JANGAN MENILAI ISI BUKU DARI SAMPULNYA
Di sekitar rumah saya, ada beberapa warung yang pemiliknya berasal dari suku yang beragam. Mereka juga menganut agama yang berbeda-beda. Saya terbiasa berbelanja bergantian di warung-warung tersebut.
Sayangnya, masih ada tetangga yang mempersoalkan latar belakang pemilik warung. Di kampung ini memang diskriminasi masih sering terjadi. Urusan berbelanja pun banyak yang menyarankan untuk membeli di warung milik pribumi saja. Kalimat bernada sindiran pun sering terlontar, membuat para pemilik warung yang dituju merasa tidak nyaman.
Saya sendiri pun pernah mengalami, ada tetangga yang menegur saya saat berbelanja di warung milik orang non-Muslim.
Sungguh sangat disayangkan, sikap membeda-bedakan itu tentunya bertentangan dengan prinsip kebersamaan. Usaha perdagangan bebas dilakukan siapa saja, transaksi jual beli pun seharusnya tidak memandang suku atau agama.
Itu hanyalah salah satu contoh kecil diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. Masih banyak kejadian-kejadian yang menunjukkan intoleransi.
Setiap manusia lahir di dunia ini dalam keadaan berbeda-beda suku, adat, dan keyakinan. Ini adalah gambaran rencana Allah Ta’ala agar manusia belajar tentang arti toleransi, empati, dan kebijaksanaan. Namun, pada kenyataannya masih banyak yang menjadikan agama sebagai alasan untuk memisahkan diri dari sesama. Masih banyak pula yang enggan bergaul dengan suku tertentu.
Tiap orang tidak bisa memilih di mana dan dari keluarga mana ia dilahirkan. Seseorang tumbuh dan mengenal agama dan budaya tertentu karena lingkungan yang membentuknya. Maka, menilai seseorang dari agama, suku, atau dari status sosialnya saja, sama saja seperti menilai isi buku hanya dari sampulnya.
Agama apa pun selalu mengajarkan nilai-nilai universal: kasih sayang, kejujuran, keadilan, dan kepedulian. Setiap ajaran suci mengingatkan manusia untuk berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Jika kita benar-benar memahami makna itu, tentu kita tidak akan memandang rendah keyakinan orang lain. Sebab yang membedakan manusia di mata Tuhan bukanlah nama agamanya, melainkan amal perbuatan yang kita lakukan. Sejalan dengan ungkapan yang disampaikan Ustadz Quraish Shihab, “Jangan sibuk menilai orang lain dari agamanya, sukunya, atau bajunya. Nilailah dari akhlaknya.” [1]
Menghormati agama orang lain bukan berarti mengurangi keyakinan terhadap agama yang kita anut. Justru sebaliknya, semakin kita menghormati perbedaan, semakin kuat pula keimanan kita. Karena hanya orang yang yakin dengan keyakinannya sendiri yang mampu menghargai pilihan orang lain tanpa merasa terancam. Toleransi mengajarkan kita untuk hidup berdampingan dengan damai di tengah keberagaman.
Allah berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan; dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada.” [2]
Mari kita jadikan perbedaan menjadi unsur-unsur kekuatan. Sebuah rumah dibuat dari berbagai material. Kayu dan batu bersatu, paku kecil pun memiliki andil. Begitu pula dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara, bila setiap orang saling mendukung dan mengisi kekosongan, maka yang kita dapatkan adalah sebuah kekuatan besar.
Referensi:
Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah, Vol. 12. Penulis: M. Quraish Shihab. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
QS. Al-Hujurat, 49:13.
Views: 17
