KEMUSTAJABAN DOA ORANG TUA UNTUK ANAKNYA

Kehidupan manusia tidak selalu berjalan lurus dan dapat diprediksi. Ada banyak hal yang tidak bisa ditebak atau dipahami hanya dengan logika. Sebab beberapa di antaranya lebih tepat direfleksikan secara teologis, apalagi bagi seorang Muslim. Keyakinan bahwa Allah Ta’ala adalah faktor penentu utama kehidupan merupakan hal yang tidak terbantahkan. Tidak ada yang sebanding dengan-Nya. Semua yang ada di dunia ini berada dalam kekuasaan-Nya.

Namun, Allah Ta’ala memberi kesempatan bagi manusia untuk meminta kepada-Nya melalui doa. Terlepas apakah doa itu dikabulkan atau tidak. Jika doa yang dipanjatkan terkabul, artinya Allah meridhai niat yang kita inginkan. Jika tidak terkabul, maka senantiasa ada ganti yang lebih baik.

Sebagaimana yang kita ketahui, doa merupakan salah satu jalan komunikasi antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala. Melalui doa, manusia dapat menjadi dekat dengan Allah Ta’ala, dan Dia menarik manusia itu ke arah-Nya. Tatkala di dalam doa orang mukmin tercipta keikhlasan sempurna dan 𝘪𝘯𝘲𝘪𝘵𝘩𝘢’ (pemutusan hubungan dengan wujud-wujud selain Allah), maka Allah Ta’ala pun merasa kasihan terhadapnya. Dan Allah Ta’ala menjadi Pelindung baginya. [1]

Dalam hal ini, di antara sekian doa yang mudah terkabul adalah doa orang tua. Dalam Islam, orang tua memiliki kedudukan yang sangat mulia. Kedudukan itu diperoleh lantaran tugas dan peran yang juga besar. Keluarga yang menjadi pilar masyarakat menjadikan orang tua memiliki tanggung jawab yang besar untuk melahirkan generasi yang meneruskan kalimat tauhid, saleh dan tangguh.

Anak yang menjadi amanah bagi orang tua diwajibkan untuk berbakti kepada keduanya baik ketika masih hidup atau pun sudah wafat. Bahkan akhlak kepada orang tua ditempatkan secara eksplisit beriringan setelah akhlak kepada Allah SWT.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Tuhan engkau telah memerintahkan supaya engkau jangan menyembah selain kepada-Nya, dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak. Jika salah seorang dari mereka atau kedua-duanya mencapai usia lanjut dalam kehidupan engkau, maka janganlah engkau mengatakan “ah” terhadap keduanya dan janganlah engkau hardik keduanya, dan berkatalah kepada keduanya dengan perkataan yang baik.” [2]

Kedudukan mulia orang tua juga banyak disebutkan dalam hadits Hadhrat Nabi Muhammad saw. misalnya yang paling masyhur ialah ridha Allah terletak pada ridha orang tua demikian juga dengan murka-Nya. Meskipun demikian, orang tua tidak bisa semena-mena terhadap anak. Dalam riwayat disebutkan bahwa Allah merahmati orang tua yang membantu anaknya berbakti kepadanya. Maka komunikasi serta hubungan antara anak dan orang tua mesti terjalin dengan baik.

Bagi anak, restu orang tua bisa menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan. Ucapan dan doa orang tua adalah keramat bagi anaknya. Karena salah satu doa mustajab yang disebutkan Hadhrat Rasulullah saw. ialah doa orang tua untuk anaknya.

Hadhrat Rasulullah saw.bersabda,

“Tiga doa yang pasti dikabulkan: doa orang tua, doa yang berpergian, dan doa yang teraniaya.” [3]

Orang tua mesti menyadari bahwa mereka tidak boleh sembarangan berkata atau berucap dengan sesuatu yang buruk pada anaknya. Kehati-hatian dan kearifan menjadi hal mutlak bagi setiap orang tua, demikian juga sikap anak terhadap orang tua yang bahkan dilarang mengucapkan kata “ah” di hadapannya.

Dalam mendidik, mengasuh, mengembangkan minat dan bakat anak serta mengawal tumbuh kembangnya sering kali diwarnai oleh tipu daya setan. Luapan emosi yang tak tertahan bahkan suasana kalbu yang tidak tenang bisa berdampak buruk pada anak. Di sinilah peran zikir menemukan urgensinya.

Hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak bukan hanya soal anak berbakti kepada orang tua, tapi juga bagaimana orang tua membantu anak untuk berbakti kepadanya. Dan jika anak berbakti pada orang tua maka keberkahan umur panjang dan rezeki yang melimpah akan hadir di tengah keluarga.

Hal ini telah disabdakan oleh Hadhrat Rasulullah saw. bahwa,

“Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezekinya, maka berbaktilah kepada kedua orang tuanya dan sambunglah silaturahmi.” [4]

Referensi:

[1] Malfuzhat, Add. Nazir Isyaat, London, 1984, jld.7, h. 59-61/MI 13.05.2001

[2] QS. Al-Isra’ 17: 24

[3] HR. Abu Dawud no. 1536, hasan

[4] HR. Ahmad

Views: 45

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *