semua kebaikan dan peningkatan ibadah kita lakukan maka tinggal menunggu keputusan dari Sang Maha Kuasa untuk menentukan apakah kita akan menemukan akhir yang baik seperti para syuhada atau sebaliknya. Karena pada dasarnya tugas manusia hanyalah beribadah kepada Allah Swt., berbuat kebaikan dan menjauhi semua larangan-Nya. Selain itu hanya Allah yang mengatur segalanya.
Referensi:
[1] Q.S. Muhammad 47: 5
[2] HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah
[3] tsaqafah.id
[4] ahmadiyah.id/khutbah, 14 Desember 2012, Baitus Sabuh, Hamburg, Jerman.
Visits: 51