
Kerugian Melalaikan Dosa
Sudah menjadi tabiat pada diri manusia bahwa mereka akan melalaikan sesuatu bila dampaknya tidak terlihat atau lambat terasa, namun sangat menjaga diri mereka dengan baik apabila telah melihat dengan mata kepalanya sendiri keburukan-keburukan yang akan segera menimpa dirinya. Hal ini berlaku pula dengan dosa-dosa yang selama ini kita lakukan.
Banyak orang tetap melakukan dosa dan lalai akan kewajiban mereka kepada Tuhannya. Hal ini karena mereka sama sekali tidak merasakan dampak keburukan langsung pada diri mereka, murka Tuhan yang tidak secara langsung berimbas kepada mereka. Perasaan seperti ini mengikis ketakutan mereka atas Allah SWT, sehingga tidak jarang ditemui diri kita mulai mengkotak-kotakan dosa kecil dan yang besar.
Tragisnya kadang dosa-dosa kecil ini dimaklumi oleh diri kita sendiri. Seperti layaknya lalai dalam menjaga kesehatan, tentu saja lalai dalam perkara dosa pun memiliki imbas di masa depan. Mungkin dosa yang menumpuk tidak terlihat bentuknya, namun tentu hal tersebut adalah pertanggungjawaban di akhirat kelak. Masih Mau’ud a.s bersabda:
“Jika seseorang jatuh sakit, biar penyakit itu kecil atau besar, ringan atau berat, jika tidak diobati, dan tidak mau menanggung susah untuk itu, orang sakit itu tidak akan sembuh. Jika sebuah noda hitam timbul di bagian muka, tentu menjadi pikiran jangan-jangan tumbuh sedikit demi sedikit akhirnya muka menjadi hitam semuanya. Begitu juga maksiat itu adalah sebuah noda hitam tumbuh di permukaan hati. Saghaa-ir yakni ‘dosa-dosa kecil’ karena kelalaian lama-lama menjadi kabaa-ir ‘dosa-dosa besar’. Saghaa-ir adalah noda kecil yang akhirnya membuat muka menjadi hitam semuanya.” [14 Khutubaat-e-Mahmud, Jilid 17, halaman 339, khotbah jumat 29 Mei 1936]
Adalah suatu kerugian tentunya pada diri kita apabila rasa takut kepada Allah terkikis, sebab rasa takut kepada Allah SWT yang menahan kita untuk tidak melakukan banyak dosa, mengingatkan kita atas esensi hamba yang melekat pada diri kita. Bila sudah tidak ada perasaan takut kepada Allah SWT maka kita sudah tidak memiliki pegangan apapun dalam menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Pahala mereka ada di sisi Tuhan mereka, kebun-kebun Abadi, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka akan menetap di dalamnya untuk selama- lamanya. Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada- Nya, Itulah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya.” (Surah Al-Bayyinah, 98:9)
Layaknya dosa yang tidak serta merta terasa dan terlihat, pahala dan nikmat Allah SWT pun tidak langsung menghampiri kita dalam wujud yang bulat. Namun di sinilah yang membedakan diri kita dengan para orang-orang yang tidak beriman, dimana kita tetap tekun menjalani perintah Allah SWT dalam keadaan seperti apapun. Karena janji Allah SWT sangatlah benar dan kita patut mengimaninya.
Namun merugilah bagi mereka yang menganggap sepele atas janji-janji Allah SWT kemudian diiringi melalaikan kewajibannya sebagai seorang hamba, Hadhrat Masih Mau’ud a.s bersabda, “Aku berkata dengan sebenar-benarnya bahwa, barangsiapa yang meninggalkan satu macam saja perintah walau sekecil apapun dari 700 perintah Allah Ta’ala di dalam Al Qur’anul Karim, dia menutup pintu keselamatan dengan tangannya sendiri.” [Kisyti Nuh (Bahtera Nuh), Ruhani Khazain jilid 19, halaman 26]
Ini menjadi arti bahwa selain kenikmatan yang Allah SWT janjikan di hari akhir bagi orang beriman, konsekuensi dari melalaikan perintah-Nya pun akan terasa nanti. Seperti yang disampaikan oleh sahabat Rasulullah s.a.w yaitu Hadhrat Umar bin Khattab r.a, “Menjauhi dosa itu lebih ringan daripada menanggung rasa sakit dari sebuah penyesalan.”
Bagaimana pun kita harus meresapi tujuan penciptaan kita sebagai hamba yang totalitas mengkhidmati-Nya melalui praktik-praktik ibadah. Jangan sampai kelalaian kita mengantarkan pada pintu penyesalan. Seperti dalam sabda Masih Mau’ud a.s:
“Aku berkata dengan sebenar-benarnya bahwa, barangsiapa yang meninggalkan satu macam saja perintah walau sekecil apapun dari 700 perintah Allah Ta’ala di dalam Al Qur’anul Karim, dia menutup pintu keselamatan dengan tangannya sendiri.” [Kisyti Nuh (Bahtera Nuh), Ruhani Khazain jilid 19, halaman 26]
Visits: 274