Reward Kejujuran adalah Kepercayaan

Pada suatu malam, Amirul Mukminin, Umar bin Khattab ra. berjalan menyusuri jalan-jalan dan lorong-lorong kota Madinah. Beliau mengamati setiap rumah dengan seksama, kalau-kalau ada penghuninya yang kelaparan, kesakitan, atau membutuhkan bantuan.

Ketika lelah mulai terasa, beliau pun menyandarkan punggungnya pada dinding sebuah rumah kecil untuk beristirahat. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita tua dari balik rumah yang tengah berbicara dengan anak gadisnya mengenai susu kambing yang akan mereka jual esok hari.

“Nak, campur saja susu itu dengan air!” perintah sang ibu kepada anaknya.

“Tidak boleh, Bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu dengan air,” gadis tersebut menolak permintaan ibundanya dengan lembut.

“Tetapi banyak penjual yang berbuat curang seperti itu, Nak. Toh Amirul Mukminin tidak melihat apa yang kita perbuat,” kilah sang ibu.

“Bu, meskipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, tetapi Rabb Amirul Mukminin pasti memperhatikan kita. Akankah kita taat kepada Amirul Mukminin hanya di depannya lalu membangkang tatkala sendirian?” jawab sang anak mantap.

Mendengar ucapan sang gadis tadi, Amirul Mukminin sangat gembira hingga berderailah air matanya. Beliau sangat kagum dengan keimanan dan kejujurannya.

Tatkala azan subuh berkumandang, beliau bergegas bangkit untuk salat fajar bersama para sahabat. Lantas, beliau segera pulang dan memanggil putranya yang bernama ‘Ashim. Beliau menyuruh anak bujangnya tersebut untuk menggali informasi mengenai jati diri sang gadis penjual susu dan melamarnya untuk menjadi istri. Umar bin Khattab ra. berfirasat, “Aku melihat bahwa ia akan mendatangkan keberkahan untukmu suatu saat nanti. Mudah-mudahan ia melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat!”

Terbuktilah ucapan Umar bin Khattab. ‘Ashim dan istrinya pun dikaruniai seorang putri yang bernama Laila. Tatkala beranjak dewasa, Laila dipersunting oleh ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan. Lantas, dari pernikahan keduanya, lahirlah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Kelak, beliau diangkat sebagai khalifah pada masa Bani Umayyah dan sangat terkenal dengan keadilan dan kebijaksanaannya. [1]

Kisah di atas mengajarkan kepada kita bahwa kejujuran, integritas, dan akhlak mulia adalah kualitas yang harus dipertahankan dalam kehidupan kita sehari-hari. Meskipun kadang-kadang kita dihadapkan pada godaan untuk memilih jalan yang lebih mudah namun tidak benar. Dan tak kalah penting, kisah di atas juga mengajarkan bahwa setiap perbuatan kita, sekecil apapun itu, selalu diawasi oleh Allah, yang lebih utama dari segala penilaian manusia.

Dalam Islam, bersikap jujur adalah bagian dari akhlak yang mulia dan merupakan tanda keimanan sejati. Kejujuran merupakan salah satu nilai tertinggi dan terbaik dalam setiap nilai kebajikan di dunia. Islam menempatkan kejujuran pada posisi yang tinggi.

Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” [2] Ayat ini menegaskan pentingnya berbicara jujur sebagai bagian dari ketakwaan. Kejujuran bukan hanya dituntut dalam ucapan, tetapi juga dalam setiap tindakan yang kita lakukan.

Rasulullah saw. juga memberikan contoh yang sempurna tentang kejujuran. Dalam sebuah hadits beliau bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu membawa pada kebaikan dan kebaikan itu membawa kepada surga. Seseorang yang selalu berkata jujur dan berusaha untuk jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur.” [3]

Hadits ini menunjukkan bahwa kejujuran adalah jalan menuju kebaikan dan keberkahan di dunia dan di akhirat. Setiap manusia hendaknya menghiasi diri dengan sifat jujur. Orang yang bersifat jujur akan mudah mendapatkan kepercayaan orang lain. Hal ini dikarenakan mereka akan merasa aman ketika memberi kepercayaan kepada orang yang jujur.

Harry Slyman, seorang bijak pernah berkata bahwa “Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di seluruh dunia. Nilainya tetap dan tidak pernah fluktuatif. Gunakan dalam setiap transaksi kehidupan agar anda mendapat point reward berupa kepercayaan.”

Kepercayaan itu sangat mahal karena kita tidak bisa memaksa orang lain untuk mempercayai kita, sebab kepercayaan terlahir dari kejujuran yang kita tampilkan.

Referensi:
[1] Kisah Wanita Teladan, Abdullah Haidir, Kantor Dakwah Sulay, cet. ketiga, 1433 H, Riyadh, hal. 12-13
[2] QS. Al-Ahzab 33: 70
[3] HR. Bukhari dan Muslim

Editor: Erah Sahiba

Visits: 65

Halima Ahmad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *