
Amalan dengan Nilai Tertinggi
Pada kehidupan moderen seperti sekarang ini, sangatlah penting untuk kita supaya mampu menanamkan pengendalian diri dalam bersikap, serta mampu menjaga lisan dari perkataan buruk. Sebab, sering kali dalam beberapa kejadian, orang seenaknya menuduh sesama tanpa dasar yang cukup, lalu terjadilah kekeliruan.
Kekeliruan pun bisa dipicu oleh adanya suatu perbedaan dalam berpikir. Sehingga, Islam juga melarang perbuatan yang menyebabkan orang lain salah paham seperti halnya bertengkar, berdebat, perbuatan fitnah, dan khianat yang sangat jelas akan menjauhkan rasa persaudaraan serta perdamaian dan akan menjauhkan orang-orang semacam itu atas rahmat-Nya.
Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an, “Berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, jangan bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu mendapat petunjuk.” [1]
Dengan demikian, jagalah dan perbaikilah hubungan antarsesama. Jangan membiarkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya. Serta dapat pula mencegah terjadinya kekeliruan, dengan diperlukannya upaya mencari tahu dari setiap kabar tentang kebenarannya secara lengkap. Berupaya untuk melakukan tabbayun tatkala menerima setiap kabar yang belum jelas kebenarannya. Dengan cara ini, maka segala macam kekeliruan tidak akan terjadi, serta hubungan antar sesama pun akan tetap terjaga dengan baik.
Selanjutnya takutlah akan hal-hal buruk yang akan menimpamu sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut, “Barang siapa yang melakukan kedzaliman kepada saudaranya, baik yang berkenaan dengan kehormatannya atau pun sesuatu yang lain, maka hendaklah meminta kehalalannya pada hari ini, sebelum datang suatu hari di mana tidak ada (lagi gunanya) dinar dan dirham. Jika dia mempunyai amal shalih, diambillah dari amal shalihnya itu sesuai kadar kedzalimannya. Sedang jika ia tidak mempunyai kebaikan sama sekali, maka diambillah keburukan-keburukan dari orang yang ia dzalimi kemudian dibebankan kepadanya.” [2]
Merujuk kepada hadits tersebut dikisahkan, pada suatu hari Rasulullah saw. sedang berkumpul dengan para sahabatnya. Di tengah perbincangan dengan para sahabat, tiba-tiba Rasulullah saw. tertawa ringan sampai terlihat gigi depannya. Umar bin Khatthab ra. yang berada di situ, bertanya: “Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. menjawab, “Aku diberitahu malaikat, bahwa pada hari kiamat nanti, ada dua orang yang duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala di hadapan Allah SWT.”
Salah seorang mengadu kepada Allah sambil berkata, ‘Ya Rabb, ambilkan kebaikan dari orang ini untukku karena dulu ia pernah berbuat zalim kepadaku’.
Allah SWT berfirman, “Bagaimana mungkin Aku mengambil kebaikan saudaramu ini, karena tidak ada kebaikan di dalam dirinya sedikit pun?”
Orang itu berkata, “Ya Rabb, kalau begitu, biarlah dosa-dosaku dipikul olehnya.”
Rasulullah saw. tidak mampu menahan tetesan air matanya. Beliau pun menangis. Lalu, Rasulullah saw. berkata, “Hari itu adalah hari yang begitu mencekam, di mana setiap manusia ingin agar ada orang lain yang memikul dosa-dosanya.”
Rasulullah saw. melanjutkan kisahnya. Lalu Allah SWT. berkata kepada orang yang mengadu tadi, “Sekarang angkat kepalamu.”
Orang itu mengangkat kepalanya, lalu ia berkata, “Ya Rabb, aku melihat di depanku ada istana-istana yang terbuat dari emas, dengan puri dan singgasananya yang terbuat dari emas dan perak bertatahkan intan berlian. Istana-istana itu untuk Nabi yang mana, ya Rabb? Untuk orang Shiddiq yang mana, ya Rabb? Untuk Syuhada yang mana, ya Rabb?”
Allah SWT. berfirman, “Istana itu di berikan kepada orang yang mampu membayar harganya.”
Orang itu berkata, “Siapakah yang mampu membayar harganya, ya Rabb?”
Allah SWT. berfirman, “Engkau pun mampu membayar harganya.”
Orang itu terheran-heran, sambil berkata, “Dengan cara apa aku membayarnya, ya Rabb?”
Allah SWT. berfirman, “Caranya, engkau maafkan saudaramu yang duduk di sebelahmu, yang kau adukan kezalimannya kepada-Ku.”
Orang itu berkata, “Ya Rabb, kini aku memaafkannya.”
Allah SWT. berfirman, “Kalau begitu, gandeng tangan saudaramu itu, dan ajak ia masuk surga bersamamu.”
Setelah menceritakan kisah itu, Rasulullah saw. berkata: “Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya kalian SALING BERDAMAI dan MEMAAFkan. Sesungguhnya Allah SWT. mendamaikan persoalan yang terjadi di antara kaum muslimin.” [3]
Dari kisah ini, semoga akan menjadi suatu pengingat bagi diri kita bahwa, sebaik-baik amalan hati yang nilainya teramat tinggi di hadapan Allah SWT. ialah meminta maaf, memberi maaf, dan saling memaafkan.
Referensi:
[1] QS. Ali Imran 3: 104
[2] HR. Bukhari
[3] https://www.ngopibareng.id/read/ketika-rasulullah-tertawa-kisah-indah-persaudaraan-dalam-islam
Visits: 94