
Memaknai Kemerdekaan dan Persamaan Derajat Manusia dalam Pandangan Allah Swt.
Alkisah, ketika masih kecil Zaid bin Haritsah ditangkap oleh sekelompok penjahat dan dijual sebagai budak. Kemudian, ia dibeli oleh keponakan Siti Khadijah, Hukaim bin Hisyam. Ia memiliki sifat yang baik, oleh karenanya Khadijah memberikan kepada Rasulullah saw. yang kemudian memerdekakannya.
Zaid merasa nyaman bersama Rasulullah saw. karena diperlakukan dengan lembut dan penuh kasih sayang. Walaupun, pada awalnya beliau sempat menangis karena teringat pada bapak dan ibunya. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama karena perlakuan Rasulullah saw. mampu mengobati kerinduan kepada kedua orang tuanya.
Di sisi lain, orang tua Zaid dirundung kesedihan yang mendalam. Ibunda Zaid, Su’da binti Tsa’labah, menangis tiada henti serta meratapi nasib anaknya yang hilang. Kesedihannya bertambah karena ia tidak tahu bagaimana nasib putranya itu. Apakah masih hidup atau sudah mati? Begitu pun dengan ayah Zaid, Haritsah. Dia tidak pernah berhenti mencari anaknya ke seluruh penjuru kawasan. Dia juga bertanya kepada setiap kafilah yang ditemuinya.
Hingga satu saat akhirnya ada kabar kalau anaknya masih hidup dan berada di bawah asuhan Nabi Muhammad saw. Haritsah mengajak saudaranya, Ka’ab, untuk menemui Rasulullah saw. dan menjemput pulang Zaid. Mereka tidak lupa menyiapkan sejumlah uang untuk tebusannya.
Sesampainya di Makkah, mereka langsung menemui Nabi Muhammad saw. lalu mereka meminta izin agar anaknya dikembalikan. Tidak lupa mereka menyodorkan sejumlah uang sebagai tebusannya.
Nabi Muhammad saw. tidak langsung menolak ataupun menerimanya. Beliau dengan penuh bijak dan berlaku adil memanggil Zaid untuk memilih sendiri. Apakah memilih tetap tinggal bersama Nabi Muhammad saw. atau ikut pulang bersama orang tuanya. Nabi Muhammad saw. tidak mengharapkan uang tebusan jika Zaid lebih memilih orang tuanya.
Zaid tidak kuasa menahan isak tangisnya saat melihat ayah dan pamannya. Setelah kondisi Zaid cukup tenang, Nabi Muhammad saw. menyampaikan maksud kedatangan ayahnya dan kemudian melontarkan dua pilihan tadi. Zaid tidak langsung menjawab. Baginya, itu adalah sebuah pilihan yang tidak mudah. Namun setelah lama berpikir, Zaid akhirnya menjawab untuk tetap bersama Nabi Muhammad saw.
Seketika itu, Haritsah mengucapkan sumpah serapah kepada anaknya. Dia tidak terima anaknya lebih memilih menjadi budak dan menolak pulang bersamanya. Kemudian Nabi Muhammad saw. mencoba menenangkan Haritsah. Beliau mengajaknya ke Hijir Ismail yang berada di sisi Ka’bah.
Selanjutnya di sana, Nabi Muhammad saw. mendeklarasikan bahwa mulai saat itu Zaid adalah anak angkatnya.”Wahai segenap yang hadir di sini, saksikanlah bahwa ia ‘Zaid’ adalah anakku. Dia adalah ahli warisku,” kata Nabi Muhammad saw.
