Belajar Memaafkan dari Anak-Anak

Pernah, tidak, kita melihat anak kecil, mungkin anak kita sendiri, berantem dengan temannya? Misalnya, karena berebut mainan. Atau, mungkin pernah suatu ketika anak kita mengadu kepada kita, “Bu, temen Dede nakalin Dede. Dia dorong Dede sampai terjatuh dan kaki Dede terluka.”

Saya sendiri juga pernah mengalami hal demikian. Suatu hari ketika pulang sekolah, anak saya menangis mengadukan kenakalan temannya yang mendorong dia hingga terjatuh sampai gigi depannya patah. Mengalami hal tersebut, tentu hati saya tidak terima, karena gigi patah itu tidak bisa diobati.

Adakah di antara Ibu-Ibu yang mengalami hal demikian? Terus jawaban apa yang kita sampaikan? Opsinya bisa bilang, “Iya, nggak apa-apa. Dede kuat, kan? Lain kali hati-hati kalau main sama teman, ya.” Atau, “Mulai sekarang Dede nggak usah main lagi sama temen Dede yang nakal itu! Kalau dia nakal lagi, bilang sama Ibu, nanti dia Ibu marahin!”

Kalau Ibu-Ibu yang lain bagaimana? Sebagian ibu termasuk saya mungkin akan merasa kesal atau marah ketika anak kita dinakalin. Namun, apa yang terjadi? Esok harinya kita lihat anak kita bermain lagi dengan temannya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dengan mau bermain kembali bersama temannya, walaupun tanpa terucap, dia sudah memaafkan dan melupakan luka yang telah disebabkan oleh kenakalan temannya tersebut.

Masya Allah melihat sosok si kecil (anak-anak), jika dibandingkan dengan kita orang besar/orang tua yang bisa dikatakan sosok yang sudah lebih dewasa dari anak-anak dalam pemikiran. Namun, kadang masih dijumpai orang besar yang tidak akur satu sama lain, saling mencaci maki karena tidak suka, saling dendam karena pernah mengalami luka hati, tidak mau bersilaturahmi lagi, hal itu terjadi bahkan terhadap saudaranya sendiri dan itupun sudah bertahun- tahun terjadi.

What happened with them? Tidak bisakah hal-hal sepele yang membuat perseteruan dikesampingkan? Tidak bisakah ego kita diturunkan? Bisakah pintu maaf dibukakan demi terjalinnya persaudaraan dan terciptanya perdamaian? Semua itu bisa terjadi. Coba kita lihat anak-anak, dengan mudahnya mereka memafkan temannya. Kita bisa belajar memaafkan dari mereka.

Allah Ta’ala memberikan nasehat kepada kita, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” [1]

Memafkan itu sangat luar biasa, karena memaafkan itu sama dengan memerangi hawa nafsu yang ada di dalam diri kita. Hadiah yang Allah sediakan buat kita yang bisa memaafkan orang lain sangat besar. Coba bayangkan, kita akan mendapatkan ampunan Allah dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi. Bahkan, kita akan termasuk hamba-hamba yang dicintai Allah Ta’ala. Karena apa? Karena memaafkan itu sesuatu yang berat diamalkan, apalagi kalau sudah sangat sakit hati.

Iya, memang memaafkan, sih, mudah tapi melupakan susah. Bener, nggak? Tapi perintah Allah, jika ingin mendapatkan hadiah yang luar biasa tersebut maka maafkanlah kesalahan orang lain walaupun berat.

Senada dengan hal tersebut, Hadhrat Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat).” [2]

Hadhrat Masih Mau’ud as. pun memberikan nasehat kepada kita. “Segeralah kalian berdamai satu sama lain dan maafkanlah kesalahan saudara-saudara kalian karena jahatlah orang yang tidak sudi berdamai dengan saudaranya.” [3]

Jadi setelah kita mengetahui ilmunya, marilah bersama-sama kita mengamalkan ajaran tersebut. Kita melangkah ke arah kebaikan dengan berupaya menjadi insan yang pemaaf, karena besar sekali faedahnya. Jangan sampai, kita luput dari karunia-Nya.

Referensi:
[1] QS. Al-Imran 3: 134-135
[2] HR. Muslim
[3] Bahtera Nuh, Ruhani Khazain Jilid 19, hlm. 12

Visits: 60

Lalas Sulastri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *