Belajar dan Berkembang Bersama Anak di Era Society 5.0

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT. dengan jelas mengingatkan kita tentang pentingnya berbuat baik kepada orangtua, terutama pada saat mereka telah memasuki usia lanjut. Salah satu ayat yang sangat menggugah hati adalah: “Dan Tuhan engkau telah memerintahkan supaya engkau jangan menyembah selain kepada-Nya, dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak. Jika salah seorang dari mereka atau kedua-duanya mencapai usia lanjut dalam kehidupan engkau, maka janganlah engkau mengatakan “ah” terhadap keduanya dan janganlah engkau hardik keduanya, dan berkatalah kepada keduanya de-ngan perkataan yang baik.” [1]

Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya memperlakukan orangtua dengan penuh kasih sayang, penghormatan, dan kesabaran, terutama pada saat-saat mereka membutuhkan perhatian lebih. Namun, ajaran ini tidak hanya berlaku bagi anak kepada orangtua, tetapi juga untuk orangtua dalam mendidik dan membimbing anak-anak mereka dengan akhlak yang baik. Sebab, perilaku orangtua memiliki dampak yang besar terhadap sikap dan perilaku anak.

Pendidikan orang tua adalah pendidikan anak pertama kali sejak dalam kandungan hingga akhir hayat. Anak dibentuk bergantung bagaimana cara orang tua mendidiknya. Tatkala kita mendapati anak-anak kita tumbuh tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, kita cenderung memarahi dan menyalahkan anak atas kesalahan mereka. Tapi hal yang paling penting untuk dilakukan adalah apa dan bagaimana hal itu dapat terjadi?

Saat ini, zaman sudah menunjukkan kemajuan yang pesat. Setiap zaman menghasilkan karakteristik manusia yang berbeda. Kita mengenal istilah pengklasifikasian manusia berdasarkan tahun kelahirannya. Saat ini dunia mendapati 7 jenis generasi, yaitu:

– The Builders (Lahir <1946)

– Baby Boomers (Lahir 1946-1964)

– Generasi X (Lahir 1965-1980)

– Generasi Y atau Milenial (Lahir 1981-1996)

– Generasi Z (Lahir 1997-2012)

– Generasi alpha (Lahir 2013-2014)

Dan, saat ini di Tahun 2025 generasi manusia baru akan lahir sebagai Generasi Beta.

Perubahan zaman yang pesat ini membawa perkembangan yang berbeda pula untuk anak. Namun sebenarnya, tugas perkembangan adalah tugas bagi seluruh makhluk Allah yang berakal. Perkembangan bukan hanya terjadi pada anak. Namun sebagai orang dewasa yang bertugas membimbing anak dan keturunan kita pun harus berkembang. Bagaimana kita bisa memutuskan hal itu benar atau salah pada anak apabila kita tidak memahami dunia anak yang sedang berjalan saat ini.

Kita tidak bisa lagi membicarakan perbedaan anak jaman sekarang dengan zaman dahulu. Orang dewasa selalu terjebak dengan pengalaman dan prinsip yang ditanamkan dari orang tuanya di zaman dahulu. Bukan tidak mungkin, kita bisa mengambil pembelajaran dari Al-Qur’an, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?” [2]

Dari ayat ini kita mengetahui bahwa manusia cenderung mengikuti apa yang telah diajarkan orang tuanya di zaman dahulu. Sedangkan ilmu dan petunjuk Allah terbuka lebar dan terjadi terus-menerus di sepanjang zaman. Hal ini menunjukkan bahwa hendaknya umat Muslim selalu membuka pola pikir dan memberi kesempatan kepada ilmu baru untuk datang saat ini. Hendaknya orang dewasa juga memberikan ruang bagi dirinya untuk berkembang dalam perkembangan ilmu. Sebab Allah ta’ala menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga ia dapat meningkatkan kapasitas dirinya tidak terbatas pada usia atau gender. Pertanyaannya adalah maukah kita berubah dan berkembang?

Dan Allah Ta’ala pun akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Sebelum merubah seseorang, mulailah dari diri sendiri. Alih-alih merubah anak secara paksa dengan nasihat-nasihat, mulailah mempertanyakan apa sebabnya anak kita tersayang bersikap seperti itu. Termasuk terhadap anak, hendaknya kita tidak bersikap seolah-olah paling benar hanya karena menyandang title orang tua.

Terdapat penelitian dari I-NAMHS (2022) menunjukkan bahwa sebanyak 5,5% remaja Indonesia terdiagnosis gangguan mental. Namun dalam penelitian tersebut, hal yang menarik perhatian adalah adanya persepsi orang tua yang merasa anak mereka tidak butuh bantuan kesehatan mental, dan sebanyak 16,7% orang tua mengaku bahwa kebutuhan anak mereka sudah terpenuhi. Dalam penelitian ini kita harus melakukan refleksi diri apakah perasaan yang diterima anak dari perlakuan orangtua sejalan dengan niat orangtua saat menyampaikannya. Jika tidak anak akan merasa terasing dan mungkin cenderung untuk menutup diri. [3]

Perbedaan pemikiran antara orangtua dan anak harus disikapi dengan bijak. Jadilah pendengar yang baik untuk anak, dengarkan pendapat mereka, bersikaplah objektif, berilah kepercayaan pada anak untuk keputusan dalam hidupnya, hormati perbedaan nilai dan pandangan sekalipun dengan anak. Dengan demikian, anak akan merasa dihargai dan posisinya sebagai anak bukanlah seseorang yang hanya harus menurut pada orangtua. Bersama-sama ayah, ibu, adik,dan kakak, semua anggota keluarga terus belajar, saling memahami, saling membangun dan menciptakan keluarga Muslim yang unggul di Era Society 5.0.

Referensi :
[1] QS. Bani Israil 17: 24
[2] QS. Al-Baqarah 2: 171
[3] I-NAMHS. (2022). National Survey Report. Center for Reproductive Health, 1–14. http://scioteca.caf.com/bitstream/handle/123456789/1091/RED2017-Eng-8ene.pdf?sequence=12&isAllowed=y%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.regsciurbeco.2008.06.005%0Ahttps://www.researchgate.net/publication/305320484_SISTEM_PEMBETUNGAN_TERPUSAT_STRATEGI_MELESTARI Anak

Visits: 47

Parwiin Salma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *