Keluar dari Pernikahan KDRT

Pernikahan seorang selebgram kini menjadi sorotan. KDRT yang telah ia rasakan selama 5 tahun pernikahan tengah menjadi pembahasan. Video yang menggambarkan betapa beringas pukulan suaminya kepadanya kini menuai kecaman, dan mirisnya, perdebatan.

Di antara lantangnya suara dukungan untuk korban, masih ada saja yang menganggap bahwa KDRT adalah aib atau ujian rumah tangga yang sebaiknya ditutupi dan masih bisa didiskusikan. Pemikiran seperti ini sesungguhnya berbahaya, tetapi kehadirannya bisa dimaklumi karena dua hal.

Pertama, budaya patriarki yang sangat kuat masih mengakar di Indonesia. Kedua, perempuan sudah lama menjadi salah satu kelompok minoritas rentan. Mereka terbiasa dibelenggu aturan sebagai kelompok masyarakat di bawah laki-laki, yang membuat mereka tak bebas, termasuk tak bebas berpikir.

Terjajah sekian lama membuat perempuan merasa sesuatu yang salah adalah hal yang seharusnya begitu adanya. Mereka melihat neneknya, kemudian ibunya, menjadi perempuan-perempuan yang takluk di bawah kata-kata laki-laki penganut fanatik patriarki, sehingga mereka pikir seperti itulah seharusnya.

Saking lamanya perempuan dikungkung pemikirannya, perasaannya, dan pergerakannya, mereka menganggap bahwa memang sudah sepatutnya, sudah sewajarnya, mereka diperlakukan demikian. Sehingga, gagasan bahwa mereka berhak diperlakukan setara, dihargai, dan dihormati sangat asing bagi mereka.

Kondisi ini juga yang menyebabkan tidak mudah bagi korban KDRT untuk segera lepas dari pernikahan toksik. Bertahun-tahun mereka ditekan, dikungkung, diabaikan perasaannya, pemikirannya, dan pergerakannya. Mereka juga dibuat tak berdaya secara ekonomi, sehingga mereka merasa terikat dan takut untuk lepas. Sehingga, ketika pelaku KDRT melakukan gimmick dan melepaskan janji akan berubah, korban KDRT memilih untuk percaya.

Sesungguhnya, jika kita memutuskan bertahan dalam pernikahan dengan KDRT, kita mengancam jiwa kita dan anak keturunan kita. Kalaupun selamat, kita meninggalkan trauma dan luka pada jiwa anak-anak kita, yang bisa berdampak pada keturunan selanjutnya. Kita akan memberikan contoh pernikahan yang tidak sehat, yang akan tertanam di dalam benak anak-anak. Sehingga, di masa depan, pernikahan seperti itu jugalah yang dianggap pantas bagi anak-anak kita.

Anak-anak akan mencontoh diamnya ibunya ketika diinjak-injak pasangannya. Akan tertanam dalam pikiran mereka, seperti itulah hubungan suami istri yang seharusnya. Dan mereka akan cenderung memilih laki-laki yang memiliki karakter toksik yang berpotensi melakukan KDRT dalam pernikahan, karena itulah yang mereka lihat seumur hidup mereka dalam pernikahan orang tuanya.

Selain itu, bertahan dalam pernikahan KDRT karena anak juga akan meninggalkan rasa bersalah dalam diri mereka. Mereka akan dirundung rasa bersalah, karena merekalah ibunya mengalami kekerasan dalam pernikahan, karena merekalah ibunya tidak pernah merasa bahagia. Dan, segala trauma dan luka batin ini, bila tidak disembuhkan, akan menurun kepada anak-anak mereka di masa depan.

Karena itu, KDRT adalah kejahatan. Ia bukan sekadar aib atau ujian rumah tangga yang masih bisa didiskusikan. Kerusakan yang ditimbulkannya terlalu dalam dan luas dampaknya. Maka, sebisa mungkin, keluarlah dari pernikahan semacam itu. Jika kita sungguh-sungguh mencintai anak-anak kita, bukan pernikahan sakit semacam itu yang harus kita jadikan teladan untuk mereka.

Mereka berhak bahagia dengan melihat orang tuanya bahagia dan sehat secara mental. Hanya pernikahan sehat yang melibatkan orang tua yang jiwanya sehatlah yang pantas dipersembahkan kepada anak keturunan kita.

Visits: 73

Lisa Aviatun Nahar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *