
SYUKUR SEBAGAI KUNCI BAHAGIA
Bahagia adalah sebuah kata yang penuh makna, hak setiap manusia tanpa memandang status, pekerjaan, keadaan, perbedaan, atau dari mana kita berasal. Ketika ditanya mengenai cita-cita di masa depan, banyak orang akan menjawab ingin menjadi orang bahagia. Setiap manusia mempunyai ujiannya masing-masing, dan kebahagiaanlah yang menjadi tujuan akhir dari perjalanan hidup. Orang kaya belum tentu bahagia, begitu pula orang miskin belum tentu bersedih. Sebab, bahagia tidak diukur dari seberapa banyak yang telah dimiliki atau seberapa tinggi yang telah digapai, melainkan dari rasa syukur kepada Sang Pencipta hingga membuat kita merasa cukup dengan apa yang ada.
Sebagaimana Allah Swt. berfirman,
“Dan ketika Tuhan engkau mengumumkan, ‘Jika kamu bersyukur, pasti akan Aku limpahkan lebih banyak karunia padamu; jika kamu tidak bersyukur, maka ketahuilah sesungguhnya azab-Ku amat keras.’” (Q.S. Ibrahim: 8) [1].
Dalam tafsir ayat ini disebutkan bahwa syukr (syukur) itu terbagi menjadi tiga macam: (1) dengan hati atau pikiran, yaitu pengertian yang tepat dalam hati mengenai manfaat yang diperoleh; (2) dengan lisan, yaitu memuji, menyanjung, atau memuliakan orang yang berbuat kebaikan; dan (3) dengan anggota badan, yaitu membalas kebaikan yang diterima setimpal dengan jasa itu.
Maka salah satu wujud rasa syukur adalah membuat orang lain bahagia. Rasulullah saw. bersabda, “Termasuk (amalan) yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan ke dalam hati saudaramu.” [2]
Pada masa Rasulullah saw., ada seorang sahabat bernama Nu‘aiman bin Amr yang dikenal jenaka dan memiliki selera humor tinggi. Ia sering membuat Rasulullah saw. tertawa, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nu‘aiman akan masuk surga sambil tertawa karena sering membuat Rasulullah tertawa. Sifat ceria dan humorisnya menciptakan suasana menyenangkan di sekitar Nabi dan para sahabat.
Suatu ketika Nu‘aiman pernah menghadiahkan seekor unta kepada Rasulullah saw. Namun beberapa hari kemudian pemilik unta datang menagih pembayaran kepada beliau. Rupanya itu adalah ide kekonyolan Nu‘aiman. Rasulullah pun tertawa dan akhirnya beliau sendiri yang membayar unta tersebut. Dari kisah ini kita belajar bahwa humor yang sopan dapat menciptakan suasana nyaman dan kebahagiaan, serta menunjukkan adanya ruang kegembiraan dalam ajaran Islam.
Ali bin Abi Thalib r.a. juga pernah berkata,
“Kebahagiaan sejati adalah ketika engkau bisa membuat orang lain bahagia.” [3]
Islam dengan indah mengajarkan umatnya untuk menghadirkan kebahagiaan dalam kondisi apa pun, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Bahkan, Allah Swt. telah menciptakan empat hormon pembawa kebahagiaan yang tertanam dalam tubuh manusia dengan fungsinya masing-masing:
1. Dopamin: meningkatkan motivasi dan kepuasan.
2. Serotonin: mengatur suasana hati dan mencegah depresi.
3. Endorfin: pereda alami yang memberikan rasa senang setelah berolahraga.
4. Oksitosin: hormon cinta yang meningkatkan ikatan sosial dan kepercayaan.
Keempat hormon ini bekerja untuk menjaga keseimbangan perasaan agar hidup senantiasa dipenuhi tawa dan keceriaan. Karenanya, mari kita ciptakan kebahagiaan dengan aktivitas alami seperti berolahraga, makan makanan sehat, tidur cukup, berinteraksi sosial, bernyanyi, melukis, tertawa, berjemur, bermeditasi, hingga membantu orang lain. Semua itu memicu hormon kebahagiaan dan menghadirkan suasana hati yang cerah.
Semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk senantiasa berbahagia. Sebab sebelum membahagiakan orang lain, tentu diri sendiri lebih dahulu harus berbahagia.
Daftar Referensi
[1] Al-Qur’an. Surah Ibrahim, 14:8.
[2] At-Thabrani. Al-Mu‘jam al-Kabir, Hadits No. 13646. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah.
[3] Ali bin Abi Thalib. Nahjul Balaghah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Views: 57