
Bersyukur Mengikis Penyakit Hati
Gambaran manusia yang cinta dunia adalah dia yang terobsesi untuk memiliki segalanya. Selalu sibuk dengan berbagai pikiran, memikirkan apa saja yang belum dimiliki dan apa yang masih kurang. Hal ini tanpa sadar membuatnya kurang bersyukur atas segala nikmat Allah. Ibarat kata pepatah diberikan dua gunung emas sekalipun manusia masih akan merasa kurang.
Kebanyakan manusia tak jarang berpikir rumput tetangga lebih hijau, peribahasa ini menggambarkan penyakit hati yang selalu dianggap sepele. Kata-kata negatif yang dianggap biasa seperti, andai saja aku seperti dia, seandainya aku memiliki apa yang dia punya, semisalnya aku ada di posisinya pasti lebih bahagia.
Hal-hal yang dianggap biasa dan sepele ini, perlahan meracuni jiwa untuk berpikiran sempit. Imbasnya kita dapat menjadi peran antagonis yang menjatuhkan mental sendiri.
Dikisahkan sebuah keluarga yang selalu membuat iri para tetangga dan semua orang yang mengenalnya. Orang memanggilnya Pak Richi, karena memang saudagar yang sangat kaya raya.
Rumahnya seperti kastil kerajaan dengan luas puluhan hektar, mobilnya berderet-deret semua merk mungkin dia punya. Beruntungnya lagi beliau memiliki anak-anak yang secara akademis sangat cerdas dan sukses mereka rata-rata lulusan luar negeri.
Kehidupan Pak Richi selalu memjadi perbincangan hangat para tetangga. Mereka berseloroh, “Hidup Pak Richi bak negeri dongeng yang skenarionya dibuat serba bahagia.”
Suatu hari ada sahabat lama Pak Richi berkunjung ke rumahnya. Sang sahabat mengajak serta keluarganya. Mereka begitu takjub melihat keindahan rumah Pak Richi, bahkan untuk menampakkan kaki di lantai saja merasa sangat sungkan dan penuh kehati-hatian.
Semakin ke dalam rumah, para tamu semakin takjub dan kagum, hampir semua benda di ruangan mengkilap seperti berlapis emas. Dalam hati sang tamu berucap, “Ada ya, rumah seindah dan semegah ini di dunia? Seperti negeri khayalan!”
Pak Richi menyambut mereka dengan hangat, berbicara ke sana ke mari sambil berkelakar masa kebersamaan dengan sahabatnya. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan waktu Zuhur, sahabatnya dan keluarga berniat untuk berpamitan.
Pak Richi menawarkan agar sebaiknya salat dulu di rumah beliau, namun lagi-lagi para tamu merasa sungkan, tidak enak hati berlama-lama di rumah megah itu. Akhirnya mereka pun memutuskan pulang.
Sesampainya di pintu gerbang, sabahat Pak Richi teringat kalau dompetnya ketinggalan di dalam rumah. Sang tamu pun kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet miliknya.
Sesampainya di ruang tamu, alangkah terkejutnya sang tamu ketika melihat dompetnya sudah rusak. Warna dompetnya terkelupas serta terdapat bekas sayatan pisau di sepanjang permukaannya. Anehnya isi di dalam dompet masih utuh dan tidak terhambur.
Dengan perasaan heran, marah, dongkol sang tamu bertanya kepada Pak Richi, “Wahai Sahabatku, kenapa dompetku jadi rusak begini, penuh satatan pula. Bukankah sebelumnya dompetku masih utuh?”
Dengan tampang penuh amarah dan murka pak Richi menjawab, “Iya, dompet itu sengaja aku kasih sayatan, aku kelupas warnanya, karena aku tidak memiliki dompet seperti yang kamu punya. Isi di dalamnya tidak kusentuh, karena aku yakin, uangku jauh lebih banyak dari pada isi dalam dompetmu.”
Sambil menghela nafas dan rasa keheranan yang menyelimuti, sang tamu menimpali, “Astagfirullah, Rich! Dompetku itu tidak ada nilainya. Ibarat kata seperti debu di kakimu. Hartamu sudah sangat banyak, kamu juga memiliki anak keturunan yang membanggakan, jauh dari apa yang aku miliki, tapi kenapa hanya dompet usang begini saja menggelapkan mata hatimu? Menutup rasa syukurmu dengan semua yang kamu miliki?”
Pak Richi menjawab dengan begitu angkuh, “Ya, terserah kamu, yang pasti aku tidak memiliki apa yang lamu punya dan itu membuat hatiku tidak suka.”
Cerita di atas mengajarkan bahwa alangkah berbahaya ketika dalam diri selalu fokus memikirkan apa yang belum kita miliki. Hati menjadi gelap, menutup rasa syukur atas semua yang kita miliki. Akibatnya, pikiran negatif muncul sehingga dapat menimbulkan dosa.
Apabila membiarkan diri terus-menerus merasa kekurangan, tanpa sadar akan tumbuh bibit-bibit hasad kepada yang diberi kelebihan nikmat oleh Allah. Bukankah takaran Allah tidak pernah salah? Lantas, mengapa kita masih ragu terhadap perhitungan Allah dan tetap merasa cemas?
Allah SWT. telah memberitakan dalam Al-Qur’an, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.” [1]
Buatlah mindset bahwa skenario Allah jauh lebih indah dari rancangan hidup manusia. Apa yang sudah kita miliki saat ini dan yang tidak dimiliki, itu semua merupakan kehendak Allah untuk kebaikan manusia.
Rasulullah saw. mengajarkan kita doa setelah salat untuk selalu bersyukur, “Ya Allah, tolonglah aku agar selalu berzikir mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbagus ibadah kepada-Mu.” [2]
Mewujudkan semua keinginan mungkin akan dapat menciptakan kebahagiaan. Tetapi tidak semua yang kita inginkan akan diberikan oleh Allah. Jika kita bersyukur dan menerima pemberian Allah, maka tidak ada cela untuk hasad kepada orang lain. Lebih baik memfokuskan diri kepada apa yang bermanfaat untuk hidup.
Allah swt berfirman, “Dan ingatlah ketika Tuhan engkau mengumumkan: Jika kamu bersyukur tentulah akan Ku-limpahkan lebih banyak lagi karunia kepadamu, tetapi jika kamu mengingkarinya (tidak bersyukur), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya azab-Ku sangat keras.” [3]
Rasa syukur akan mengarahkan manusia untuk selalu berbuat kebaikan. Orang yang senantiasa bersyukur akan memandang kondisi apapun dari segi kebaikan sehingga terhindar dari dosa yang menyebabkan nikmat-Nya Allah tambahkan. Semoga Allah SWT. menjadikan kita semua orang-orang yang selalu menghargai dan mensyukuri karunia-karunia Allah SWT. Amin.
Referensi:
[1] QS. An-Nisa 4: 33
[2] HR. Abu Daud, no. 1522; HR. Ahmad, no. 2219
[3] QS. Ibrahim 14: 8
Visits: 102