
Kekuatan yang Mampu Meraih Surga
Hari itu akhirnya tiba. Sebagai ganjaran atas kebebasannya dari status tawanan Rasulullah s.a.w dalam Perang Badar, Hazrat Abul Ash r.a yang kala itu belum memeluk Islam, diharuskan mengirimkan istrinya, Hz. Zainab r.a, yang juga adalah salah satu putri Rasulullah s.a.w, ke Madinah. Maka hari itu, walaupun diliputi kesedihan, Hz. Abul Ash r.a, yang begitu mencintai sang istri walaupun mereka berbeda keyakinan saat itu, melepas sang istri menuju Madinah.
Hal ini terdengar oleh para pemimpin kaum Quraish di Mekkah. Sekelompok orang pun diutus untuk membawa Hz. Zainab r.a kembali ke Mekkah. Mereka ingin menghancurkan sisi emosional Rasulullah s.a.w dan ingin menyelamatkan wajah mereka dari kehinaan akibat kekalahan mereka dalam Perang Badar. Mereka mengepung dan menyerang Hz. Zainab r.a.
Seseorang bernama Habbar bin Aswad melempar tombak yang menyebabkan terputusnya tali kekang unta yang dinaiki Hz. Zainab r.a. Beliau r.a pun terjatuh dan mengalami pendarahan hebat. Serangan itu membuatnya kehilangan janin yang sedang dikandungnya, buah cintanya dengan sang suami Hz. Abul Ash r.a, dan calon cucu Hz. Rasulullah s.a.w.
Dalam tahun-tahun sesudah peristiwa itu, selain kesedihan yang menimpa Hz. Zainab r.a karena terpisah dari suami tercintanya, kesehatannya pun semakin menurun akibat peristiwa serangan dari Habbar bin Aswad tersebut. Hz. Rasulullah s.a.w senantiasa bersedih kala mengingat betapa lemahnya kesehatan Hz. Zainab r.a Beliau s.a.w berkata, “Dia putriku yang terbaik. Dia berusaha bertahan demi aku.” Walaupun akhirnya Hz. Abul Ash r.a berkumpul dengan sang istri karena telah menerima Islam di tahun ke-7 Hijriah, tak lama kemudian Hz. Zainab r.a pun menjumpai akhir hidupnya di usianya yang ke 29.
Ketika peristiwa Fatah Mekkah, dimana Rasulullah s.a.w akhirnya menaklukkan dan memasuki kota Mekkah, Habbar bin Aswad pun menjadi salah satu tawanan perang yang dijatuhi vonis hukuman mati akibat kekejamannya. Diceritakan bahwa kemudian Habbar bin Aswad meminta pengampunan Hz. Rasulullah s.a.w.
Dia mengatakan, “Ya, Rasulullah, aku melarikan diri dan pergi ke Iran. Tetapi timbullah pikiran dalam diriku bahwa Tuhan telah membersihkan kita dari kepercayaan musyrik kita dan menyelamatkan kita dari kematian rohani. Daripada pergi kepada orang-orang lain untuk mencari perlindungan kepada mereka, bukankah lebih baik menghadap Rasulullah sendiri, mengakui dan menyesali segala kesalahan dan dosa-dosaku dan kemudian mohon ampunan?”
Rasulullah s.a.w terharu dan bersabda, “Habbar, jika Tuhan telah menanamkan dalam hatimu kecintaan kepada Islam, bagaimana mungkin aku menolak memberi ampunan kepadamu? Aku maafkan segala sesuatu yang telah kau perbuat sebelum ini.”
Sekilas, kita akan melihat sepertinya mudah sekali bagi Rasulullah s.a.w memaafkan seseorang yang telah berbuat keji, bahkan kepada putri beliau s.a.w sendiri. Sesungguhnya, memaafkan tidak pernah mudah. Tapi, Rasulullah s.a.w selalu memilih untuk tidak larut dalam nafsu dan emosi yang mengalir dalam darahnya. Beliau s.a.w mampu menahan diri dan memutuskan untuk tidak menuruti godaan untuk mendendam.
Mahatma Gandhi, yang lahir ratusan tahun sesudah periode hidup Rasulullah s.a.w, pernah mengatakan, “Orang yang lemah tidak mampu memaafkan. Memaafkan adalah ciri orang yang kuat.” Dan Rasulullah s.a.w berkali-kali menunjukkan kekuatan beliau s.a.w dalam menerima dan memaafkan mereka yang sebelumnya bisa sedemikian keji melakukan kejahatan.
Adalah mudah untuk larut dalam emosi dan menyimpan bara dendam kebencian. Tapi Rasulullah s.a.w diutus ke dunia untuk mengajarkan bahwa hanya pintu maaf yang mampu meluruhkan api kekacauan dan menumbuhkan perdamaian. Dan ‘maaf’ menjadi salah satu kunci untuk mampu merasakan kenyamanan surga, walau raga kita masih menjejak di dunia.
Referensi:
[1] Hazrat Zaenab, 2014, United Kingdom: Islam International Publications Ltd.
[2] Riwayat Hidup Rasulullah S.A.W karya Hz. Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a., 1992.
Visits: 192