pakaian takwa syar'i islami

Pakaian Takwa

Pakaian Takwa

Sejak beberapa tahun kebelakang, nuansa keagamaan kita tengah diramaikan oleh suatu branding yaitu “hijrah”.

Istilah yang kemudian ramai diperbincangkan itu merupakan polarisasi dari ‘spirit migrasi pola-laku duniawi kepada syari’ati, karenanya maka figur-figur yang dimunculkan adalah mereka yang berasal dari kalangan artis dan juga musisi, yang secara ‘kodrati’ pola hidup mereka dipandang sebagai simbol dari kemegahan dan kesenangan duniawi.

Singkat cerita, “sounding” hijrah itupun menjadi sesuatu yang cukup digandrungi dan ramai orang kemudian mengikuti, mulai dari akar rumput sampai dengan akademisi.

Yang paling nampak lagi masif terlihat dari fenomena tersebut ialah ikut meningkatnya ‘trend berbusana muslim’ yang kemudian dianggap sebagai ‘nyunah’ (sundanisasi kata sunnah).

Dalam salah satu majelis, penulis menjadi saksi bagaimana kerasnya penekanan untuk ‘berpakaian sunnah’ tersebut.

Mengutip kata-kata yang terlontar dari seorang mudaris katanya;

“Gak ada sunahnya itu pakai batik, pakaian seorang muslim ya seperti ini dan ini yang dicontohkan oleh Nabi”. Terdengar lantang suaranya, yang kebetulan menggenggam mic mesjid.

pakaian takwa

Memunculkan pertanyaan kemudian, benarkah Islam demikian menekankan penganutnya untuk menggunakan pakaian model tertentu sebagai bukti dari keimanannya? Celana cingkrang, jubah daster itukah pakaian ketakwaan? Lantas bagaimana pula keislaman mereka yang lebih nyaman mengenakan pakaian umum, batik, kemeja dan sebagainya?

Untuk menanggapi hal tersebut, satu riwayat hadits yang berasal dari Abu Hurairah ra ini nampaknya cukup untuk meluruskan kekeliruan tersebut, dikatakan bahwa Nabi Karim Muhammad Saw pernah bersabda;

“Allah Ta’ala tidak memandang kepada rupamu dan harta bendamu, akan tetapi Dia melihat kepada kalbumu dan amalmu.” (HR. Muslim)

Dari sabda yang singkat itu, Rasulullah Saw memberikan suatu pengajaran yang demikian mendalam kepada kita tentang bagaimana Allah Ta’ala memandang martabat seorang hamba.

Bahwa kebaikan dalam pandangan Tuhan itu bukan berdasar pada tampilan-tampilan (luar) jasmani dengan segala kemegahan yang seseorang miliki, tapi Allah melihat lebih pada kesucian hati dan kebaikan amal.

Tentang cara berpakaian seorang hamba, sejauh itu memenuhi tuntutan-tuntutan aurat yang sudah ditentukan Syariat, maka hal itu sah-sah saja.

Batik atau kemeja yang anda kenakan, jubah, gamis atau koko yang anda pakai, tidak lantas menentukan tinggi rendahnya derajat anda di pandangan Tuhan. Tidakkah Abu Jahal pun berpakaian sama saat ia memusuhi dan menentang Rasulullah Saw?

Karena itu ketimbang membangga-banggakan trend busana tertentu, seharusnya setiap Muslim selalu berupaya untuk memperbaiki hati dan amalnya masing-masing.

 

Visits: 157

Muballigh at JAI | Website

Seorang Penulis, Muballigh dan pemerhati sosial. Tinggal di Pulau Tidung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *