HIDUP RUKUN DALAM PERBEDAAN DAN KERAGAMAN

Allah SWT. telah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan bahkan Allah SWT. telah menjadikan di antara kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kita bisa saling mengenal. [1]

Di tengah keragaman yang menimbulkan perbedaan bangsa, suku, agama, ras, dan budaya yang ada di dunia ini, sering kali hal tersebut menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Mengapa perpecahan dan perselisihan bisa terjadi di tengah-tengah perbedaan yang lahir dari keragaman?

Hal tersebut disebabkan oleh timbulnya sifat keaku-akuan dan sifat merasa lebih unggul atau sifat merasa lebih baik daripada yang lainnya. Padahal, perbedaan dan keragaman diciptakan agar kita bisa saling mengenal dan saling memahami satu sama lain serta saling mengambil pelajaran dan saling mengambil manfaat dari satu sama lain.

Untuk mengantisipasi terjadinya perpecahan dan perselisihan karena adanya suatu perbedaan, maka Allah SWT. telah menurunkan suatu ayat di dalam Al-Qur’an yang dianggap sebagai “Magna Charta” atau piagam persaudaraan dan persamaan umat manusia yaitu

“… Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada.” [2]

Sehingga, Allah SWT. telah memerintahkan kita untuk senantiasa hidup rukun di dalam perbedaan dan keragaman, karena seseorang tidak dinilai dari warna kulitnya, jumlah harta kekayaannya, kedudukan atau pangkatnya di dalam masyarakat, juga keturunan atau asal usulnya melainkan, seseorang dinilai dari akhlaknya dan bagaimana caranya dalam melaksanakan kewajibannya terhadap Tuhan dan sesama manusia. [3]

Sebagai umat manusia, kita tidak hanya dituntut untuk hidup rukun di tengah perbedaan dan keragaman bangsa, suku, ras dan budaya yang ada di dalam masyarakat saja, akan tetapi kita juga dituntut untuk senantiasa hidup rukun di tengah perbedaan dan keragaman dari keyakinan dan kepercayaan kepada Sang Maha Pencipta.

Sering kali, perbedaan dan keragaman dari cara kita dalam meyakini dan mempercayai Tuhan menjadi sebab dari terjadinya perpecahan dan perselisihan, padahal Allah SWT. sendiri telah berfirman di dalam Al-Qur’an, yaitu:

“Dan di antara manusia yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan kebenaran dan dengan itu pula mereka berbuat adil.” [4]

Menurut Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ra., ayat tersebut menjelaskan tentang pentingnya bersikap rukun dan saling menghargai di antara agama-agama, yaitu bersikap teguh dalam keimanan, saling mengingatkan dan berlaku adil tidak hanya diperintahkan dalam ajaran Islam saja melainkan di dalam ajaran agama-agama lain pun sama demikian. Sehingga, sifat itulah yang seharusnya dianut oleh para pengikut agama-agama di seluruh dunia. Menurut beliau, kedamaian antar agama tidak mungkin dapat diraih tanpa memanfaatkan asas kejembaran hati, berpikir dan berhati lapang, serta sikap penuh pengertian terhadap pengikut agama lain dalam rangka memperbaiki hubungan karena perpecahan dan perselisihan antar agama. [5]

Selain itu, Hadhrat Rasulullah saw., pun telah memberikan banyak contoh tentang bagaimana cara menghadapi perbedaan atau bisa disebut juga sebagai toleransi. Suatu ketika, utusan suku Kristen dari Najran menghadap kepada Rasulullah saw., di Madinah untuk berdiskusi tentang masalah keagamaan, di dalam rombongan itu, tentu saja ada tokoh-tokoh dari gereja. Diskusi itu diadakan di dalam sebuah masjid dan berjalan selama beberapa jam. Kemudian para utusan itu meminta izin untuk meninggalkan masjid karena akan mengadakan upacara kebaktian di suatu tempat yang tenang. Kemudian, Rasulullah saw., bersabda bahwa mereka tidak perlu meninggalkan masjid yang memang merupakan tempat khusus untuk beribadah kepada Tuhan dan mereka dapat melakukan ibadah mereka di situ (Zurqani). [6]

Masyaallah, Hadhrat Rasulullah saw., saja memberikan contoh yang bijaksana dalam menghadapi perbedaan, lantas mengapa kita harus terpecah belah, berselisih, hingga mengusir seseorang yang hendak beribadah hanya karena cara kita dalam meyakini dan mempercayai Tuhan berbeda? Bahkan ada yang sampai mengusir seseorang dari tempat ibadah miliknya sendiri hanya karena cara beribadah orang itu lakukan dianggap berbeda dan tidak seragam. Padahal, segala urusan hanya akan dikembalikan kepada Allah SWT. semata.

Ada sebuah kutipan dari Presiden Republik Indonesia keempat yakni Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, beliau bahkan dikenal sebagai Bapak Pluralisme yang menjunjung tinggi keragaman dari berbagai macam hal terutama dari segi suku, ras, dan agama, yakni menurut beliau,

“Bangsa yang besar bukan bangsa yang seragam, tapi bangsa yang bisa hidup rukun dalam perbedaan.”

Maka dari itu, jadikanlah sebuah perbedaan dan keragaman sebagai ajang untuk saling mengenal dan saling memahami satu sama lain serta saling mengambil pelajaran dan saling mengambil manfaat dari satu sama lain bukan menjadi ajang siapa yang merasa paling unggul atau merasa paling baik hingga timbul perpecahan dan perselisihan.

Referensi:

[1] QS. Al-Hujurat 49: 13
[2] QS. Al-Hujurat 49: 13
[3] Tafsir Shaghir QS. Al-Hujurat 49: 13
[4] QS. Al-A’raf 7:180
[5] Islam dan Isyu Kontemporer, hal. 24
[6] Riwayat Rasulullah saw., hal. 278

Views: 13

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *