
BERBUAT BAIK KEPADA ORANG TUA: JALAN TERANG MENUJU RIDHA ILAHI
Setelah kepergianmu, aku menyadari bahwa hidupku sudah bukan lagi yang dulu. Kesenangan dunia terasa semu. Ada pecahan-pecahan hati yang harus kususun kembali, tapi tak lagi sempurna tanpamu. Separuh jiwaku telah hilang—seseorang yang selalu membela dan menerima baik buruk perlakuan kita, tempat bersandar dan meminta beribu doa agar diberikan kekuatan menghadapi kerasnya dunia—tak lagi kutemui. Engkaulah malaikat tak bersayap yang telah membawa separuh hatiku. Fase terdalam dalam hidupku adalah kehilanganmu. Rasa sakit yang tiba-tiba muncul itu masih kerap datang, meskipun sudah sekian tahun tanpamu. Ibu, aku rindu. Terkadang muncul rasa iri kepada mereka yang masih bisa merasakan memiliki seorang ibu—karunia terbesar dalam hidup. Hargailah dan sayangilah ia, jangan sampai terlambat menyadari bahwa kehadirannya begitu berarti.
Abu Usaid Assa’idi r.a meriwayatkan bahwa kami hadir di hadapan Hadhrat Rasulullah saw, lalu datang seorang dari Bani Salmah menanyakan,
“Ya Rasulullah saw! Sesudah wafat kedua orang tua saya, apakah ada kebaikan yang bisa saya lakukan untuk mereka?” Beliau bersabda, “Ya, kenapa tidak. Panjatkanlah doa-doa untuk mereka. Mohonkan ampunan untuk mereka, penuhilah janji yang pernah mereka buat dengan orang lain. Perlakukanlah keluarga dekat dan orang yang dicintainya dengan baik sebagaimana yang dulu mereka lakukan terhadap mereka, dan hormatilah serta muliakanlah sahabat-sahabat mereka.” [1]
Berbuat baik dan berbakti pada orang tua bukan hanya naluri atau panggilan jiwa. Sudah selayaknya kita membalas kebaikan orang tua atas semua jasa yang telah mereka berikan. Namun lebih dari itu, hal ini merupakan perintah Allah Swt,
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam hidupmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” [2]
Dalam sebuah hadits disampaikan,
“Barangsiapa yang ingin masuk surga, maka hendaklah dia berbakti kepada kedua orang tuanya.” [3]
Dalam ayat ini, pertama kali Allah Swt melarang untuk menyembah selain Dia. Dialah Tuhan yang telah menciptakan kita dan sebelum mengirim kita ke dunia, telah memperhatikan segala keperluan kita dan menyiapkannya. Kemudian dengan beribadah dan bersyukur kepada-Nya, kita dinyatakan sebagai pewaris karunia-karunia-Nya. Karunia terbesar yang Dia anugerahkan kepada kita adalah keberadaan kedua orang tua yang telah merawat kita di masa kanak-kanak, melakukan pengkhidmatan yang tak terhingga. Semalam suntuk mereka bangun memeluk kita dalam pelukan. Saat sakit dan diliputi keresahan, ibu telah melewati malam-malamnya dengan resah dan gelisah, mengorbankan tidurnya, membersihkan segala kotoran kita. Singkatnya, pengorbanan dan pelayanan apalagi yang belum dilakukan oleh ibu untuk anak-anaknya?
Karena itu, hari ini, tatkala mereka membutuhkan bantuan, janganlah berpaling. Jangan hanya sibuk dengan duniamu sendiri dan jangan sampai terjadi bahwa kamu sama sekali tak menghiraukannya. Jika mereka mengatakan suatu keperluan, jangan sampai kamu membentaknya. Ingatlah betapa ibumu menahan segala penderitaan saat melalui fase melahirkanmu. Maksud larangan berkata “ah” adalah agar kita tidak menunjukkan ketidaksabaran, bahkan jika permintaan mereka bertentangan dengan keinginan kita. Kita tetap harus berkata lembut dan hormat. Bahkan kita harus mengkhidmati mereka dengan penuh kasih sayang dan kerendahan hati, sebagaimana seorang pelayan sejati. Andaikata ada pelayanan terbesar di dunia ini, maka itulah pelayanan seorang ibu kepada anak-anaknya.
Seorang datang kepada Nabi saw dan berkata,
“Ya Rasulullah! Saya menghajikan ibu saya dengan memikul beliau dari Yaman di atas punggung saya. Saya bertawaf, bersa’i antara Shafa dan Marwa, membawa beliau ke Arafah, lalu ke Muzdalifah, dan melempar Jumrah di Mina, semua sambil memikulnya. Beliau sangat lanjut usia, tidak dapat bergerak sedikit pun. Apakah saya telah memenuhi haknya?” Beliau bersabda, “Tidak, haknya belum terlunasi.” Orang itu bertanya lagi, “Kenapa?” Beliau bersabda, “Karena saat masa kanak-kanakmu, dia telah menanggung segala penderitaan demi kamu hidup. Tapi yang kamu lakukan padanya sekarang adalah sambil mengangan-angankan kematiannya. Kamu tahu bahwa dia hanya tamu untuk beberapa hari lagi.” [4]
Pengorbanan dan pelayanan yang kita lakukan tak akan pernah mampu membalas seluruh kebaikan yang telah diberikan oleh orang tua. Banyak kebaikan yang bisa kita peroleh dengan menghormati orang tua. Hadhrat Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang menghendaki panjang umurnya dan diluaskan rezekinya, maka hendaklah dia berbuat baik kepada kedua orang tuanya dan membiasakan menjalin tali silaturahmi.” [5]
Maka, salah satu tips memperoleh rezeki adalah dengan berbuat baik dan bersilaturahmi kepada orang tua. Hadhrat Aqdas Masih Mau‘ud a.s bersabda,
“Kondisi pertama dari nasib baik seorang manusia adalah bahwa dia menghormati ibunya.” Untuk Uwais Qarni, Rasulullah saw bahkan menghadap ke arah Yaman sambil bersabda: “Aku mencium harum Tuhan dari arah Yaman.” Para sahabat meriwayatkan bahwa Rasulullah saw hanya pernah menyampaikan salam khusus kepada dua orang: Uwais Qarni dan Al-Masih. Hazrat Umar ra menjumpai Uwais Qarni dan berkata: “Saya senantiasa sibuk mengkhidmati ibu saya sampai unta-unta saya dijaga oleh malaikat.” Betapa tinggi kemuliaan orang yang tulus dalam mengkhidmati orang tuanya. [6]
Semoga Allah menganugerahi kita taufik untuk mengamalkan nasihat-nasihat tersebut. Semoga kita menjadi orang yang senantiasa taat, mengkhidmati kedua orang tua, dan menjadi hamba yang berbuat baik kepada mereka. Semoga pula Allah menjalankan kita di atas jalan keridhaan-Nya.
Referensi:
[1] Abu Dawud. Sunan Abi Dawud, Kitab al-Adab, Bab Fi Birr al-Walidain. Beirut: Dar al-Fikr.
[2] Al-Qur’an. Surah Bani Israil, 17:23–24.
[3] Al-Bukhari, Imam. Adab al-Mufrad, Hadis No. 1. Beirut: Dar Ibn Katsir.
[4] Ibn Hibban. Sahih Ibn Hibban, Bab Birr al-Walidain. Beirut: Mu’assasah al-Risalah.
[5] Al-Bukhari, Imam. Sahih al-Bukhari, No. 5985, Kitab al-Adab. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
[6] Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Diakses dari: https://ahmadiyah.id
Views: 91