Hak Asasi Terampas Melampaui Batas, Migrasi Menjadi Solusi

Masih dalam rangka Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, dilansir dari situs Persatuan Bangsa Bangsa, hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada semua manusia, tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, etnis, bahasa, agama, atau status lainnya. [1]

Pada tahun 1950 mulai diperingati secara rutin tiap tahunnya sebagai Hari Hak Asasi Manusia. Selama 76 tahun semenjak dicetuskannya deklarasi universal HAM oleh PBB (1948), nyatanya di berbagai belahan dunia ini masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM.

Salah satu bentuk pelanggaran HAM, yakni hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Terjadinya diskriminasi yang berulang antara lain: dilarang untuk mempraktikkan keyakinan atau menghadiri tempat ibadah, serangan fisik atau verbal, stigma sosial, atau undang-undang yang secara tidak adil menargetkan kelompok agama tertentu, seperti pembatasan terhadap aktivitas keagamaan atau pengakuan resmi dan lain sebagainya.

Tak hanya di Indonesia saja yang terus berulang. Kasus hak KBB yang sangat ekstrem terjadi juga pada masa khalifah Ahmadiyah yang keempat Hadhrat Mirza Tahir Ahmad rh. di Rabwah, Pakistan. Saat Jenderal Zia Ul-Haq sebagai pemimpin kekuasaan tertinggi di Pakistan, ketidakadilan dan penganiayaan kerap dilakukan terhadap Jemaat Muslim Ahmadiyah, juga kepada seluruh rakyat Pakistan. Bahkan, ia mengeluarkan undang-undang larangan dan hukuman bagi aktivitas anti-Islam dari kelompok Ahmadiyah Qadiani, kelompok Lahore, dan para Ahmadi.

Para Ahmadi yang hanya melaksanakan salat dan menaati rukun agamanya, serta tidak pernah melakukan tindakan kriminal atau anti-sosial, dipukuli oleh gerombolan dan para preman. Beberapa Ahmadi dipenjarakan bahkan dibunuh. Polisi dalam beberapa kejadian kelihatannya tidak melakukan tindakan apa pun untuk mencegah atau memeriksa kejahatan yang terjadi.

Hadhrat Khalifah menekankan para pengikutnya agar menahan diri, jangan melawan semua provokasi. Pertahankan diri, tetapi jangan menyerang penganiaya, baik secara fisik maupun dengan kata-kata. Beliau mengingatkan bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as. telah menubuatkan kalau mereka akan dianiaya dan dihina. Namun, beliau juga menubuatkan bahwa Jemaat Muslim Ahmadiyah pada akhirnya akan menang.

Undang-undang yang diberlakukan saat itu sangat mengancam keamanan jiwa Khalifah, bahkan kebebasan untuk berbicara dibungkamnya. Ke mana pun Khalifah pergi selalu diawasi atas perintah Zia.

Terhadap undang-undang itu, dunia menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Para yuris, guru-guru, diplomat, dan pengusaha Pakistan merasa sedih karena negerinya telah tenggelam ke dalam intoleransi keagamaan total dan menjadikan negeri mereka sinonim dengan rezim-rezim keji yang menindas penduduknya sendiri karena perbedaan warna kulit dan agama.

Zia telah melukai seluruh negeri. Dia menyalakan kecemburuan, menimbulkan permusuhan, memecah-belah keluarga, menghancurkan perekonomian, menyebabkan negara Pakistan kehilangan rakyat yang baik dan menodai dan menajiskan arti kata ‘damai’ yang merupakan inti dari apa yang namanya Islam.

Suatu masa, ketika Khalifah sedang melakukan pertemuan di Islamabad, para penentang Jemaat didatangkan dari provinsi North West (Barat Laut) dengan bus dan kereta. Kelompok-kelompok telah mulai berkumpul di luar rumah di mana Hadhrat Khalifah menginap. Pada saat itu beliau menerima pesan dari Zia, juga menerima pesan lain dari perwira biro intelijen, dan menasihati secara pribadi agar segera meninggalkan Islamabad. Jelas kedua pesan itu saling bertentangan, namun rupanya beliau mengetahui apa yang sedang direncanakan dan sebagai seorang yang berjiwa kesatria tidak mau terlibat dalam suatu penipuan.

Khalifah segera kembali ke Rabwah. Demi keamanan dan kelangsungan Jemaat, beliau menerima nasihat dari para amir dan penasihat bahwa beliau harus segera meninggalkan Pakistan. Dalam waktu singkat atas karunia Allah Ta’ala, akhirnya Khalifah diberikan kelancaran dan keselamatan dalam perjalanan untuk dapat bermigrasi ke London Inggris. [2]

Kisah di atas merupakan contoh nyata salah satu pelanggaran HAM yang melampaui batas. Dan, migrasi merupakan jalan untuk menjaga kebebasan beragama. Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang menghadapi penganiayaan yang ekstrem dan tidak dapat ditoleransi, migrasi ke tempat yang lebih aman di mana dapat menjalankan keyakinan dengan bebas adalah langkah yang tepat demi keselamatan dan kelangsungan iman.

Sebagaimana yang disabdakan oleh Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba., “Islam menganjurkan bahwa jika penganiayaan melampaui semua batas dan menjadi tak tertahankan, maka pada saat itu, seseorang harus meninggalkan kota atau negara dan bermigrasi ke tempat di mana dia bebas menjalankan agamanya dengan tenang.” [3]

Pernyataan tersebut menunjukkan komitmen Islam terhadap keadilan, juga menekankan pentingnya toleransi, pengertian antaragama, perlunya menjaga martabat dan perlindungan hak asasi manusia, serta pentingnya lingkungan yang mendukung kebebasan beragama.

Beliau melanjutkan bahwa, Muslim Ahmadi, percaya bahwa agama adalah masalah pribadi bagi setiap individu dan dirinya sendiri bebas untuk menentukan pilihan serta tidak boleh ada paksaan dalam hal keimanan. Dengan demikian, jika hukum diterapkan untuk mengganggu hak ini, tidak diragukan lagi, hal itu merupakan tindakan kekejaman dan penganiayaan besar.

Hukum seharusnya bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hak-hak individu, bukan untuk menindas atau menyakiti. Tindakan semacam itu mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan dan dapat mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk menjaga agar hukum diterapkan secara adil dan berkeadilan, serta memastikan bahwa setiap individu memiliki akses terhadap perlindungan hukum yang memadai.

Referensi:
[1] http://un.org
[2] Seorang Hamba Allah oleh Iain Adamson
[3] Krisis Dunia dan Jalan Menuju Perdamaian oleh Mirza Masroor Ahmad

Editor: Erah Sahiba

Visits: 43

Liana S. Syam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *