
Lailatul Qadar: Meraih Cinta Allah di Malam Seribu Bulan
Saat kita mencintai seseorang, baik itu orang tua, pasangan, anak, maupun keluarga lainnya, tentu kita ingin mencurahkan segenap kasih sayang yang kita miliki. Kita ingin memberikan yang terbaik untuk mereka, selalu memikirkan dan memperhatikan mereka. Hubungan cinta yang tulus akan menciptakan timbal balik yang indah, seperti kasih ibu kepada anaknya, kasih suami kepada istrinya, dan kasih antar sesama manusia.
Jika cinta antar manusia saja dapat membawa kebahagiaan, apalagi cinta kita kepada Sang Pencipta. Cinta Allah Ta’ala tidak terbatas dan melampaui apa pun yang bisa kita bayangkan. Cara kita mencintai Allah adalah dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Salah satu kewajiban utama kita adalah mendirikan salat. Melalui salat, kita berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada-Nya, serta memohon ampunan dan petunjuk-Nya.
Allah berfirman: “Dan dirikanlah shalat serta bayarlah zakat; dan kebaikan apa pun yang kamu dahulukan untuk dirimu, kamu akan memperolehnya di sisi Allah; sesungguhnya Allah Maha Melihat apa pun yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 111)
Allah melimpahkan karunia-Nya kepada hamba yang istiqamah dalam salat. Dengan salat, hati menjadi tenteram, masalah terasa lebih ringan, dan kita dijauhkan dari api neraka. Salah satu bentuk cinta terbesar Allah kepada hamba-Nya adalah anugerah malam Lailatul Qadar.
Apa itu Lailatul Qadar?
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad, Hadhrat Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa yang mengerjakan salat pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan ridha Allah SWT, maka dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni.”
Dari berbagai riwayat hadis, disebutkan bahwa pada sepuluh hari terakhir Ramadan terdapat satu malam istimewa, yakni Lailatul Qadar. Malam ini penuh dengan rahmat dan keberkahan, di mana Allah Ta’ala berkenan mendekat kepada hamba-Nya yang ikhlas beribadah. Umat Islam pun dianjurkan untuk meningkatkan ibadah di sepuluh malam terakhir Ramadan, memperbanyak salat, tarawih, tilawah Al-Qur’an, dan amalan lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Namun, usaha mendekatkan diri kepada Allah tidak boleh hanya dilakukan di sepuluh hari terakhir Ramadan saja. Ibadah harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Hazrat Mirza Masroor Ahmad atba, Khalifatul Masih V, menjelaskan:
“Malam ini memiliki arti yang sangat penting. Tetapi jika kita hanya berusaha mendekatkan diri kepada Allah di sepuluh hari terakhir Ramadan dan tidak berusaha sepanjang tahun, apakah ini menjadikan kita mukmin dan hamba Allah yang sejati? Allah menyatakan dalam Al-Qur’an (QS. Adz-Dzariyat: 57) bahwa ‘Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.’ Jika seseorang berpikir bahwa dengan hanya mencari satu malam di sepuluh hari terakhir Ramadan berarti telah memenuhi ibadah seumur hidupnya, maka ini jauh dari maksud tujuan hidupnya, yaitu beribadah dan tunduk pada kehendak Allah.” (Khotbah Jumat, 27 Agustus 2010)
Jika kita benar-benar mencintai Allah, jangan hanya beribadah di bulan Ramadan saja. Jadikan salat dan ibadah lainnya sebagai bagian dari hidup kita, karena cinta sejati kepada Allah tidak musiman.
Karenanya, marilah kita laksanakan salat dan ibadah lainnya dengan niat ikhlas semata-mata untuk meraih ridha Allah. Ibadah adalah wujud cinta kita kepada Sang Pencipta, sebagai bentuk penyerahan diri sepenuhnya kepada-Nya. Dengan cinta yang tulus kepada Allah, niscaya kita akan merasakan limpahan kasih sayang dan keberkahan-Nya, tidak hanya pada malam Lailatul Qadar tetapi sepanjang hidup kita.
Referensi:
Khotbah Jumat, 27 Agustus 2010. 2. https://ahmadiyah.id/lailatul-qadr-lebih-baik-dari-1000-bulan-83-tahun.html?amp
Visits: 53