
Belajar dari Musibah
Ketika ada sebuah musibah yang menimpa diri, kita seringkali menjebak diri sendiri dengan asumsi bahwa kita adalah korban dan orang lain adalah pelaku kejahatan. Kita menolak mengintrospeksi bahwa setiap kejadian buruk bisa terjadi karena tangan-tangan kita sendiri. Sehingga, seharusnya, sebelum menyalahkan orang lain, justru diri sendirilah yang dievaluasi. Ada salah apa dari diri kita sehingga musibah itu terjadi?
Standar salah dan benar di pandangan Allah tidak pernah subjektif. Di pandangan-Nya selalu objektif. Dan sebelum bisa mendapat penilaian objektif dari-Nya, yang paling utama dilakukan lebih dulu justru adalah menyalahkan diri. Dengan menyalahkan diri sendiri, memohon ampun dari Allah Ta’ala, kita justru menarik belas kasih-Nya. Dan belas kasih-Nya akan menyertai juga karunia-karunia lainnya yang mampu meningkatkan keimanan kita dan perbaikan segala amalan diri kita.
Hadhrat Masih Mau’ud as. pernah bersabda, “Sebenarnya, hukuman yang didapat karena berkata jujur bukanlah disebabkan karena kejujurannya itu melainkan hukuman yang dia dapatkan itu disebabkan oleh sebagian kejahatan lainnya yang tersembunyi, dan merupakan hukuman atas kedustaan yang lain. Allah Ta’ala memiliki rangkaian catatan keburukan dan kejahatan-kejahatan mereka. Disebabkan mereka memiliki banyak sekali dosa-dosa yang dari antaranya membuat mereka mendapatkan hukuman.” [1]
Di sini bisa kita lihat, bila kita tetap mendapatkan musibah atau hukuman, meski kita sudah melakukan hal-hal yang benar, maka musibah atau hukuman itu sesungguhnya adalah untuk meluruhkan dosa-dosa kita yang lainnya, yang tersembunyi, yang mungkin kita sendiri tidak menyadarinya. Dan ini selaras dengan firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an. “Sesungguhnya Allah tidak berbuat aniaya terhadap manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri.” [2]
Perbuatan baik yang tulus dan bersih dari segala noda dosa dan ketidaklurusan tidak akan mungkin diganjar hukuman oleh Allah Ta’ala. Hadhrat Masih Mau’ud as. sendiri yang menyampaikan bahwa, “Orang yang menempuh kejujuran tidak akan mungkin terhina karena dia berada dalam lindungan Allah Ta’ala, dan tidak ada benteng atau pagar besi yang lebih aman daripada perlindungan Tuhan. Namun perkataan yang tidak lengkap tidak akan dapat memberikan manfaat.” [3]
Tapi, amalan yang tidak lengkap, kejujuran yang masih bopeng di sana sini dengan dosa dan keburukan lainnya, itulah yang akhirnya menarik hukuman dari Allah Ta’ala. Sebagaimana beliau as. menyampaikan, “…sebelum ada kelengkapan dalam amalan maka buah dan hasil yang seyogyanya didapat tidak akan diraih. Amalan yang tidak lengkap tidak akan dapat membahagiakan Allah Ta’ala dan tidak juga akan berberkat. Janji Allah Ta’ala adalah, “Jika kalian beramal sesuai dengan kehendak Ku maka Aku akan menurunkan keberkatan.”” [4]
Kita selalu bisa belajar dari musibah, apapun bentuk musibah itu. Namun, belajar yang paling utama dan pertama adalah introspeksi diri, evaluasi diri. Terus latih diri, sesulit apapun dan selama apapun yang dibutuhkan, untuk selalu mengutamakan dan mendahulukan introspeksi diri dalam setiap kejadian buruk yang menimpa kita. Apapun yang orang lain lakukan kepada kita, dia bisa jadi hanya perpanjangan tangan Allah Ta’ala dalam menegur atau bahkan menghukum kita, dan dia pun berurusan langsung dengan Allah Ta’ala.
Apa yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita belajar dari segala yang terjadi dan meresponnya dengan kebijaksanaan. InsyaAllah, dengan karunia-Nya, kita akan senantiasa bisa memahami setiap kejadian dengan lapang dada dan bijaksana.
Referensi:
[1] Apa Perbedaan Ahmadi dengan Ghair Ahmadi, hlm. 26
[2] QS. Yunus 10: 45
[3] Apa Perbedaan Ahmadi dengan Ghair Ahmadi, hlm. 26-27
[4] Apa Perbedaan Ahmadi dengan Ghair Ahmadi, hlm. 27
Visits: 104