Hati Haritsah dan Ka’ab menjadi tenang setelah mendengar ‘deklarasi’ Nabi Muhammad saw. itu. Mereka menjadi maklum dan bisa menerima keputusan Zaid yang lebih memilih bersama Nabi Muhammad saw. daripada dirinya. Mereka tahu, anaknya memiliki kedudukan mulia di Makkah. Mereka pun kembali dengan hati lega, tenang, dan puas.[1]
Kisah di atas memberikan gambaran kepada kita, betapa Rasulullah saw. telah memberikan teladan dalam memerdekakan budak dan memperlakukan manusia sama sebagai umat ciptaan Allah Swt. Al-Qur’an menekankan persamaan antara seluruh umat manusia. Al-Qur’an adalah Kitab pertama yang mengajarkan bahwa seluruh manusia itu merupakan satu masyarakat. Diakuinya pembagian negeri-negeri,bangsa-bangsa, dan suku-suku, tetapi diterangkannya bahwa ini hanyalah untuk tujuan penjatidirian dan bahwa mengenai hak-hak seluruh umat manusia itu sama. Dicelanya segala perbedaan.[2]
Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam Al-Hujurat 49: 14, “Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan; dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha-waspada.”
Tafsir ayat ini meletakkan dasar persaudaraan yang melingkupi dan meliputi seluruh umat manusia. Pada hakikatnya, ayat ini merupakan “Magna Charta” piagam persaudaraan dan persamaan umat manusia. Ayat ini menumbangkan rasa dan sikap lebih unggul yang semu lagi bodoh, yang lahir dari keangkuhan rasial atau kesombongan nasional. Karena umat manusia sama-sama diciptakan dari jenis laki-laki dan perempuan, maka sebagai makhluk manusia, semua orang telah dinyatakan sama dalam pandangan Allah Swt.
Nilai seseorang tidak dinilai oleh warna kulitnya, jumlah harta miliknya, oleh pangkatnya atau kedudukannya dalam masyarakat, keturunan atau asal-usulnya, melainkan oleh keagungan akhlaknya dan oleh caranya melaksanakan kewajiban kepada Tuhan dan manusia. Seluruh keturunan manusia, tidak lain hanya suatu keluarga belaka. Pembagian suku-suku bangsa, bangsa-bangsa dan rumpun-rumpun bangsa dimaksudkan untuk memberikan kepada mereka saling pengertian yang lebih baik, terhadap satu-sama lain agar mereka dapat saling mengambil manfaat dari kepribadian serta sifat-sifat baik bangsa-bangsa itu masing-masing.
Seperti diriwayatkan oleh Baihaqi, pada peristiwa Haji perpisahan di Mekah, tidak lama sebelum Rasulullah Saw wafat, beliau berkhutbah di hadapan sejumlah besar orang-orang Muslim dengan mengatakan, “Wahai sekalian manusia! Tuhan-mu itu Esa dan bapak-bapakmu satu jua. Seorang orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang non Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit merah, begitu pula sebaliknya, seorang kulit merah tidak mempunyai kelebihan apa pun di atas orang berkulit putih melainkan kelebihannya ialah sampai sejauh mana ia melaksanakan kewajibannya terhadap Tuhan dan manusia. Orang yang paling mulia di antara kamu sekalian pada pandangan Tuhan ialah yang paling bertakwa di antaramu”.
Sabda agung ini menyimpulkan cita-cita paling luhur dan asas-asas paling kuat. Di tengah suatu masyarakat yang terpecah-belah dalam kelas-kelas yang berbeda itulah, Rasulullah Saw mengajarkan asas yang paling demokratis.[3]
Dari keterangan di atas, terbukti benar apa yang disabdakan oleh Khalifah Ahmadiyah yang ke-2 bahwa, “Kemerdekaan dan persamaan adalah sumbangan yang menjadi ciri khas Islam kepada peradaban dunia.” Semoga kita mampu memaknai kemerdekaan yang hakiki dan dapat menerapkan asas persamaan kepada segenap umat manusia.
Ref:
[1] https://islam.nu.or.id/amp/sirah-nabawiyah/zaid-bin-haritsah-memilih-tinggal-bersama-rasulullah-daripada-orang-tuanya-VsWVX
[2] Pengantar Mempelajari Al-Qur’an
[3] Al-Qur’an,Terjemah dan Tafsir Singkat Ahmadiyah
Visits: 35