
Ketakaburan Mengantarkan pada Jurang Kerugian
Mungkin bila dianalogikan manusia sebagai cermin dan segala keteladanan Rasulullah SAW adalah bulan, maka manusia yang terbaik adalah manusia yang mampu memantulkan keindahan bulan melalui dirinya, sehingga sekitarnya mampu melihat keindahan tersebut.
Namun bila keindahan bulan tidak mampu ia pantulkan, maka terdapat dua kemungkinan. Antara lain ia tidak mencondongkan dirinya kepada bulan tersebut atau cermin itu tertutup banyak noda sehingga tidak mampu memantulkan keindahan bulan. Lalu ada di manakah kita? Cermin yang tidak mencondongkan dirinya kepada bulan atau cermin yang tertutupi banyak noda?
Inilah maksud dari kedatangan Hadhrat Masih Mau’ud as. sebagai penarik kita yang mulai keluar dari tuntunan untuk kembali menerapkan perintah-perintah dalam Al-Qur’anul Karim atas diri kita dan mengamalkan uswah hasanah [keteladan terbaik] dari Hadhrat Rasulullah SAW. Selama kita terus berpegang teguh pada pada sumber-sumber otentik seperti Al-Qur`an dan hadits, maka selama itu pula kita akan menjadi cermin yang bersih, yang mampu memantulkan keindahan cahaya bulan dengan sebaik-baiknya.
Namun kadang kita justru terperosok kedalam jurang dosa, walaupun sudah mengikuti segala anjuran yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Alasannya adalah apa yang ada di dalam hati kita. Mungkin kita terlihat ada di dalam barisan orang-orang yang benar, namun hati kita jauh dari mereka.
Hati kita tidak benar-benar jatuh cinta kepada Allah SWT, segala kebaikan yang kita lakukan bukan dipersembahkan kepadaNya, melainkan untuk mencari pengakuan dari sesama makhluk Tuhan. Kita bersemangat sekali untuk memiliki kedudukan di mata manusia, termasuk kedudukan mengenai soal iman. Padahal AllahTa’ala berfirman, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’.” (QS Al-An’am : 163)
Inilah yang dimaksud cermin yang tidak mampu memantulkan cahaya bulan karena memang bukanlah bulan yang ia pantulkan, melainkan ego dan nafsunya. Hati yang tidak terpaut kepada Allah SWT mungkin menjadikan diri kita mampu mengikuti segala anjuran Rasulullah SAW, namun kita justru menjadi tidak rendah diri melainkan timbul perasaan paling benar.
Sikap ini berkorelasi dengan sikap merasa paling baik dan paling pintar, sehingga tidak jarang kita menemukan orang-orang yang mengakui paham akan agamanya namun sering menghakimi hubungan orang lain dengan Tuhannya. Kini banyak sekali perkara benar tidaknya suatu anjuran bukan bersandar kepada harapan Allah SWT terhadap umat-Nya, melainkan kepada manusia yang merasa penghambaannya telah baik dan merasa memiliki kedekatan dengan Allah SWT.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Barangsiapa mengeluhkan karakter buruk orang lain, berarti ia telah mengungkapkan keburukan karakternya sendiri.” Kadang orang-orang yang banyak menghakimi ibadah orang lain akan sangat kesulitan merasakan kekurangan di dalam dirinya, karena ia tidak memiliki kemampuan untuk melihat ke arah dirinya sendiri dan segala fokusnya mengarah kepada orang lain.
Perihal ibadah adalah konteks personal seorang hamba dengan Tuhannya yang tidak mampu diintervensi oleh orang lain. Sama halnya dengan dosa, walaupun kita melihat seseorang melakukan pelanggaran atas agamanya, tetap saja kita bukanlah hakim untuk dirinya.
Itulah mengapa Masih Mau’ud as. selalu mengingatkan kita semua mengenai pentingnya memelihara sikap rendah hati. Beliau as. bersabda:
“…takabur adalah penyakit paling berbahaya. Ini menyebabkan kematian rohani bagi orang yang memilikinya. Aku tahu pasti bahwa penyakit ini lebih buruk dari pembunuhan. Orang sombong menjadi saudara setan karena ketakaburan yang menjatuhkan Setan. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang mukmin bahwa dia hendaknya tidak merasa takabur. Sebaliknya, ia harus memiliki kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesederhanaan. Rasul Allah sangat menonjol dalam hal ini, mereka sangat rendah hati. Sifat ini paling unggul dalam diri Rasulullah saw. Lebih dari yang lain. Salah seorang pelayan beliau ditanya, bagaimana Rasulullah saw. memperlakukan dia. Dia menjawab bahwa sebenarnya Rasulullah melayaninya lebih dari pelayan tersebut melayani beliau.”
Visits: 207