Menjaga Lisan dari Mencela Makanan

Waktu kecil saya selalu menemani ibu memasak, dia selalu menceritakan kisah yang sama. Anehnya, meski selalu diulang, tetapi antusias saya sama seperti pertama kali mendengarnya.

“Dulu, waktu Ibu masih kecil sering berdiam diri di masjid. Makanya nggak heran bila dekat dengan istri mubaligh. Ketika Ibu masakin keluarga Bapak Mubaligh (yang saat itu sedang bertugas di sana) nasi liwet, karena masih sangat kecil jadi belum tahu patokan pasti matangnya nasi liwet,” tuturnya sambil membalikkan ikan di wajan.

“Ibu angkat aja nasi liwet itu karena airnya sudah habis lalu menghidangkannya di meja. Ibu senang sekali karena beliau dan istrinya terlihat sangat menikmati. Bahkan, istrinya berkali-kali mengatakan kalau nasi liwet buatan Ibu enak,” sambung ibuku. 

Ibu mengangkat ikan dari wajan dan memindahkannya ke serok, lalu ia melanjutkan ceritanya, “Ibu telat makannya, tapi Ibu lupa karena apa. Nah, begitu Ibu makan, nasinya masih aron, tidak keras sih tapi ada bunyi ‘kres’ dari bagian dalam nasinya yang sedikit mengganggu. Ibu keheranan mengapa beliau beserta istri bisa menikmatinya, bahkan sampai nambah.” 

“Setelah selesai makan, Ibu minta maaf karena nasi liwetnya belum matang. Tapi, beliau dan istrinya malah jawab, ‘Kenapa minta maaf? Ini enak sekali, bumbunya pas. Malah enak ini nasinya jadi ada sensasi krispi. Saya sampai pengin nambah terus ini.'” Ibu tertawa, sorot matanya menggambarkan betapa ia merasa dihargai.

“Ibu selalu mendo’akan kebahagiaan mereka (Pak Mubaligh dan istrinya), di mana pun mereka ditugaskan. Ibu selalu minta sama Allah agar mereka dikelilingi orang-orang baik,” Ibu mengakhiri ceritanya.

Karena sejak kecil saya selalu mendengar cerita itu, kalimat demi kalimatnya tidak hanya tersimpan dalam ingatan saja melainkan menjalar hingga hati. Saya bisa menyerap rasa syukur yang Ibu pancarkan melalui senyumnya karena dipertemukan dengan orang sebaik mereka. 

Kisah Ibu menyadarkan saya bahwa kita tidak berhak mengkritik hidangan yang telah seseorang sajikan untuk kita, terlebih ketika sedang berada dalam sebuah acara. Entah dalam acara syukuran maupun pernikahan, tak jarang kita menemukan satu dua rasa yang menurut kita tak sesuai pada makanannya. Padahal, dari satu hidangan saja entah berapa peluh yang bercucuran dari tim dapur untuk memberikan para tamu rasa kenyang.

Jika saja dulu mereka mengkritik masakan Ibu secara kasar, mungkin, Ibu dan anak-anaknya juga akan berlaku demikian. Karena kisah yang akan Ibu ceritakan tentu bertolak belakang dengan yang sekarang.

Tidak mencela makanan merupakan adab yang seyogyanya seorang Muslim miliki, karena mengkritik masakan seseorang bukan hanya akan melukai perasaan si pemberi, namun juga tanda bahwa kita tidak mensyukuri nikmat (kemudahan mendapatkan makanan) yang Allah karuniakan.

Mungkin mereka hanya menyadari bahwa mereka telah berbuat baik pada satu orang saja. Kenyataannya kebaikan mereka telah menjadi rantai panjang karena selalu Ibu kaitkan pada banyak orang. 

Semoga kebaikan lisan Bapak Mubaligh dan istrinya tersebut dapat kita terapkan pada sikap kita. Karena ternyata, dalam shahih Bukhari, Rasulullah saw. pun telah mencontohkan umatnya untuk berlaku ihsan terhadap hidangan, “Nabi saw. tidak pernah mencela makanan sekali pun. Apabila beliau berselera (suka), beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun meninggalkannya (tidak memakannya).” [*]

Sumber: 

[*] HR. Bukhari dan Muslim

Editor: Erah Sahiba

Visits: 80

Nurul Hasanah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *