Menyampaikan Kebenaran Walaupun Pahit

Salah satu amal saleh yang layak dikerjakan oleh seorang Muslim adalah menyuarakan atau menyampaikan kebenaran. Kebenaran bukan untuk disembunyikan apalagi dihilangkan, akan tetapi harus disampaikan dan bila perlu dikemukakan pada khalayak ramai. 

Dalam menyampaikan kebenaran, tentu kita akan selalu dihadapkan dengan berbagai macam reaksi. Manusia sering kali merasa berat dan sulit menerima kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu nyata terbukti, terlihat secara kasat mata dan masuk akal.

Tak hanya sulit menerima, bahkan menentang dan melawannya dengan alasan-alasan yang lebih tampak emosional dibanding rasional. Alasan-alasan yang tak didukung oleh argumentasi yang kuat, bahkan tak berdasar sama sekali. Sekadar rasa atau dugaan spekulatif yang belum terbukti atau diuji lalu disepakati bersama.

Memang menyampaikan kebenaran terkadang tidak mudah dan sering membawa resiko. Namun demikian, ia tetaplah kewajiban yang harus dilaksanakan walaupun pahit dan getir akibatnya.

Seperti yang diingatkan oleh Rasulullah saw. kepada Abu Dzar dalam sebuah hadits, “Sampaikanlah kebenaran meskipun itu pahit.” [1] Hal yang sama juga disampaikan oleh Hadhrat Umar bin Khattab ra., “Katakan yang benar meskipun pahit atau keras reaksi baliknya.”

Kisah para nabi dan rasul dalam Al-Qur’an sarat dengan gambaran yang jelas tentang sikap seperti itu. Kaum yang didatangi para utusan Allah Ta’ala, seperti kaum ‘Ad, Tsamud, Madyan, Bani Israil, dan lainnya digambarkan selalu menentang kebenaran yang disampaikan kepada mereka.

Mereka menentang dan melawan kebenaran itu dengan argumen yang bersifat emosional, bahwa apa yang selama ini mereka lakukan semata-mata karena warisan turun-temurun dari nenek moyang mereka pada masa lalu.

Padahal para nabi dan rasul sejatinya mengajak mereka berpikir jernih dan membuka hati untuk melihat tradisi yang disebut sebagai warisan nenek moyang itu lebih cermat dan kritis. Namun, bukannya menerima dengan lapang dada dan menerima kebenaran, mereka malah menyerang pribadi para nabi dengan tuduhan yang tak relevan.

Mereka menyebut para nabi sebagai orang gila, penyihir, penyair, pendusta, kerasukan makhluk gaib, dan sejenisnya. Mereka tak bisa membantah kebenaran, kemudian beralih menyerang pribadi yang ternyata juga salah.

Gagal membantah kebenaran, gagal juga menyerang pribadi yang memang dikenal sebagai sosok yang baik, saleh, dan jujur, mereka lalu beralih ke jalur kekerasan. Mereka berusaha mengusir, bahkan menyerang para nabi secara fisik.

Bahkan, ada di antaranya mereka bunuh seperti Nabi Zakariya as. dan Nabi Yahya as. Al-Qur’an menyebutkan, “Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Tanda-tanda Allah, dan berusaha membunuh para nabi-nabi tanpa hak, dan juga membunuh orang-orang yang menyuruh berbuat adil di antara manusia, maka berilah kabar gembira dengan azab yang pedih”. [2]

Sulitnya menerima kebenaran bisa disebabkan oleh banyak hal. Misalnya, kukuh mempertahankan tradisi atau pengetahuan lama tanpa sikap kritis, adanya kesombongan dalam diri dan merasa paling benar sementara yang berbeda dianggap salah, dan ada juga karena posisi sosial dan kepentingan ekonomi yang terancam. 

Sejarah atau kisah akan terus terulang dalam konteks dan zaman yang berbeda, tetapi pada hakikatnya sama bahwa kebenaran akan selalu mendapatkan penentangan. Namun demikian, kita harus tetap teguh menyampaikan kebenaran tanpa menyerah dan disertai rasa takut seraya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kekuatan dan pertolongan kepada kita dalam menyampaikan kebenaran. Aamiin.

 

Referensi :

[1] HR. Ahmad

[2] QS. Ali Imran 3: 22

Visits: 69

Halima Ahmad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *